Herry Wirawan si Pemerkosa 13 Santri Divonis Hukuman Mati

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 3 Januari 2023 19:10 WIB
Jakarta, MI -  Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohonan kasasi Herry Wirawan, si pemerkosa 13 santri, dalam hal ini hukuman mati Herry Wirawan berkekuatan hukum tetap dan bisa dieksekusi. Perkosaan itu dilakukan Herry Wirawan kepada santrinya dalam kurun 2016-2021. Hingga akhirnya Herry Wirawan dilaporkan ke polisi pada 2021. Akhirnya Herry Wirawan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Setelah melalui persidangan, Herry Wirawan dituntut hukuman mati oleh jaksa. Oleh PN Bandung, Herry Wirawan dihukum penjara seumur hidup. Herry dinilai bersalah melakukan kejahatan sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) juncto Pasal 76D UU Perlindungan Anak. Hukuman Herry Wirawan diperberat di tingkat banding menjadi hukuman mati. Amar putusan itu diketok oleh ketua majelis Herri Swantoro. "Majelis hakim di pengadilan tinggi berpendapat yang cukup adil terhadap perbuatan terdakwa adalah hukuman mati," demikian kata majelis banding. Atas putusan banding itu, Herry mengajukan permohonan kasasi. Demikian juga jaksa. Apa kata MA? "Tolak kasasi," demikian bunyi putusan kasasi yang dilansir website MA, Selasa (3/1/2023). Putusan itu diketok hakim agung Sri Murwahyuni dengan anggota Hodayat Manao dan Prim Haryadi. Sedangkan sebagai panitera pengganti Maruli Tumpal Sirait. Komnas Perempuan Menolak Hukuman Mati Komnas Perempuan mengaku tak sepakat dengan penerapan hukuman mati. Termasuk terhadap terdakwa pemerkosa 13 santriwati Herry Wirawan. "Komnas Perempuan menentang hukuman mati karena bertentangan dengan norma internasional hak asasi manusia yang paling dasar hak untuk hidup," kata Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat kepada wartawan, Selasa (5/4/2022). Rainy mengatakan Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Bandung terkait restitusi. Dia menyebutkan pembayaran restitusi yang dibebankan kepada pelaku menjadi bentuk putusan maksimal. "Hakim banding mengkoreksi bahwa restitusi adalah hak korban dan menjadi kewajiban pelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami korban, yang sumbernya berasal dari kekayaan pelaku, bukan negara. Dengan mengoreksi sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan, maka untuk putusan maksimal dapat ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban membayar restitusi," ucapnya. "Demikian juga halnya untuk perawatan dan pengasuhan anak-anak, menjadikan izin atau persetujuan korban dan keluarganya menjadi prasyarat sebelum anak-anak yang lahir dari pemerkosaan atau kekerasan seksual dirawat dan diasuh dalam perawatan negara," imbuhnya.