Korupsi LNG Pertamina Rp 2,1 T Seret Karen Agustiawan, Ahok: Nanti Dibuka di Pengadilan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 November 2023 16:09 WIB
Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Foto: Ist)
Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Foto: Ist)
Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait  dengan kasus dugaan korupsi liquefied natural gas (LNG) Pertamina yang menyeret mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan, Selasa (7/11).

"Hasil pemeriksaan tanya ke penyidik. Urusan menjadi saksi buat masalah Ibu Karen," kata Ahok usai diperiksa.

Namun demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta itu enggan menjelaskan materi pemeriksaannya. Dia mengatakan kasus tersebut akan dibuka secara terang benderang pada proses pengadilan. "Nggak bisa buka, nanti di pengadilan," tutur Ahok.

Sebagai informasi bahwa, Ahok ditunjuk sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina sejak tahun 2019. Sementara kasus dugaan korupsi itu terjadi pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2021 lalu.

Adapun Karen Agustiawan sebagai tersangka pada Selasa (19/9) lalu. Penetapan status hukum ini berdasarkan kecukupan alat bukti yang dikantongi KPK. 

"KPK telah mengumpulkan dan menetapkan dan mengumumkan tersangka sebagai berikut: GKK alias KA (Karen Agustiawan) Dirut PT Pertamina Persero tahun 2009-2014," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9).

Kebijakan yang diambil Karen dinilai cacat hukum hingga merugikan negara triliunan rupiah. Dugaan tindak pidana korupsi LNG Pertamina terjadi di periode 2011-2021. Karen sendiri menjabat Dirut Pertamina di periode 2009-2014.

Firli mengatakan kasus ini diawali dari rencana pengadaan LNG yang dilakukan oleh Pertamina tahun 2012. Wacana tersebut dipilih kala itu sebagai upaya mengatasi defisit gas di Indonesia.

Karen lalu menjalin kerja sama dengan sejumlah produsen dan supplier LNG yang berada di luar negeri. Salah satu perusahaan yang ditunjuk ialah Corpus Christi Liquefacition (CCL) LLC Amerika Serikat.

Penunjukan kerja sama dengan CCL tersebut dinilai bermasalah. KPK menduga keputusan yang diambil Karen saat itu sepihak tanpa adanya kajian yang utuh.

"Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero," ujar Firli.

"Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dari persetujuan pemerintah saat itu," tambah Firli.

Kebijakan yang diambil Karen itu kemudian mengakibatkan kerugian negara. Kerugian itu berupa LNG yang telah dibeli dari CCL LLC Amerika Serikat tidak terserap di pasar domestik hingga menjadi oversupply.

"Dalam perjalanannya seluruh kargo LNG milik PT Pertamina Persero tang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia," tutur Firli.

Dia menambahkan, akibat kelebihan pasokan itu LNG yang telah dibeli kemudian dijual dengan harga murah sehingga menimbulkan kerugian.

"Atas kondisi oversupply tersebut berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero," jelas Firli.

Kebijakan dari Karen itu yang kemudian menimbulkan kerugian negara. KPK memperkirakan negara merugi Rp 2,1 triliun akibat korupsi yang dilakukan Karen. "Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD 140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun," katanya.

Karen dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Firli menyebut, penyidik akan menahan Karen selama 20 hari ke depan. "Penyidik KPK akan melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari pertama sampai 8 Oktober 2022 di rumah tahanan negara KPK," kata Firli. (An)