Pulau di Jakarta dan Maluku Utara Paling Banyak Diperjualbelikan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Juli 2024 15:47 WIB
Pulau Pananggalat di Kepulauan Mentawai dikabarkan di jual di situs luar negeri. (Foto: Istimewa)
Pulau Pananggalat di Kepulauan Mentawai dikabarkan di jual di situs luar negeri. (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Lebih dari 200 pulau kecil di Indonesia diprivatisasi dan diperjualbelikan hingga 2023 lalu. Data tersebut didapatkan dari sejumlah organisasi nirlaba. 

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat, pulau terbanyak diprivatisasi dan diperjualbelikan adalah di DKI Jakarta dan Muluku Utara. "Sebanyak 200 pulau tersebut paling banyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara," kata Kepala BRIN, Athiqah Nur Alami, Senin (15/7/2024).

Selain privatisasi, Athiqah juga menyoroti dampak negatif dari industri ekstraktif di pulau-pulau kecil. Industri ekstraktif tersebut seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran bagi masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.  

Menurutnya, kegiatan industri ekstraktif juga bisa menyebabkan pulau kecil tenggelam. Ini menunjukkan terjadinya kerentanan di pesisir yang sifatnya tidak hanya ekologis, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. "Hal itu tidak hanya karena perubahan iklim, tetapi juga aktivitas industri ekstraktif," beber Athiqah. 

Pun, Athiqah menyebut beberapa tahun terakhir pihaknya mencermati bagaimana kebijakan hilirisasi dan masifnya kegiatan pertambangan serta perluasan industri ekstraktif. 

Dia menilai kegiatan industrialisasi, seperti proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, juga pertambangan biji besi dan tambang emas di Sulawesi Utara, berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau-pulau kecil. 

"Dampak lingkungannya jelas, bahwa terjadi pencemaran logam berat, misalnya di sungai-sungai di sekitar pabrik di wilayah tersebut. Khususnya di pertambangan nikel yang tidak hanya pencemaran air, tapi juga pencemaran udara, hancurnya hutan, serta penggusuran kebutuhan petani akibat ekspansi tambang nikel," ujarnya. 

Menurutnya, aktivitas industri ekstraktif tersebut berdampak kepada masyarakat setempat. Ruang hidup mereka seolah terampas, yang ditandai dengan semakin terbatasnya akses masyarakat untuk melaut. 

Untuk itu Athiqah menekankan kepada pemangku kepentingan terkait untuk kembali merefleksi berbagai peraturan yang ada sebelum memutuskan sebuah tindakan, seperti yang belum lama ini terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). 

Regulasi tersebut misalnya terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,  "Pada regulasi tersebut pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia mestinya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam, serta sistem ekologi secara berkelanjutan," tandas Athiqah.