Gubernur BI Ungkap Ekonomi Global Terus Memburuk

Rendy Bimantara
Rendy Bimantara
Diperbarui 13 November 2023 21:08 WIB
Ilustrasi Krisis Global (Foto: Shutterstock)
Ilustrasi Krisis Global (Foto: Shutterstock)

Jakarta, MI - Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan bahwa ada enam ciri yang menunjukkan kemerosotan ekonomi global saat ini. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh peningkatan ketegangan geopolitik di Rusia dan Ukraina, Timur Tengah, dan pengetatan moneter yang agresif di Amerika Serikat.

"Bahwa dinamika perekonomian global sepanjang 2023 berubah sangat cepat dan cenderung memburuk," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (13/11).

Dia juga mengatakan bahwa salah satu dari enam ciri tersebut adalah pertumbuhan ekonomi global yang melemah pada 2023 ke level 2,9 persen dari perkiraan sebelumnya di sekitar 3 persen. Pelemahan ini diikuti oleh peningkatan divergensi pertumbuhan ekonomi antara negara-negara.

"Di satu sisi AS pertumbuhannya tinggi dan di sisi lain Tiongkok menurun karena permintaan domestik dan juga masalah properti," ucap Perry.

"Pada 2024 pertumbuhan ekonomi global juga diperkirakan melambat menjadi 2,8% dengan risiko kemungkinan bisa lebih rendah," tegasnya.

Ciri kedua ialah tingginya angka inflasi akibat harga pangan dan energi yang terus meninggi akibat ketegangan geopolitik di berbagai wilayah, serta tingginya inflasi jasa dan keketatan tenaga kerja di negara maju.

BI pun memperkirakan inflasi global pada akhir 2023 masih akan terus tinggi ke level 5,1% dari kondisi 2022 sebesar 8,5%. Dan Makin menurun pada 2024 menjadi 3,8%.

"Akan turun tapi masih lebih tinggi dari 3% yaitu mungkin 3,8% mungkin inflasi dunia itu baru akan turun pada paruh kedua 2024, meskipun juga negara maju itu terus melakukan pengetatan moneter yang lebih agresif," kata Perry.

Ciri ketiga ialah tingginya suku bunga negara-negara maju yang akan masih tinggi dalam waktu jangka lama. Ia memperkirakan, suku bunga bank sentral AS pun pada 2023 akan naik pada kuartal IV-2023 menjadi 5,75% dan baru turun perlahan pada paruh kedua 2024 menjadi 5,25%.

"Bisa naik sekali lagi di akhir tahun ini menjadi 5,75% dari 5,5% sehingga secara keseluruhan 5,75%. Tahun depan juga masih tinggi 5,25% kemungkinan FFR baru turun paruh kedua tahun depan," tutur Perry.

Ciri keempat ialah tingginya kebutuhan utang pemerintah AS yang menyebabkan imbal hasil atau yield surat utang jangka menengah US Treasury tenor panjang seperti 10 tahun naik sangat pesat.

 

Pada kuartal II-2023, menurutnya, masih sebesar 3,84% untuk UST 10 Tahun, namun pada kuartal III-2023 menjadi 4,57% dan pada kuartal IV 2023 menjadi 5,16%. Barulah pada paruh kedua 2024, dia perkirakan turun menjadi 4,87%.

"Yang baru adalah besarnya utang pemerintah AS karena untuk biaya Covid dan juga sekarang perang menyebabkan suku bunga obligasi pemerintah AS atau yield US Treasury meningkat tajam," tegas Perry.

Ciri kelima menurutnya adalah potensi masih akan terus tingginya penguatan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang lain, termasuk Indonesia. Indeks dolar AS atau DXY pun menurutnya masih akan berada di level 107 pada kuartal IV-2023 dari kuartal III sebesar 103,3.

"Itu adalah penguatan dolar dan tahun depan kemungkinan mulai melemah tapi masih tinggi 102,1% dan fenomena-fenomena ini memerlukan upaya ekstra keras dari emerging market, termasuk Indonesia untuk menjaga ketahanan ekonomi," tegas Perry.

Ciri terakhir atau yang keenam kata Perry ialah kombinasi dari seluruh permasalahan itu, yakni larinya modal dari negara-negara emerging market ke aset likuid di negara maju, khususnya dolar AS.

"Pengetatan moneter ini menyebabkan suku bunga negara maju khususnya di AS semakin tinggi dan kemungkinan akan lama diikuti mata uang dolar yang sangat kuat dan juga pelarian modal ke aset global yang likuid atau cash is the king," ungkap Perry.(Ran)

Berita Terkait