Istana Jelaskan Pernyataan Jokowi Soal Presiden Boleh Kampanye

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 25 Januari 2024 11:32 WIB
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana [Foto: Instagram]
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana [Foto: Instagram]
Jakarta, MI - Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa presiden boleh berkampanye, telah banyak disalahartikan.

"Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu (24/1), telah banyak disalahartikan," kata Ari Dwipayana di Jakarta, Kamis (25/1).

Dijelaskan Ari, apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media, tentang menteri yang ikut tim sukses.

Presiden dalam merespon pertanyaan itu, memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri, ataupun presiden.

"Dalam pandangan Presiden, sebagaimana diatur dalam pasal 281 Undang-Undang No.7 tahun 2017 tentang pemilu bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujarnya.

"Artinya, presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam undang-undang," jelasnya.

Tetapi, kata dia, ada persyaratan yang harus dipenuhi jika presiden ikut berkampanye. Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. 

Kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara. Dengan diizinkannya presiden untuk berkampanye, lanjut Ari, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik, pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam undang-undang.

"Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada pada Undang-Undang Pemilu. Demikian pula dengan praktik politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," jelasnya.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," sambungnya.

Selain itu, kata dia, dalam pernyataannya di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1) Presiden Jokowi juga menegaskan, bahwa semua pejabat publik atau pejabat politik harus berpegang pada aturan main.

"Kalau aturan memperbolehkan, silakan dijalankan. Kalau aturan melarang maka tidak boleh dilakukan," imbuhnya.

"Itu artinya, Presiden menegaskan kembali bahwa setiap pejabat publik/pejabat politik harus mengikuti/patuh pada aturan main dalam berdemokrasi," tandasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa seorang Kepala Negara boleh berkampanye, ataupun memihak untuk memberikan dukungan politik.

Hal tersebut disampaikan Jokowi, menanggapi perihal adanya menteri kabinet yang tidak ada hubungannya dengan politik, tapi ikut serta menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres.

"Ya ini kan hak demokrasi, hak politik setiap orang setiap menteri sama saja. Yang paling penting Presiden itu boleh loh itu kampanye, presiden itu boleh loh memihak, boleh," kata Jokowi dalam keterangannya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1).

Jokowi mengatakan, bahwa meskipun Kepala Negara ataupun menteri bukan pejabat politik, namun sebagai pejabat negara memiliki hak untuk berpolitik.

Ia juga menegaskan bahwa yang terpenting, menteri ataupun Kepala Negara bisa berkampanye tanpa menggunakan fasilitas dari negera.

"Boleh pak, kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh. Menteri juga boleh," ujarnya.

"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," jelasnya.

Menurut Jokowi, sudah aturan mengenai keikutsertaan menteri ataupun pejabat negara dalam berpolitik. 

"Itu saja yang mengatur itu hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara itu aja," tutupnya.