Seribu Murid di Makassar Tak Bisa Sekolah Gegara Komplek Sekolah Disegel Ahli Waris, Menteri Nadiem Tiarap!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Juli 2024 15:35 WIB
Sebuah spanduk melintang di pagar Kompleks SD Inpres Pajjaiang dan SD Inpres Sudiang. Tiga ban bekas, kursi, dan beberapa potong kayu disusun menutup gerbang.
Sebuah spanduk melintang di pagar Kompleks SD Inpres Pajjaiang dan SD Inpres Sudiang. Tiga ban bekas, kursi, dan beberapa potong kayu disusun menutup gerbang.

Makassar, MI - Sekitar seribu murid Sekolah Dasar (SD) di Makassar, Sulawesi Selatan, disebut belajar dari rumah karena kompleks sekolah mereka disegel. 

Kompleks sekolah tersebut menjadi pusat sengketa kepemilikan lahan antara pemerintah daerah (pemda) dan sekelompok warga yang mengaku sebagai ahli waris.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan kasus itu hanya satu contoh dari banyak kasus yang menunjukkan lemahnya sistem perlindungan hak pendidikan anak.

“Kita tidak punya mekanisme bagaimana menampung anak-anak yang sekolahnya bermasalah atau berkonflik, dan ini banyak terjadi di banyak tempat. Akhirnya ketika ada kasus semacam itu, korbannya adalah anak-anak tidak sekolah,” kata Ubaid kepada wartawan, Rabu (24/7/2024).

Monitorindonesia.com, Rabu (24/7/2024) telah meminta tanggapan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikburistek) Nadiem Makarim, namun belum mendapatkan respons, chat melalui WhatsAap yang dikirimkan ceklis dua.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Makassar, Muhyiddin menyatakan bahwa pada Senin (22/7/2024)  sekolah yang berada di Kompleks SD Pajjaiyang itu sebenarnya telah dibuka, namun digembok lagi.

"Hari Senin dibuka, tapi ternyata dilakukan lagi (gembok) sekolah," kata Muhyiddin.

Akibat penutupan sekolah tersebut, kata, Muhyiddin seribuan siswa yang terdapat di tiga sekolah dasar itu harus belajar online atau daring di rumah masing-masing. "Seribu anak berdasarkan data dari kepala sekolah yang diberikan ke saya. Terpaksa saya kasih daring dulu, sambil menunggu," jelasnnya.

Muhyiddin mengaku Pemkot Makassar telah memberikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Namun pihak ahli waris tidak mau menerima solusi untuk menghadirkan sertifikat tanah yang ditempati kompleks sekolah dasar itu.

"Pihak mereka selalu bersikukuh jika tanah itu miliknya, tapi urus dulu sertifikatnya sambil berproses, nanti kita berhitung kalau terbit. Solusi dari pemkot silahkan urus sertifikatnya sebagai dasar untuk dilakukan ganti rugi," katanya.

Muhyiddin mengatakan pihaknya akan melakukan rapat koordinasi dengan Forkopimda Makassar bersama pihak ahli waris untuk menyelesaikan permasalahan lahan di Kompleks SD Pajjaiyang. "Kita sudah kasih opsi tapi mau. Makanya, harus dilakukan rapat koordinasi dulu, Insyaallah besok ada rapat koordinasi," katanya.

Diketahui, bahwa sejak Selasa (16/7/2024) sekelompok orang yang mengaku sebagai ahli waris menyegel gerbang kompleks tempat tiga SD berada, yaitu SD Inpres Pajjaiang, SD Inpres Sudiang dan SD Negeri Sudiang.

Pemkot Makassar kemudian memutuskan para siswa belajar di rumah dari Kamis (18/7/2024) hingga Sabtu (20/7/2024) dan kembali ke sekolah pada Senin (21/7/2024). Namun, hingga Selasa (23/7/2024), sekolah tersebut masih tutup.

Sengketa ini bermula ketika warga yang mengaku ahli waris menggugat Pemkot Makassar pada 2017 ke jalur hukum terkait kepemilikan lahan kompleks SD Pajjaiang, seluas 8.100 meter persegi.

Pemkot Makassar pun kalah di tingkat pertama, banding, hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan diputus untuk membayar ganti rugi atas penguasaan lahan tersebut kepada ahli waris, merujuk pada putusan MA nomor: 1021 K/Pdt/2020 tanggal 3 Juni 2020.

Ahli waris menuntut Pemkot Makassar untuk membayar ganti rugi lahan sebesar Rp14 miliar. Namun, Pemkot Makassar urung melaksanakannya karena tengah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK).

Salah satu orang tua murid, Abdul Muis mengaku sedih dengan kejadian penyegelan kompleks SD ini karena mengganggu hak anaknya untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan.

”Tidak sekolah ini satu minggu, belajar di rumah, kadang juga mau ke sekolah merasa khawatir ada apa-apa, namanya anak kecil toh kayak begitu, kita tahu sendiri anak kecil apalagi masih diantar mamaknya, belum lagi yang jalan kaki,” kata Abdul, Selasa (23/7/2024).

Abdul mengatakan, pihak Pemkot Makassar tidak memberikan rasa aman bagi keberlangsungan belajar mengajar yang ada di tiga sekolah itu. "Ya segera pemerintah atau institusi yang menangani masalah pendidikan untuk segera tuntaskan jangan dibiarkan saja berlarut-larut seperti ini," katanya.

"Kita punya pemerintah. Namanya pemerintah ya melayani rakyat, iya kan, bukan membuat sengsara rakyat. Fungsi pemerintah itu sudah hampir tidak ada kalau sudah kayak begini," sambungnya.

Sementara itu, Guru SD Pajjaiang, Eva Susanti, menyatakan bahwa setelah dibuka langsung proses belajar, cuma jumlah siswa berkurang karena beberapa sudah pulang. 

"Tapi kita maklumi karena tidak kondusif tadi jadi banyak yang dibawa pulang sama orang tuanya," katanya, Selasa (16/7/2024).

Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto pun mengaku bahwa pihaknya tengah mencari cara agar para siswa bisa tetap belajar. "Ini sementara dipikirkan dulu untuk sekolahnya anak-anak di situ," tegasnya.

Duduk perkara
Lahan kompleks SD seluas sekitar 8.100 meter persegi ini menjadi pusat sengketa ketika sekelompok orang yang mengaku sebagai ahli waris mengguggat Pemkot Makassar ke jalur hukum.

Putusan kasasi di MA pada 2020 meminta Pemkot Makassar diputus membayar ganti rugi atas penguasaan lahan tersebut kepada ahli waris. Namun hingga 2024, kata kuasa hukum ahli waris, Munir Mangkana, Pemkot Makassar belum menjalankannya.

"Putusan keluar tahun 2020, dan sekarang sudah hampir mau masuk 2025, tapi belum ada niat baik pemerintah kota, makanya ada reaksi dari ahli waris menutup dan menempati lahan tersebut," kata Munir.

Munir menambahkan, ahli waris tidak melakukan penyegelan, melainkan “menduduki haknya sesuai putusan pengadilan. Pihak ahli waris pun, kata Munir, sudah beberapa kali melakukan komunikasi dengan Pemkot Makassar setelah putusan MA, tapi ganti rugi tak kunjung diberikan.

Salah satu ahli waris, Firman, menjelaskan lahan milik almarhum kakeknya, Badjida Bin Koi alias Madjida Bin Koi, tak pernah diwakafkan ke Pemkot Makassar.

"Kalau wakaf mana buktinya, kalau dari pemerintah [statusnya] hak pakai untuk pembangunan sekolah ini, bukan untuk memiliki," ujar Firman yang mengaku bahwa pihaknya telah tiga kali menyegel kompleks SD itu, Selasa (16/7/2024).

Ahli waris lainnya, Said, mengatakan orang tuanya dulu sekadar meminjamkan lahan tersebut kepada pemerintah. "Lahannya kurang lebih 81 are, dibangun sejak tahun 1975, karena dulu kalau kita melawan pemerintah kita dianggap PKI, jadi saya punya orang tua takut. Dan pemerintah bilang banyak nanti anak dan cucumu yang sekolah nanti di sini. Jadi statusnya hak pakai bukan wakaf," beber Said.

Apa kata Pemkot Makassar?
Pemkot Makassar memiliki pandangan berbeda. Pengacara Pemkot Makassar, Fanny Anggraini, mengatakan Badjida bin Koi telah menghibahkan lahan miliknya seluas 8.100 meter persegi ke Pemkot Makassar agar dibangun sekolah pada 1975.

"Nah tertulis di KIB [kartu inventaris barang] bahwa tanah sekolah ini hibah dari Majida bin Koi tapi kita [Pemkot] tidak punya akta hibah, hanya tertulis di KIB saja,” kata Fanny.

Senada, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Muhyiddin, mengaku mengetahui sejarah kompleks sekolah yang menampung sekitar 1.000 anak didik itu.

Menurutnya, kompleks sekolah itu dibangun sejak 1974 hingga 1975 di atas lahan wakaf dari warga. Dia pun mengaku heran setelah hampir 50 tahun baru muncul gugatan.

"Kami paham sekolah ini, saya dulu masih di dinas pendidikan pernah kami ukur, banyak sekolah kami ukur, pada saat waktu pengukuran kenapa tidak ada yang keberatan," kata Muhyiddin.

"Dulu dibangun rata-rata orang mewakafkan, pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan dan sosial waktu itu baik bangunan sekolah dan masjid yang penting ada yang memberikan wakaf," timpalnya.

Selain itu, Fanny menambahkan, Pemkot Makassar akan mematuhi putusan MA, namun, hal itu belum bisa dilaksanakan karena masih menunggu putusan upaya peninjauan kembali (PK) yang tengah berproses.

"Upayanya pemerintah kota adalah mengajukan upaya hukum luar biasa atas putusan kasasi itu sejak tahun 2021, tapi sampai sekarang belum ada putusan PK yang kami terima, jadi kami menganggap bahwa ini kami masih upaya hukum, kami anggap masih proses," jelasnya.

Fanny menambahkan, Pemkot Makassar akan melakukan ganti rugi kepada ahli waris jika mereka memiliki sertifikat lahan, karena alas hak seperti rincik (surat tanah tradisional) dinilai juga akan kuat jika ada sertifikat.

”Sesuai UU Agraria harus disertai bukti-bukti lainnya misalnya surat keterangan tanah bahwa dia pernah menduduki beberapa puluh tahun. Nah, itu yang belum diurus oleh ahli waris barang kali sampai belum bisa diuruskan sertifikat hak milik atas nama ahli warisnya,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Aset Pemanfaatan dan Pengadaan Tanah Dinas Pertanahan Kota Makassar, Ismail Abdullah mengatakan pihaknya akan membayar jika kasus sengketa lahan telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) di MA.

"[Pembayaran ganti rugi lahan] belum bisa kita akomodir, dikarenakan belum ada putusan hukum yang bersifat final. Karena masih berproses di Mahkamah Agung," kata Ismail, Kamis (18/7/2024).

"Kecuali sudah ada putusan dan hasil, itu baru kita duduk dulu untuk melihat. Itupun dari ahli waris silakan mengurus pensertifikatan. Kalau terbit, baru kita duduk bersama-sama terkait ganti ruginya," kata Ismail. (wan)