Beranikah Agus Rahardjo Bongkar Dugaan Intervensi Kasus Korupsi e-KTP?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Desember 2023 03:30 WIB
Eks Ketua KPK, Agus Rahardjo (Foto: MI/Net/Ist)
Eks Ketua KPK, Agus Rahardjo (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Praswad Nugraha mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung eks Ketua KPK Agus Rahardjo membongkar dugaan intervensi kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov).

Praswad menilai intervensi untuk menghalangi proses penegakan hukum merupakan pelanggaran serius.  "Kami mendukung agar Agus Rahardjo membongkar praktik (intervensi) yang dilakukan tersebut secara tuntas dan komprehensif," kata Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Institute itu, Minggu (3/12).

Di sisi lain, dia menilai dugaan intervensi yang dialami Agus saat mengusut kasus tersebut sangat mungkin terjadi. Sebagai penyidik KPK kala itu, Praswad mengatakan bukti tidak langsung atas dugaan intervensi sangat kuat.

Pertama, menurut dia, kala itu Agus sempat ingin mundur sebagai Ketua KPK karena sejumlah intervensi selama pengusutan kasus. Kedua, setelah KPK menetapkan beberapa tersangka, belakangan DPR menyepakati usulan revisi UU KPK yang diketok pada 2019.

"Pasca dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka, adanya revisi dari UU KPK yang disetujui oleh Presiden. Hal tersebut didahului teror kepada penyidik yang menangani kasus terkait," bebernya.

Praswad menyebut meski mengalami sejumlah tekanan dan intervensi, KPK tetap tegak lurus menjalankan semua prosedur hukum. Buntutnya, lembaga antirasuah juga menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa Agus Rahardjo dan kami tetap berupaya tegak lurus terhadap proses penegakan hukum walaupun pada akhirnya disingkirkan," kata Praswad.

Sebelumnya, Agus Rahardjo mengaku bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat marah kepadanya di Istana pada 2017 dan meminta agar kasus e-KTP yang tengah diusut KPK dihentikan. Namun, KPK kala itu menolak keinginan Presiden.

Agus meyakini penolakan KPK berimbas pada revisi UU KPK yang disahkan pada 2019. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini berada di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3 atau penghentian kasus.

Kendati, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden.

"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari.