Lawan Perusahaan Sawit, PTUN Jayapura Tolak Gugatan Suku Awyu

Rendy Bimantara
Rendy Bimantara
Diperbarui 3 November 2023 13:04 WIB
Suku Awyu Melakukan Aksi di Boven Digoel (Foto: GreenPeace Indonesia)
Suku Awyu Melakukan Aksi di Boven Digoel (Foto: GreenPeace Indonesia)

Jakarta, MI - Hendrikus Woro dan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua menyesalkan putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Pengadilan menolak gugatan Hendrikus terkait masalah  lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari.

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Jika hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura, dalam siaran pers GreenPeace Indonesia, Kamis (2/10).

Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Menurut Hendrikus, alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu ini jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL.

Namun dalam putusannya, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.

Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu menilai hakim keliru mempertimbangkan partisipasi bermakna, dengan  hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel.

“LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat, jelas Tigor.

“Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” pungkasnya.

Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia. (Ran)