Disidik KPK, Ini Peran 6 Agensi Iklan Bank BJB


Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi dana iklan pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terus menjadi perhatian publik. Bahkan dalam survei citranya kemarin jadi sorotan responden atau publik juga hingga pakar hukum pidana.
Transparansi pengungkapan kasus ini jadi kunci untuk menghindari spekulasi dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antikorupsi.
Pasalnya, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut kasus ini telah masuk tahap penyidikan, pernyataan ini berbeda dengan Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika, yang menyatakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) masih dalam proses administrasi.
Perbedaan informasi ini memunculkan tanda tanya publik terkait keseriusan KPK dalam menangani kasus ini. KPK menurut kabar telah menetapkan lima tersangka, dua di antaranya berasal dari pihak internal Bank BJB. Namun, identitas para tersangka belum mereka ungkap ke publik.
Kasus ini melibatkan penggelembungan anggaran promosi Bank BJB dari 2021 hingga pertengahan 2023. Anggaran sebesar Rp1,15 triliun yang dikelola oleh divisi Corporate Secretary (Corsec) diduga disalahgunakan melalui kerja sama dengan enam perusahaan agensi.

Kasus dugaan korupsi dana iklan pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) terus menjadi perhatian publik. Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengumumkan perkembangan kasus dan identitas tersangka semakin kuat. (Foto: Dok MI/Aswan)
Dalam praktiknya, biaya iklan yang sebenarnya Rp200 juta per tayang naik hingga Rp400 juta, menghasilkan mark-up hingga Rp200 miliar.
Keuntungan dari manipulasi ini menurut dugaan, tidak hanya mengalir ke pejabat internal Bank BJB, tetapi juga ke pihak eksternal, termasuk seorang pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nama Ahmadi Noor Supit disebut-sebut terkait dengan intervensi penghapusan temuan auditor BPK.
Di lain sisi, KPK mencatat enam perusahaan agensi yang menurut dugaan menjadi perantara dalam penggelembungan dana tersebut, yakni PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA), dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
Perusahaan-perusahaan ini menurut dugaan, berperan menyalurkan dana yang tidak transparan kepada pihak-pihak tertentu.
Catatan Monitorindonesia.com, bahwa pada Tahun 2021, 2022 dan Semester I 2023 Bank BJB telah merealisasikan Beban Promosi sesuai Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten seluruhnya sebesar Rp1.159.546.184.272,00.
Realisasi tersebut antara lain berupa Beban Promosi Umum dan Produk bank sebesar Rp820.615.975.948,00. Dari realisasi beban promosi umum dan produk bank tersebut, di antaranya sebesar Rp801.534.054.232,00 dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec).
Menurut sumber Monitorindonesia.com yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa “Pengadaan Barang dan Jasa (hususnya iklan) yang membidanginya adalah Divisi Corporate Sekretary (Approver) bank bjb Kantor Pusat, Widi Hartoto sebagai Pemimpin Divisi Corporate Sekretary. Dan dia disebut-sebut salah satu pegawai kepercayaan Yuddy Renaldi Direktur Utama Bank BJB".
Dalam laporan bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024, diungkap potensi aliran dana dengan nilai mencapai Rp260 miliar yang tidak jelas. Hasil itu didapat auditor negara melalui serangkaian investigasi dan uji petik.
Pihak BJB dan enam agensi iklan diduga tertutup kepada auditor tentang besaran uang yang dibayar ke media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa. Laporan BPK menyebutkan sebanyak Rp 341,88 miliar telah digelontorkan kepada enam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.
Namun, dalam perjanjian kerja sama, agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti pembayaran kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi kepada bank. Hal ini yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga. Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.
Semisal iklan di TV saja, terdapat 17 media arus utama yang dipasang iklan BJB. Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta. Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar. Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.
Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk belasan TV sebesar Rp37,93 dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar.
Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’. Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh akses transaksi dari agensi yang membayar jasa iklan ke media. Para agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
“Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” petik laporan BPK.
Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaanjuga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1% yang diatur dalam kontrak dengan BJB.
Pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan ini, pun mengatakan, perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.
Lain itu, jumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media. Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu, yang sebenarnya tidak tercantum dalam proposal agensi ke BJB.
“Hubungan kerja sama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” petik laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.
Masih dalam pengkondisian iklan di TV, pihak BJB ternyata tidak mewajibkan penawaran harga pasang iklan yang dipatok media. Sehingga bank mengeluarkan estimasi anggaran semaksimal mungkin, alih-alih menekan anggaran demi efisiensi keuangan di sektor bisnis lain.
Promosi di media online pun tak kalah gelap transparansinya. Pihak PT BSCA disebut BPK mengalihkan kerja promosi iklan ke PT WSBE tanpa pemberitahuan ke BJB. Padahal, kedua perusahaan sudah mendapat dana promosi iklan sebesar Rp50 miliar lebih. Akibat pengalihan kerja tanpa izin ini, BPK melaporkan bahwa anggaran menjadi sia-sia lantaran panjanganya rantai jasa iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sementara itu, BJB sudah membayar jasa agensi ke PT BSCA sebesar Rp29,86 miliar.
“Potensi pemborosan atas pekerjaan penayangan iklan media online yang dialihkan PT BSCA ke PT WSBE,” petik laporan BPK.
Dalam lingkup iklan yang melibatkan institusi berpusat di Bandung, Jawa Barat, sejumlah PT di atas kerap menang proyek promosi. Semisal PT AM yang mendapat proyek iklan media online dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung pada 2023. Proyek iklan medium serupa didapat juga PT CKM. Perusahaan yang terdaftar di Bandung ini menang proyek senilai Rp200 juta.

Juga, PT WSBE yang mendapat proyek iklan media online dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai pagu Rp505 juta. Semua proyek yang dimenangkan itu melalui mekanisme pengadaan langsung atau tanpa tender.
Untuk dua perusahaan terakhir yang disebut tidak asing dalam industri media massa di Bandung dan Jawa Barat. Media bernama Jabar Ekspres (dulu Bandung Ekspres) di bawah naungan PT WSBE. Sedangkan PT CKM dimiliki oleh Ikin Asikin Dulmatin, yang merupakan pimpinan PT Ayo Media Network.
Anak Ikin juga pemilik saham PT AM yang dalam proyek iklan dari BJB ini mendapat anggara Rp88,75 miliar. Afiliasi perusahaan juga terlihat antara PT CKMB dan PT CKSB. Saham dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta ini dipegang oleh satu orang.
Selain tidak terbuka soal dokumen kontrak dan penayangan iklan di media, penentuan pengadaan proyek juga dipertanyakan. Dalam laporan BPK, keenam agensi menang proyek melalui mekanisme pengadaan, pemilihan dan penunjukan langsung. Mekanisme pengadaan dinilai tidak benar lantaran penentuan yang seharusnya merujuk nilai total transaksi, tapi justru berdasar nilai fee 1-2 persen.
Jika HPS atau harga perkiraan sendiri berdasar nilai fee sekian persen tersebut, maka harga yang terefleksi paling besar hanya Rp1 miliar. Walhasil, nilai itu tidak menghitung dari biaya penanganan iklan. Sedangkan, muatan nilai transaksi yang juga mencakup biaya iklan ke media bisa berjumlah puluhan miliar. Seperti PT CSKB yang mencatatkan nilai transaksi Rp42 miliar pada 2022 untuk promosi iklan di TV dan media online. “Maka metode pengadaan yang akan dipilih seharusnya adalah tender,” petik laporan BPK.
Mekanisme pengadaan secara langsung ini, juga bertabrakan dengan SK Direksi Nomor 0387/SK/DIR-UMU/2020 tentang Standar Operasional Prosedur Pengadaan Barang/Jasa.
Pengadaan yang bernilai Rp1 miliar ke atas wajib menggunakan skema tender. Manajemen BJB berdalih tidak membuka lelang proyek ini karena khawatir gagal lelang. Namun, klaim ini dalam laporan BPK dimentahkan lantaran tidak ada bukti.
Kapan tersangka dijebloskan ke tahanan?
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan 5 tersangka. "KPK sedang menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, terkait iklan BJB," kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu kepada wartawan, Bogor, Jawa Barat.
Informasi, terdapat lima tersangka dalam kasus tersebut. Dua diantaranya dari pihak internal BJB, 3 lainnya merupakan pihak swasta. Adapun nilai penempatan dana iklan itu, lebih dari Rp100 miliar. Diduga terjadi penggelembungan alias mark-up pada penempatan dana iklan BJB, yang mengakibatkan kerugian negara.
Untuk saat ini, Asep enggan mengungkap identitas pihak yang dijerat. Dia juga belum membeberkan konstruksi perkara kasus ini. "Pada waktunya nanti akan diumumkan," kata Asep.
Informasinya, dugaan mark-up dana penempatan iklan Bank BJB ini, terjadi sepanjang 2021-2023. Total kerugian diperkirakan Rp200 miliar.
Dalam praktiknya, dana yang seharusnya dialokasikan Rp200 juta untuk sekali pasang iklan di media, diduga digelembungkan menjadi Rp400 juta.
Dana mark-up itu, diduga mengalir ke sejumlah pihak termasuk petinggi BJB. Penyidik KPK, saat ini tengah mendalami ke mana aliran dana hasil penggarongan itu. Kasus dugaan korupsi seperti ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi keuangan dan pemerintah daerah.
Usut tuntas!
harus segera mengusut tuntas dan menahan para tersangka dalam kasus dugaan korupsi penempatan dana iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB).
Hal itu disampaikan pakar hukum pidana, Hudi Yusuf saat ditemui Monitorindonesia.com di kawasan Jakarta Timur merespons banyaknya kasus dugaan rasuah yang mandek di KPK, salah satunya kasus markup dana iklan Bank BJB sekitar Rp 200 miliar itu, Sabtu (4/1/2025).
"Jika kasus ini tak segera diungkap tuntas dan dibiarkan mandek begitu saja, saya khawatir negara juga ikutan rugi. Hitung saja anggaran KPK sekarang berapa ya kan. Kasus mandek ya negara juga rugi lah, mereka kan digaji," tegas Hudi.
Jika sudah memenuhi dua alat bukti yang sah, kata Hudi, KPK tak ada alasan untuk menutupi identitas para tersangka. Namun tegas dia, hal yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah KPK sudah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan ataukah belum.
"Perbedaan pernyataan dari dua pejabat KPK, Dirdik KPK dan Jubir belum lama ini kan jadi pertanyaan juga ada apa dengan internal KPK itu. Jangan membuat kesan bahwa KPK tak kompak mengusut kasus ini. Apakah ada dugaan intervensi dalam kasus ini sebab diduga melibatkan banyak pihak hingga oknum auditor?" tanya Hudi.
Hudi menambahkan, bahwa jikalau saja KPK mengusut kasus ini dengan tuntas, bukan tidak mungkin bakal banyak yang terseret. Dari pihak Bank BJB hingga media ataupun TV diduga kecipratan dana itu.
"KPK di bawah kepemipinan Setyo Budiyanto saya kira KPK sudah cukup punya taring menggigit para koruptor ya. Apa lagi baru 4 hari kemarin, Setyo sudah menyeret Hasto Kristiyanto dalam pusaran kasus Harun Masiku. Maka harapan saya begitu juga kepada kasus Bank BJB ini. Jangan pandang bulu lah sekalipun salah satu pelakunya dari unsur atau oknum auditor," tukas Hudi yang juga seorang pengacara.
Topik:
KPK BJB Bank BJB Iklan Bank BJB