Revisi Kedua UU ITE Berpotensi Mengebiri Pers, Ninik Rahayu Ambil Sikap Tegas

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Desember 2023 17:21 WIB
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu (samping kiri Menkominfo Budi Arie Setiadi) di The Ritz-Carlton Jakarta (Foto: MI/Aswan)
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu (samping kiri Menkominfo Budi Arie Setiadi) di The Ritz-Carlton Jakarta (Foto: MI/Aswan)
Jakarta, MI - Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disetujui bersama DPR  dan pemerintah untuk disahkan menjadi UU pada 6 Desember 2023. Pasalnya, revisi kedua itu mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.

"Dewan Pers menyerukan segenap komunitas pers pada khususnya dan berbagai pihak yang potensial terdampak pada umumnya untuk mengambil langkah konkret bersama-sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers yang disebabkan oleh UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers," ujar Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Sabtu (9/12).

Ada beberapa pasal-pasal yang disoroti pihaknya, seperti Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik. 

Kemudian, ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. 

"Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp 1 miliar," ungkap Ninik.

Menurut Ninik, pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP.  

"Pasal-pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

Pada Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE, menurut Ninik, juga berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet). "Seperti  kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian," tuturnya.

Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat penegak hukum dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk jurnalis, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini.

Pasal-pasal itu, tambah dia, secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis.

"Pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," Ninik menegaskan. (Wan)