OKE GANTI: Sukarela atau Dipaksa

No Name

No Name

Diperbarui 23 Juni 2023 12:19 WIB
Oleh: Anthony Budiawan Disampaikan pada acara: Orasi Kebangsaan Gatot Nurmantyo dan Tokoh Indonesia: OKE GANTI Otto Iskandardinata, dengan gagah dan berani, menyampaikan pidato pada pembukaan sidang Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda tahun 1931-1932. Intinya, “Indonesia pasti merdeka! Anda mempunyai dua pilihan. Menarik diri secara sukarela tetapi terhormat, atau kami usir dengan kekerasan.” "Banyak orang mengatakan, tanpa adanya paksaan atau kekerasan, Anda tidak mungkin melepaskan Indonesia. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu, bila sudah tiba saatnya, Anda tentu akan melepaskan Indonesia demi keselamatan Anda." Saya menggunakan kata “Anda”, karena apa yang dikatakan oleh Otto Iskandardinata dalam pidatonya di depan Volksraad berlaku universal. Berlaku bagi pemerintah yang berperilaku seperti penjajah terhadap rakyatnya, dengan menghisap keringat dan darah rakyat, dan memiskinkan rakyat, untuk kepentingan para kroni kapitalisnya. Tingkat kemiskinan selama periode 2014-2022 hanya turun 1,39 persen. Padahal utang pemerintah naik pesat, mencapai 196 persen, dalam kurun waktu tersebut. Yaitu dari Rp2.609 triliun menjadi Rp7.734 triliun, atau naik Rp5.125 triliun. Oleh karena itu, rakyat pantas bertanya, dan menggugat, untuk apa penambahan utang pemerintah sebesar itu, karena tidak memberi manfaat kepada mayoritas rakyat Indonesia. Untuk periode 2019-2022, tingkat kemiskinan bahkan naik 0,35 persen, di tengah kenaikan utang pemerintah sebesar 62 persen, dari Rp4.785 triliun menjadi Rp7.734 triliun, atau naik Rp2.949 triliun. Sedangkan pendapatan negara untuk periode tersebut juga naik 34 persen, dari Rp1.961 triliun menjadi Rp2.626 triliun, atau naik Rp665 triliun. Ironi. Pendapatan negara naik tinggi, utang pemerintah naik pesat, tetapi jumlah rakyat miskin juga bertambah banyak. Di lain sisi, defisit APBN 2022 sudah dianggarkan Rp868 triliun. Tetapi, realisasi defisit hanya Rp464 triliun. Jauh lebih rendah dari anggaran. Sedangkan penarikan utang dan sisa lebih anggaran yang tidak digunakan untuk belanja negara mencapai Rp119 triliun. Kebijakan fiskal seperti ini secara terang-terangan bertentangan dengan kepentingan rakyat: memiskinkan rakyat. Lebih buruk lagi, pemerintah terlihat jelas lebih mementingkan BUMN dari pada rakyatnya. Pemerintah sempat menarik utang Rp105 triliun pada 2022, untuk penyertaan modal negara di BUMN. Sedangkan rakyat dibebani kenaikan pajak dan harga BBM. Meskipun pemerintah selama ini sudah menambah penyertaan modal negara dalam jumlah sangat besar, mencapai ratusan triliun rupiah, tetapi masih banyak pengusaha dan kontraktor kecil yang tidak dibayar oleh BUMN. Mereka menjadi bangkrut. Belum lama ini, ada yang datang ke DPR, mengatakan, sudah bertahun-tahun, tagihannya tidak dibayar oleh salah satu BUMN “karya”. Sekarang rumahnya di sita. Nilai pekerjaan hanya Rp700 juta saja. Sedangkan uang APBN yang di korupsi mencapai triliunan rupiah, puluhan triliun rupiah, bahkan bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Tetapi, rakyat hanya bisa bungkam saja. Seharusnya, rakyat bertanya, apakah hari ini kita hidup di alam merdeka? Atau masih hidup di masa penjajahan? Terjajah oleh oligarki dan elit partai politik yang memiskinkan bangsa Indonesia. Seharusnya, rakyat menggugat, mengembalikan kehidupan ekonomi kepada rakyat, untuk rakyat. Sesuai Pasal 23 ayat (1) konstitusi Indonesia. “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sekarang ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak dilaksanakan secara terebuka dan bertanggung jawab. Tidak dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, pelaksaan APBN melanggar konstitusi. Karena APBN terbukti dikorupsi oleh para pejabat dan oknum partai politik, untuk kepentingan politiknya, yang terbukti membuat rakyat menderita dan miskin, dan untuk mempertahankan kekuasaannya. Artinya, uang rakyat dirampok untuk melawan rakyat. Lebih ironi lagi, di tengah kenaikan pendapatan negara yang sangat tinggi tersebut, akibat kenaikan harga komoditas andalan ekspor Indonesia, yang notabene adalah milik rakyat, pemerintah malah membebani rakyat dengan menaikkan pajak pertambahan nilai dan harga BBM. Pendapatan negara tahun 2022 naik 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi, rakyat dibebani dengan menaikkan pajak pertambahan nilai, dari 10 persen menjadi 11 persen, atau naik 10 persen, pada 1 April 2022. Tidak berhenti di situ, pemerintah juga menaikkan harga BBM pada awal September 2022. Tidak tanggung-tanggung, harga pertalite naik 30,7 persen, dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, dan harga solar naik 32 persen, dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter. Ironi ini, kebijakan pemiskinan ini, membuat tingkat kemiskinan naik. Kebijakan pemerintah anti-kesejahteraan tersebut di atas, tidak beda dengan kebijakan pemerintahan kolonial yang juga memiskinkan rakyat Indonesia. ] Sedangkan windfall profit dari kenaikan berbagai harga komoditas hanya dinikmati oleh segelintir orang di lingkaran elit politik dan oligarki, yang berperilaku bagaikan penjajah, yang dikritik keras oleh Dewan Rakyat, Volksraad, dan para pejuang bangsa Indonesia di masa penjajahan. Kondisi saat ini bahkan lebih buruk dari masa penjajahan. Dewan Rakyat di masa penjajahan membela kepentingan rakyat, tanpa kenal takut. Sedangkan Dewan Rakyat saat ini menjadi bagian dari penguasa, menjadi antek penguasa dan oligarki, yang turut berperan aktif memiskinkan rakyat bangsanya sendiri. Oleh karena itu, seperti pernyataan Otto Iskandardinata, anggota Volksraad di masa penjajahan, anda semua wajib mundur. Sukarela atau dipaksa. Pilihan ada di tangan Anda. Kemiskinan, Kesenjangan Sosial, dan Korupsi: Sangat Memprihatinkan Tingkat Kemiskinan Indonesia saat ini merupakan yang terburuk di antara negara Asean-7. Yaitu, Indonesia, Brunei, Malaysia, Philippines, Vietnam, Thailand, dan Singapore. Tingkat kemiskinan Indonesia lebih buruk dari Philippines, dan jauh lebih buruk dari Vietnam, meskipun pendapatan per kapita Vietnam lebih rendah dari Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 60,5 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2022, atau 168,8 juta orang. Mereka hanya mempunyai pendapatan di bawah Rp1.14 juta per orang per bulan. Yaitu sesuai garis kemiskinan internasional menurut Bank Dunia, untuk kategori negara berpendapatan menengah atas, seperti Indonesia. Tingkat kemiskinan nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dengan pendapatan di bawah Rp535.547 per orang per bulan, mencapai 9,57 persen dari total penduduk, atau sekitar 26,36 juta orang (2022). Garis kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik ini sangat rendah, sangat tidak manusiawi, sangat tidak pantas untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Garis kemiskinan menurut BPS ini mendekati garis kemiskinan ekstrim. Berdasarkan profil pendapatan dan kemiskinan seperti ini, koefisien kesenjangan sosial (koefisien GINI), berdasarkan pendapatan, setidak-tidaknya mencapai 0,5, bahkan bisa mencapai hingga 0,6 atau lebih. Artinya, sangat buruk sekali. 20 persen penduduk Indonesia mempunyai total pendapatan maksimal 2,1 persen dari total pendapatan ekonomi nasional. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia mempunyai total pendapatan maksimal 11,8 persen dari total pendapatan ekonomi nasional. Data ini menunjukkan kondisi kesenjangan sosial di Indonesia sangat memprihatinkan. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa kondisi sosial yang sangat tidak adil ini tidak memicu revolusi sosial? Apakah karena kaum intelek dan cendekiawan turut menikmati kondisi sosial yang tidak adil ini, sehingga mereka terbungkam? Beda dengan kondisi di masa penjajahan. Kaum cendekiawan dan bangsawan turut melawan. Korupsi di Indonesia sudah mencapai tahap tidak normal, merusak bangsa, dan memiskinkan rakyat. Indeks Persespi Korupsi anjlok dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022). Sangat buruk. Data ini menunjukkan bahwa korupsi sudah merajalela, khususnya di masa pandemi. Jumlah uang yang dikorupsi juga semakin besar dan tidak masuk akal. Bukan lagi ratusan juta, atau miliaran, tapi sudah triliunan. Belanja negara sudah lebih dari Rp3.000 triliun. Setiap kebocoran 1 persen setara dengan Rp30 triliun. Kalau bocor 10 persen, setara dengan Rp300 triliun! Korupsi dilakukan secara sistematis dan kolektif. Terjadi di berbagai tempat. Baik di kementerian, lembaga, atau BUMN, dan juga di daerah. Korupsi tidak lagi hanya saja dilakukan oleh pimpinan proyek atau pegawai rendahan, tetapi kolektif dari bawah sampai atas, sampai ke pejabat tinggi negara. Seperti yang terjadi di Kementerian Keuangan. Atau di Kementerian Kominfo. Korupsi melibatkan banyak pihak, melibatkan perusahaan, pejabat perusahaan dan pejabat negara, dengan jumlah sangat besar. Kejaksaan Agung tidak menafikan, aliran dana korupsi bisa mengalir sampai partai politik. Yang jelas, Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng pada 15 Juni lalu. Mereka adalah perusahaan raksasa sawit Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Kasus korupsi minyak goreng menyebabkan harga minyak goreng melonjak, membuat antrian panjang karena barang langka dan perlu penjatahan, yang menyebabkan dua orang meninggal dunia. Kebijakan Ekonomi Politik: Memiskinkan Rakyat Kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi selama ini sangat menyulitkan rakyat, dan membuat rakyat bertambah miskin, membuat kesenjangan sosial melebar. Kita tidak mengerti, bagaimana pemerintah bisa memberlakukan kebijakan ekonomi dan kebijakan publik yang selalu merugikan rakyat. Tanpa ada koreksi sama sekali dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang seharusnya mengawasi pemerintah agar selalu taat hukum, untuk kepentingan rakyat banyak. Sebaliknya, DPR malah mendukung berbagai kebijakan pemerintah yang jelas-jelas bermasalah, terindikasi melanggar hukum, dan merugikan rakyat banyak. Ketika harga minyak mentah dunia turun tajam pada awal pandemi tahun 2020, harga BBM di Indonesia tidak turun sama sekali. Padahal, harga BBM di seluruh dunia sudah mengalami penurunan tajam. Kebijakan ini membuat harga BBM di Indonesia menjadi jauh lebih mahal dari, misalnya, harga BBM di Malaysia yang non-subsidi. Harga test PCR atau antigen di Indonesia sangat tinggi, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Hal ini tidak lepas dari akibat adanya pejabat merangkap pengusaha, sehingga membuat barang publik menjadi barang monopoli. Semua ini bisa terjadi karena DPR tidak hadir untuk membela kepentingan rakyat. DPR malah mengesahkan undang-undang yang melanggar konstitusi, seperti undang-undang tentang korona tahun 2020, undang-undang yang merampas hak dan wewenangnya yang diberikan konstitusi. Antara lain, hak untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Sehingga, perubahan APBN tahun 2020 sebanyak dua kali, tidak ditetapkan dengan undang-undang bersama DPR, seperti perintah konstitusi pasal 23, tetapi ditetapkan dengan menggunakan peraturan presiden, yaitu peraturan presiden nomor 54 tahun 2020, dan peraturan presiden nomor 72 tahun 2020, yang jelas-jelas melanggar konstitusi. Dan masih banyak kebijakan ekonomi dan kebijakan publik lainnya di masa pandemi yang merugikan dan memiskinkan rakyat, serta melanggar hukum. Selama ini, rakyat harus menelan semua kebijakan destruktif dan melanggar hukum ini. Sampai kapan? Setelah berhasil mengeksploitasi ekonomi pandemi, kini para pejabat-pengusaha mau eksploitasi laut, mau menghidupkan lagi ekspor pasir laut yang sudah dilarang sejak 20 tahun yang lalu. Dengan alasan, untuk mengelola hasil sedimentasi di laut, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Alasan ini jelas bertujuan untuk membohongi masyarakat luas untuk kepentingan ekonomi sekelompok orang. Bagaimana mungkin mengelola sedimentasi laut bisa sama dengan ekspor pasir laut? Sebaliknya, pengerukan pasir laut justru akan merusak lingkungan laut, merusak ekosistem laut, bahkan bisa menenggelamkan beberapa pulau. Setelah mengeksploitasi APBN dengan berbagai proyek buatan, kini para pejabat-pengusaha mulai memainkan kebijakan subsidi mobil listrik yang akan dinikmati oleh segelintir pejabat-pengusaha tersebut. Lagi-lagi alasannya mengada-ada. Yaitu untuk menjaga lingkungan hidup, untuk menjaga emisi karbon kendaraan berbasis bahan bakar fosil. Tetapi, mayoritas pembangkit listrik, sekitar 65 persen, masih menggunakan bahan bakar batubara, yang merupakan energi sangat kotor, dengan emisi karbon paling buruk. Ada dua modus penggunaan APBN untuk mobil listrik. Pertama, pembelian mobil listrik untuk pejabat setingkat eselon satu dan eselon dua, dengan anggaran masing-masing sekitar Rp966 juta dan Rp746 juta. Kedua, subsidi pembelian kendaraan listrik kepada masyarakat. Kebijakan ini sangat menyakiti rakyat miskin, yang berjumlah sangat besar. APBN bukan digunakan untuk membantu meningkatkan pendapatan mereka agar keluar dari kemiskinan. Tetapi pemerintah lebih mementingkan untuk memboroskan belanja negara dengan membeli mobil listrik kepada para pejabat eselon satu dan eselon dua, yang sekarang juga sudah mempunyai fasilitas kendaraan dari negara. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang memprihatinkan seharusnya tidak terjadi. Kalau saja sumber daya alam Indonesia tidak dirampok oleh para penjajah ekonomi. Kalau saja pemerintah tidak melanggar konstitusi pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi: Pasal 33 ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Alasan bahwa pemberian izin tambang oleh negara sudah menunjukkan “dikuasai negara”, belum memenuhi pasal 33 ayat (3) ini. Karena, pemberian izin tambang kepada swasta domestik maupun asing, berarti tidak memenuhi frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Frasa ini tidak bisa diartikan lain, kecuali harus dimiliki oleh negara. Ekspor batu bara selama periode 2005-2020 mencapai 250 miliar dolar AS. Kalau ekspor tersebut dikuasai negara, maka jumlah rakyat miskin pasti jauh berkurang. Belum terhitunga ekspor mineral dan komoditas perkebunan lainnya seperti nikel, minyak sawit, karet dan lainnya. Ekspor minyak sawit untuk periode 2005-2020 mencapai 240 miliar dolar AS. Dan ekspor karet alam mencapai 82 miliar dolar AS. Kalau produksi komoditas tersebut dikuasai negara dan perkebunan rakyat, maka jumlah rakyat miskin Indonesia pasti akan jauh berkurang. Tambang nikel bahkan mayoritas dikuasai asing, yang banyak menggunakan tenaga kerja asing. Sama seperti di masa penjajahan. Oleh karena itu, kebijakan di sektor minerba semakin menyimpang dari konstitusi, pasal 33. Kalau pemerintah menguasai dan memiliki kekayaan alam tersebut sesuai perintah pasal 33, maka jumlah rakyat miskin Indonesia pasti jauh berkurang. Karena, pemerintah bisa menjalankan perintah konstitusi pasal 34. Yaitu, pemerintah dapat memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar (ayat 1), pemerintah dapat memberi jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan dapat memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 2), pemerintah dapat menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Oleh karena itu, segera hentikan eksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan pribadi atau kepentingan sekelompok kecil pengusaha, atas biaya seluruh rakyat miskin. Karena, kekayaan alam merupakan milik seluruh rakyat Indonesia, khususnya milik rakyat daerah tersebut. Pemerintah tidak ada hak untuk menyerahkan pengelolaan kekayaan alam tersebut kepada segelintir orang. Hal ini sudah diatur secara jelas di konstitusi, pasal 33. Seperti pernyataan Otto Iskandardinata, hampir seratus tahun yang lalu: hentikan, sukarela atau dipaksa. Mundur, sukarela atau dengan kekerasan.    
Opini Terkait