Skandal BLBI adalah Penjarahan Uang Rakyat Secara Brutal

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Maret 2022 14:42 WIB
Monitorindonesia.com - Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Pansus BLBI) mendalami dugaan rekayasa aset Bank BCA pada BLBI. Menurut Wakil Ketua Pansus BLBI DPD RI Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, skandal BLBI merupakan penjarahan uang rakyat secara brutal. "Dana besar itu seharusnya dapat dinikmati rakyat kecil melalui pembagian kue pembangunan, tapi justru ditilep oleh penjarah-penjarah kelas kakap," jelas tokoh yang akrab disapa Habib Banua ini di Jakarta, Rabu (9/3/2022). Menurutnya, skandal ini merupakan salah satu bentuk kejahatan di sektor keuangan dan pelakunya pun sebenarnya mudah diidentifikasi. Namun ironisnya, hukum tidak mampu menyentuh oknum-oknum yang jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan pemerintah sendiri lemah tak berdaya menghadapi permainan politik meraka. Karena itu, dia meminta negara tidak boleh kalah dengan para penilep uang pajak rakyat ini. "Jangan biarkan maling uang negara tidur nyenyak. Usut tuntas, penjarakan, dan miskinkan," tegasnya. Beberapa waktu lalu, DPD RI mengesahkan pembentukan Pansus BLBI sebagai aspirasi anggota DPD yang merepresentasikan rakyat Indonesia. "Kami tidak terkait dengan partai, jadi nonpartisan," ujarnya. Dia menjelaskan kasus ini merupakan sejarah kelam dari kebijakan ekonomi di Indonesia. Karena faktanya, fasilitas BLBI ini banyak yang diselewengkan. Bahkan mengalami penyimpangan penyaluran yang luar biasa. Penyimpangan ini melibatkan multi pihak dan multi dimensi. Salah satu bentuk penyimpangan yakni obligasi rekap. Obligasi rekap lebih dari Rp 400 triliun dibayar oleh negara Rp 1030 triliun. "Namun, hanya Rp 110 triliun yang mau ditagih oleh pemerintah kepada para obligor. Ini kan aneh," jelasnya. Selain obligasi rekap, Habib juga mempertanyakan soal uang BCA sebesar Rp 54 triliun diambil Anthony Salim. Dampaknya, pemerintah harus menyuntik BCA sebesar Rp 60 triliun. Padahal nilai BCA ketika itu sebesar Rp 87 triliun namun hanya dijual sebesar Rp 5 triliun. "Saya kira, kejadian ini patut didalami karena ada dugaan rekayasa nilai aset BCA oleh pemilik BCA," ujarnya. Lebih jauh, dia mempertanyakan dasar keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengejar hak negara dari para obligor dan debitur yang totalnya mencapai Rp110 triliun. Padahal, dana BLBI yang dikemplang obligor nakal ini jumlahnya sangat besar. "Kami mempertanyakan kenapa hanya Rp110 triliun. Angkanya sangat kecil sekali," tuturnya. Apalagi, setiap tahun APBN dibebani pembayaran bunga BLBI Rp48 triliun. Padahal, bunga utang BLBI ini bisa menjadi dana tambahan untuk pembangunan daerah yang saat ini dialokasikan untuk penanganan Pandemi. Hingga saat ini dari Rp110 triliun baru Rp15 triliun yang bisa ditagih hingga akhir Januari 2022. "Sangat kecil sekali yang berhasil ditagih," tuturnya. Meski demikian, dia mengpresiasi upaya pemerintah yang telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah BLBI. Namun langkah pemerintah terkesan lamban, kurang serius dan tidak tegas sehingga hasilnya masih sangat jauh dari yang diharapkan. "Tentunya masalah BLBI ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi dunia perbankan Indonesia menuju masa depan," pungkasnya. [tar]