Meski Sudah Disahkan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sebut Masih Ada 12 Pasal Bermasalah

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 6 Desember 2022 19:17 WIB
Jakarta, MI- Meski Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna yang digelar di Kompleks Palemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12). Namun, masih menyisakan sejumlah persoalan. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai, ada sejumlah pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal bermasalah. Adapun pasal-pasal tersebut di antaranya pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik hingga memiskinkan rakyat. Menurut Aliansi, beberapa pasal yang termuat di RKUHP menjadi aturan yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Sebab, mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja. Adapun alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah yakni: 1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 RKUHP) Aliansi menjelaskan, pasal ini merampas kedaulatan masyarakat adat. Sebab, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, pasal ini menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Pasal ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Karena,saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. 2. Pasal terkait pidana mati (Pasal 100 RKUHP) Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Universal Periodic Review (UPR) mencatat terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati. Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati. Sebab, merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. 3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Pasal ini sangat bermasalah. Sebab, tidak ada penjelasan soal “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (Pasal 240 & 241 RKUHP) Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi. Sebab di dalam pasal ini tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Menurut Aliansi, Pasal berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. 5. Ancaman Pidana Bagi kerja-kerja Advokat dan Jurnalis dalam ruang sidang pengadilan (Pasal 280 RKUHP) Aliansi menyebut, di dalam pasal ini tidak ada penjelasan yang jelas mengenai frasa “penegak hukum”. Sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung. 6. Pasal Kohabitasi : memunculkan legimasi persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat serta berpotensi mempidana korban kekerasan seksual (Pasal 412 RKUHP) Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi ini juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual. 7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE RKUHP mencabut sebagian pasal dalam UU ITE yang tumpang tindih. Tetapi menurut Aliansi, seharusnya RKUHP mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE. Selain itu, Aliansi menyoroti frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan pasal ini berbahaya. Sebab, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini. 8. Ancaman Pemidanaan (Baru) Terhadap pawai, unjuk rasa dan Demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap menggangu ketertiban umum (Pasal 256 RKUHP) Dalam draft 30 November 2022, dilarang dengan dipidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 10 juta, apabila pawai, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan dan dianggap mengganggu ketertiban umum Frasa “kepentingan umum” berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah. 9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat  (Pasal 598 & 599 RKUHP) Negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. 10. Meringankan ancaman bagi koruptor (Pasal 603, 604, 605 dan 606 RKUHP) Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Padahal, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat. 11. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat (Pasal 46, 47 dan 48 RKUHP) Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Menurut Aliansi, pasal ini rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi. 12. Masalah Pengaturan Pidana Denda (Pasal 81) Dalam draft 30 November, diatur jika pidana denda tidak dibayarkan kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk melunasi Pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. Permasalahannya, Pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Hal ini akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lainnya.

Topik:

RKUHP
Berita Terkait