Pakar HTN Soroti Petisi 100 yang "Kebelet" Jokowi Dimakzulkan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Januari 2024 02:55 WIB
Joko Widodo (Foto: MI-Aswan/Repro)
Joko Widodo (Foto: MI-Aswan/Repro)

Jakarta, MI - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai keinginan Kelompok Petisi 100 yang meminta Presiden Jokowi dimakzulkan menjelang Pemilu, sebagai gerakan yang inkonstitusional. 

Alasannya, tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 1945.

Sebagaimana diberitakan, sebanyak 22 tokoh yang mewakili Petisi 100 mendatangi Kantor Menko Polhukam Mahfud MD, menyampaikan keinginan agar Pemilu 2024 digelar tanpa Presiden Jokowi.

Dengan kata lain, sesegera mungkin dalam waktu satu bulan sampai 14 Februari 2014, Jokowi sudah harus dimakzulkan.

Terkait hal tersebut, Yusril yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengatakan, mustahil pemakzulan dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan. Mengingat prosesnya panjang dan memakan waktu.

Prosesnya harus dimulai dari DPR, yang mengeluarkan pernyataan pendapat bahwa Presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 1945. 

Yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden.

Tanpa uraian yang jelas aspek mana dari Pasal 7B UUD 45 yang dilanggar Presiden, langkah pemakzulan adalah inkonstitusional.

"Perlu waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan DPR mengambil kesimpulan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran di atas. Andaipun setuju, pendapat DPR harus diperiksa dan diputus benar tidaknya oleh MK," kata Yusril dikutip pada Senin (15/1).

Jika MK memutuskan pendapat DPR sah dan meyakinkan, DPR menyampaikan usulan pemakzulan tersebut kepada MPR.

Selanjutnya, MPR akan memutuskan apakah Presiden akan dimakzulkan atau tidak.

"Paling singkat, proses pemakzulan itu akan memakan waktu enam bulan. Kalau proses itu dimulai sekarang, maka baru sekitar Agustus 2024 prosesnya selesai. Pemilu 14 Februari sudah usai."

"Sementara kegaduhan politik akibat rencana pemakzulan itu tidak tertahankan lagi," jelas Yusril, yang juga Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran ini.

Yusril menjelaskan, Pemilu bisa gagal dilaksanakan, jika proses pemakzulan dimulai dari sekarang. Akibatnya, 20 Oktober 2024 ketika jabatan Presiden Jokowi habis, belum ada Presiden terpilih yang baru.

Praktis, negara ini akan tergiring ke keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan.

"Saya heran, mengapa tokoh-tokoh yang ingin memakzulkan Presiden itu menyambangi Menko Polhukam, yang juga calon wapres dalam Pilpres 2024. Seharusnya, mereka menyambangi fraksi-fraksi DPR, untuk menindaklanjuti l langkah-langkah pemakzulan. Bahkan, Mahfud juga sudah menegaskan, pemakzulan bukanlah urusan Menko Polhukam," jelas Yusril. 

Tak cuma itu, Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang melihat upaya pemakzulan Presiden ini sebagai gerakan inkonstitusional. Bahkan, ingin memperkeruh suasana menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

DPR disebut tidak mempunyai inisiatif apa pun untuk melakukan pemakzulan. Bahkan, keinginan Masinton Pasaribu untuk melakukan angket atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang potesial melahirkan pernyataan pendapat DPR, hilang begitu saja tanpa dukungan.

"Saya mengimbau segenap lapisan masyarakat untuk memusatkan perhatian pada penyelenggaraan pemilu yang tinggal satu bulan lagi dari sekarang."

"Dengan Pileg dan Pilpres yang dilakukan bersamaan, masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 20 Oktober 2024. Marilah kita membangun tradisi peralihan jabatan Presiden secara damai dan demokratis sesuai UUD 1945," tutup Yusril.