KPK Ingin Tangkap 'Ikan Besar', OTT Bukan Senjata Lagi?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Oktober 2024 21:09 WIB
KPK membawa para tersangka yang ditangkap melalui salah satu giat OTT di Kalimantan Selatan yang menyeret Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor (Foto: Dok MI)
KPK membawa para tersangka yang ditangkap melalui salah satu giat OTT di Kalimantan Selatan yang menyeret Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin mengungkap kasus-kasus besar atau menangkap ikan besar 'big fish'. Dalam hal ini akan mengurangi porsi operasi tangkap tangan (OTT). 

Adapun OTT adalah andalan KPK karena proses hukum melalui metode tersebut, bisa dirampungkan dalam waktu singkat. "Kalau dahulu branding KPK adalah tangkap tangan," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan, Sabtu (26/10/2024).

"Kenapa? Karena pada saat KPK berdiri itu hanya tangkap tangan yang mudah karena tangkap tangan itu cenderung mudah, ada informasi, ada pemberi, ada penerima, ada barang bukti, langsung ditangkap, selesai," timpal Tessa.

KPK pertama kali dibentuk operasi tangkap tangan menjadi senjata andalan komisi antirasuah dalam memburu para pelaku korupsi. Namun, lanjut Tessa, metode tersebut bukan tanpa kekurangan, kekurangan metode tangkap tangan dibanding dengan pengembangan kasus adalah soal nilai aset yang diselamatkan.

"Dalam jangka panjangnya tentunya, kami menginginkan adanya penyelamatan aset yang lebih besar. Untuk penyelamatan aset ini, ada di ranah pengadaan biasanya".

"Pengadaan yang sifatnya atau yang jumlahnya tentunya sampai triliunan rupiah, dan ini tidak bisa atau penanganannya bukan lagi tangkap tangan," kata Tessa.

Pun Tessa menegaskan bahwa KPK tidak akan sepenuhnya berpaling dari metode tangkap tangan. Apabila ada kasus korupsi yang masuk radar, KPK tidak akan tinggal diam dan bisa saja melakukan tangkap tangan. "Walau mungkin tangkap tangan tidak menjadi fokus, masih tetap bisa dilakukan," tandas Tessa.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebelumnya sudah meramal sejak 11 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.
 
"Itu (ramalan) sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Sabtu (26/10/2024).

Menurutnya, ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan KPK selama ini. Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.
 
Dari OTT itu, katanya, KPK melakukan pengembangan kasus jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.
 
"Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau 'ngincer' orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu," katanya.
 
Berbeda dengan Kejagung, lanjut dia, dalam praktiknya, lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.
 
Di mana pada Pasal 2, katanya,  tentang perbuatan melawan hukum Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.
 
"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," katanya.
 
Dengan pencarian alat bukti ini, kata Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan "ikan besar" (kasus besar), dan itu terbukti dimulai dari tahun 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.
 
Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019--2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI. Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah saru yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.
 
"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.
 
Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.
 
Dengan perbedaan pola kerja ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing. Akan terjadi KPK hanya fokus OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12.
 
"Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya 'case building'," paparnya.
 
Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).
 
"Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT," paparnya.
 
Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada tahun 2012 dan diproses tahun 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.

Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.

"Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang," kata Boyamin.
 
Sementara itu, kenapa Kejagung bisa mengungkap kasus-kasus besar karena berkonsentrasi di Pasal 2 dan Pasal 3 yang otomatis banyak kasus-kasus besar mengantre untuk diungkap, paparnya.
 
Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.
 
Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.
 
"Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya," demikian Boyamin.

Topik:

KPK OTT OTT KPK