Perkokoh Ketahanan dengan Kemandirian Pangan

Bambang Soesatyo - Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

Bambang Soesatyo - Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

Diperbarui 13 Juli 2024 17:02 WIB
Bambang Soesatyo (Foto: Dok MI)
Bambang Soesatyo (Foto: Dok MI)

SALAH satu faktor pembentuk ketahanan nasional adalah kemampuan negara-bangsa mewujudkan kemandirian pangan. Menyegarkan kembali kesadaran bersama akan hal ini sangatlah penting.

Maka, rapuhnya ketahanan pangan nasional seperti saat ini tidak boleh lagi dibiarkan berlarut-larut, karena sejatinya Indonesia mampu mewujudkan kemandirian pangan.

Merealisasikan kemandirian Indonesia di bidang pangan harus terus menerus diupayakan dari waktu ke waktu. Jangan lagi sekadar diomongkan atau hanya dijadikan slogan. 

Upaya merealisasikan kemandirian pangan menuntut semangat bekerja keras, fokus dan bersungguh-sungguh, didukung oleh kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang) yang progresif. 

Perubahan iklim hendaknya tidak terus menerus dijadikan alasan untuk pasrah pada fakta menurunnya produktivitas tanaman pangan.

Bukankah semua negara pun menerima dampak atau ekses perubahan iklim? Pola hujan yang telah berubah mendesak Indonesia untuk inovatif. Maka, meningkatkan aktivitas Litbang bagi pola tanam dan diversifikasi pangan layak diprioritaskan.

Menyegarkan kesadaran bersama tentang pentingnya mengupayakan kemandirian pangan berpijak pada kewajiban dan keharusan negara-bangsa mewujudnyatakan kepastian bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap ketersediaan bahan makanan bergizi dengan harga terjangkau. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun ini sudah lebih dari 281,6 juta jiwa.

Jadi, negara wajib menyediakan bahan pangan untuk jumlah orang sebanyak itu.

Semangat saling ketergantungan antar-negara yang membuka akses untuk impor bahan pangan jangan sampai mendorong Indonesia untuk meremehkan urgensi kemandirian pangan.

Impor bahan pangan bisa menjadi tidak mudah karena alasan ketidakpastian global maupun perubahan Iklim serta perubahan pola hujan. 

Ketidakpastian global akibat konflik bersenjata akan mengganggu rantai pasok. Sedangkan iklim dan pola hujan yang tak menentu selalu berpotensi menimbulkan kerusakan areal tanam pada negara-negara produsen tanaman pangan.

Memang, impor bahan pangan tidaklah haram, tetapi akan selalu menjadi masalah serius jika kebutuhan pangan harus selalu dipenuhi dengan impor dalam jumlah atau volume yang tidak kecil. 

Ketika stok bahan pangan di dalam negeri menipis, akan selalu terjadi lonjakan harga. Masyarakat mencatat bahwa gejolak harga bahan pangan, utamanya beras, menjadi pengalaman dan cerita yang selalu berulang. Lonjakan harga bahan pangan selalu menyebabkan ketidaknyamanan bagi semua orang.

Kesungguhan negara-bangsa merealisasikan kemandirian pangan akan menghadirkan manfaat yang berlipat ganda. Dengan perencanaan yang komprehensif, akan terwujud pemberdayaan bagi puluhan juta petani tanaman pangan. 

Dan, ketika ragam bahan pangan dari berbagai daerah itu harus diolah dan kemudian didistribusikan ke seluruh pelosok tanah air, sudah barang tentu akan tercipta sangat banyak lapangan pekerjaan.

Trickle down effect dari industri pengolahan bahan pangan dengan pendistribusiannya akan menyediakan lapangan kerja yang menjadi harapan belasan juta generasi milenial dan Gen-Z yang kini menganggur.  

Menurut BPS, tercatat tak kurang dari 29,36 juta petani pada tahun 2023. Diakui bahwa data itu menggambarkan minimnya minat orang muda bekerja dan berbisnis di sektor pertanian tanaman pangan. Dalam satu dekade terakhir, jumlah petani Indonesia dilaporkan menurun sekitar 7,42 persen. 

Pada 2013, jumlah petani masih tercatat sekitar 31,70 juta. Menurunnya jumlah petani dan minimnya generasi muda menggarap sektor pertanian tanaman pangan sudah pasti disebabkan terbentuknya persepsi bahwa sektor pertanian tanaman tidak prospektif.

Padahal, potensi sektor pertanian tanaman pangan dan industri pengolahannya di Indonesia sangatlah besar, karena pasarnya mencakup kebutuhan sehari-hari bagi lebih dari 280 juta jiwa. Potensi besar itu akan terwujud menjadi kenyataan jika negara-bangsa bersungguh-sungguh merealisasikan target kemandirian pangan. 

Kesungguhan itu idealnya ditunjukan dengan Kemauan politik, dan didukung oleh Litbang pangan yang progresif. Alih lahan pertanian harus dihentikan. Bahkan sebaliknya, lahan pertanian tanaman pangan hendaknya terus diperluas dari waktu ke waktu.

Sektor pertanian tanaman pangan yang produktif akan mewujudkan kemandirian pangan dan kemakmuran bagi semua komunitas yang bekerja di sektor bersangkutan. 

Jika semua itu terwujud, kontribusi komunitas pertanian dan pengolahan tanaman pangan bagi aspek ketahanan nasional sangat signifikan. Stabilitas nasional akan selalu terjaga karena kebutuhan pokok rakyat selalu tersedia dalam jumlah yang lebih dari cukup dengan harga terjangkau.

Sayangnya, sudah menjadi fakta sejak lama bahwa aspek ketahanan pangan nasional terbilang rapuh karena belum bisa mandiri. 

Kerapuhan itu tercermin dari begitu seringnya keluh kesah banyak komunitas akan mahalnya harga bahan pangan. Kehidupan sehari-hari dirasakan tidak nyaman karena harga beberapa komoditas kebutuhan pokok lebih mahal dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Untuk menutup kebutuhan pokok rakyat, beberapa komoditas bahan pangan harus diimpor, karena negara-bangsa belum memaksimalisasi semua potensi nyata di dalam negeri. 

Tidak hanya beras, melainkan ada belasan komoditas pangan yang diimpor Indonesia. Antara lain kedelai, gula pasir, jagung, susu, daging hewan, sayur, buah dan tepung terigu.

Sebagaimana diketahui, sepanjang 2024 ini, pemerintah sudah memastikan untuk impor 3,6 juta ton beras.

Pada 2023, total impor beras mencapai 3,5 juta ton. Indonesia impor beras dari vietnam, Thailand, Myanmar, pakistan dan India. Total permintaan atau konsumsi masyrakat akan beras diperkirakan 30,9 juta ton, tetapi volume produksi dalam negeri sering lebih rendah dari total permintaan itu. 

Dikatakan bahwa defisit atau selisih antara total permintaan beras dengan produksi dalam negeri sekitar lima (5) persen. Kalau selisih itu benar, potensi gejolak harga mestinya bisa dihindari. Namun, kalau gejolak harga beras selalu berulang, itu pertanda ada masalah dalam produksi, manajemen stok dan pendistribusian.  

Komoditas kebutuhan pokok lainnya yang juga harus selalu diimpor adalah kedelai sebagai bahan baku penganan tahu-tempe. Impor kedelai menjadi keharusan karena total volume produksi dalam negeri sama sekali tak mampu memenuhi permintaan. 

Data BPS per Desember 2023 menyebutkan bahwa volume produksi kedelai di dalam negeri hanya sekitar 555.000 ton, sedangkan total kebutuhan atau permintaan pasar lokal mencapai 2,7 juta ton. Idealnya, ada inisiatif membuat program peningkatan kapasitas produksi kedelai di dalam negeri.

Kini, ketika iklim berubah dan pola hujan tak menentu, perubahan itu hendaknya dimaknai sebagai alarm yang menyegarkan kesadaran bersama tentang urgensi kemandirian pangan. Harus ada tekad mengurangi ketergantungan akan bahan pangan impor demi kokohnya ketahanan nasional. Maka, cepat atau lambat, kemandirian pangan harus diwujudkan agar Indonesia tidak lagi impor beras, kedelai, gula pasir, jagung, susu, daging hewan, sayur, buah dan tepung terigu.