Diskusi dengan CSIS dan SOKSI, Bamsoet Tegaskan MPR Tidak Dapat Menginisiasi Amendemen UUD

Aan Sutisna
Aan Sutisna
Diperbarui 31 Maret 2022 13:55 WIB
Jakarta, MI - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menginisiasi amendemen UUD, tetapi merespons usulan yang diajukan dan sudah memenuhi persyaratan. "Wacana amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 yang mulanya ditujukan untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara, berkembang dan terus digoreng dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Padahal, Presiden Joko Widodo mengatakan dirinya taat konstitusi," ujar Bamsoet dalam diskusi bersama Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di kantor CSIS, Jakarta, Rabu (30/3). Diskusi dihadiri Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Clara Joewono, J Kristiadi, Yose Rizal Damuri, Medelina Hendytio, Shafiah Muhibat, Arya Fernandes, Noory Okhtariza, NIckey Fahrizal, dan Edbert Gani Suryahudaya dari CSIS. Sementara dari SOKSI hadir Ketua Umum Ahmadi Noor Supit, Ketua Harian AA Bagus Adhi Mahendra Putera, Sekjen M Misbakhun, Bendahara Umum Robert Kardinal, Ketua Dewan Pakar Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Umum Fatahillah Ramli, Wakil Ketua Umum Freddy Latumahina, dan Wakil Sekjen Junaidi Elvis. Bambang Soesatyo menjelaskan, peminta penambahan masa jabatan presiden harus melalui jalur konstitusi dengan mengajukan permohonan amendemen UUD NRI 1945. Tahapan amendemen diatur dalam pasal 37 UUD 1945 dan Pasal 101 - 109 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI. "Posisi MPR akan selalu tegak lurus pada prinsip negara hukum sesuai ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, serta taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku," tegas Bamsoet. Jika merujuk pasal 37, ia melanjutkan, peluang amendemen itu terbuka. Bahkan diatur dengan rigit tentang tata cara pengusulan, sebagaimana terjadi pada amendemen di dalam Sidang Umum MPR pada 1-11 Agustus 2002. Perubahan tersebut meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta satu butir yang dihapuskan. Tahapan amandemen "Amendemen UUD diawali konsensus dan komitmen, khususnya dari unsur partai politik. Ini mengingat anggota MPR (575 dari 711, atau 80,8 persen) adalah anggota DPR yang berasal dari partai politik. Amendemen juga harus mengedepankan sikap ke-negarawan-an, dan bukan pragmatisme politik," ujar Bamsoet. Ia menjelaskan bahwa permohonan perubahan UUD dapat diajukan ke pimpinan MPR oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 anggota). Diajukan secara secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Usul perubahan tidak dapat diubah, diganti, atau ditarik setelah 3 x 24 jam semenjak usul disampaikan kepada pimpinan MPR. Dalam waktu paling lama 30 hari, pimpinan MPR menyelenggarakan rapat dengan pimpinan Fraksi dan pimpinan kelompok DPD untuk memeriksa usul perubahan tersebut. "Pimpinan MPR kemudian menyelenggarakan rapat gabungan untuk memutuskan tindak lanjut atas usul perubahan. Apabila ditolak, harus diberikan penjelasan tertulis kepada pengusul. Jika diterima, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR dalam waktu paling lama 60 hari. Seluruh anggota MPR menerima salinan usul perubahan yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan tersebut, paling lambat 14 hari sebelum sidang paripurna," jelas Bamsoet. Ditambahkan, dalam sidang paripurna setidaknya dilaksanakan 3 agenda. Yakni, pengusul menjelaskan usulan dan alasannya, fraksi dan kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap usul tersebut, serta pembentukan panitia ad hoc untuk mengkaji usulan tersebut dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam sidang paripurna MPR berikutnya yang dihadiri minimal 2/3 jumlah anggota MPR (474 anggota), panitia ad hoc menyampaikan hasil kajian. Selanjutnya fraksi dan kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap hasil kajian tersebut. "Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, yaitu 357 anggota MPR. Apabila usulan tidak mendapat persetujuan dari minimal 50 persen ditambah 1 anggota MPR maka usulan ditolak dan usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa keanggotaan yang sama. Selain itu, usul perubahan tidak dapat diajukan dalam 6 bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR. Artinya batas waktu terakhir adalah 31 Maret 2024," terang Bamsoet. Arya Fernandes mewakili CSIS memaparkan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu telah mengingkari spirit dan agenda reformasi 1998. Selain desentralisasi, pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis; serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; spirit lain reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Wacana tersebut juga menunjukan lemahnya komitmen kebangsaan terhadap demokrasi. Mengunci peluang terjadinya suksesi kepemimpinan nasional secara berkala dan tertib, serta menutup peluang kompetisi politik dalam pemilihan presiden dan legislatif. Sehingga berpotensi menciptakan instabilitas politik, dan meruntuhkan proses demokratisasi yang telah dibangun sejak dulu. "Pembatasan kekuasaan dalam negara-negara demokratis dengan sistem presidensial dilakukan untuk menciptakan regenerasi politik pada level nasional dan lokal sehingga memungkinkan elite politik lain ambil bagian dalam suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, hal tersebut bertujuan untuk menghindari potensi pejabat eksekutif membuat kebijakan yang tidak demokratis. Pembatasan periode jabatan presiden juga bertujuan untuk memberikan kepastian bagi presiden mengenai masa jabatannya," terang Arya Fernandes. [iwah] #csis #csis #csis #csis

Topik:

Bamsoet csis soksi