Gagal Tangkap Harun Masiku, KPK Jadikan Hasto Tumbal Politik Balas Dendam

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Juni 2024 00:12 WIB
Hasto Kristiyanto (Foto: Dok MI/Aswan)
Hasto Kristiyanto (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pemanggilan dan pemeriksaan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, pada Senin (10/6/2024) dinilai suatu akrobat politik yang tidak elok dipertontonkan oleh KPK.

Mengapa akrobat politik yang tidak elok? Menurut, Petrus Salestinus, Koordinator TPDI dan Advokat Perekat Nusantara karena Hasto dipanggil KPK sebagai saksi dan Hasto tetap hadir tepat waktu di KPK dalam kapasitas sebagai saksi.

"Karenanya harus dihormati dan diperlalukan sebagai saksi dengan segala haknya yang dilindungi oleh ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP," tegas Petrus, Senin malam.

Namun apa yang dihadapi oleh Hasto, lanjut Petrus, ketika bertemu dengan penyidik KPK "ternyata KPK menunjukan sikap dan perilaku yang arogan, pemer kekuasaan bahkan memperlakukan Hasto sebagai seorang tersangka, karena KPK serta merta melakukan upaya paksa dengan menyita HP dan Tas tangan milik Hasto di luar prosedur".

Saksi adalah mitra penyidik
HP dan tas tangan milik Hasto dibuat KPK seakan-akan menjadi bagian dari alat bukti permulaan yang cukup bagi penyidik dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka.

"Karena itu segala prosedure yang berlaku dalam KUHAP tidak berlaku bagi KPK dalam soal sita HP dan tas tangan milik Hasto," ungkap Petrus.

Apa yang dilakukan KPK, dinilai Petrus sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip KUHAP, di mana penyidik mengabaikan atau tidak melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, sesuai pasal 5 dan pasal 7 KUHAP berikut penjelasannya. "Artinya apa yang dilakukan oleh KPK tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut dan masuk akal dan menghormati HAM Hasto," beber Petrus.

Padahal, ungkap Petrus, sebagai seorang saksi yang keterangannya sangat diperlukan KPK, maka Hasto layaknya diposisikan sebagai mitra penyidik KPK, terlepas dari apakah kemudian nanti KPK mau menjadikan Hasto sebagai tersangka. 

"Secara prinsip hukum, hak Hasto sebagai saksi harus dihormati, karena dari Hasto KPK berharap memperoleh informasi dan bukti untuk membuat perkara menjadi lebih terang," tutur Petrus.

KPK tak berwenang sita
Hanya barang milik tersangka, atau barang yang digunakan oleh tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi atau barang hasil kejahatan korupsi yang dimiliki oleh tersangka, lanjut Petrus, maka KPK dapat melakukan penyitaan di luar mekanisme KUHAP.

"Artinya penyitaan itu cukup dilakukan dengan izin dari Dewas KPK atau dapat dimintakan izin segera setelah penyitaan terjadi," tegasnya.

Lebih lanjut, Petrus menuturkan, bahwa dalam kasus sita HP dan tas tangan milik saksi Hasto, KPK justru melakukan sita tidak dari tangan Hasto tapi dari seorang staf Hasto itupun dengan cara menjebak.

"Ini adalah langkah polticking KPK, nuansa politiknya sangat kental, antara lain untuk mempermalukan seorang Hasto dengan segala aktivitas Hasto selama ini. Bahkan Hasto dijadikan tumbal politik balas dendam kekuasaan," cetus Petrus.

Kalau saja Hasto berdasarkan bukti permulaan yang cukup dinyatakan sebagai tersangka, kemudian lari bersama-sama Harun Masiku dan dinyatakan DPO, maka sah-sah saja KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto di luar mekanisme KUHAP atau sesuai mekanisme Pasal 46 dan 47 UU KPK.

"Di sini KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang, mencampuradukan wewenang dan melampaui wewenang, karena apapun alasannya Hasto adalah Saksi, bukan Tersangka". 

"Namun tindakan KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto, seolah-olah Hasto adalah tersangka, karenanya tindakan sita KPK menjadi tidak sah dan KPK harus segera kembalikan HP dan tas tangan milik Hasto tanpa syarat," kata Petrus.

Pun menurut Petrus, KPK bisa digugat praperadilan dan gugat PMH ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK atau KPK dilaporkan ke Dewas KPK sebagai dugaan pelanggaran etik.

"Semata-mata karena KPK tidak cermat membaca ketentuan pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK," tandas Petrus.