Kemana Lari Kekayaan Negara dari Tanah Eks PTPN?


Jakarta, MI - Lahan ribuan hektare (Ha) di bawah penguasaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) tak hanya mempunyai nilai strategis ekonomi, tapi juga nilai audit luar biasa besar.
Dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdahulu, banyak disebut bahwa aset tanah PTPN tidak tercatat secara jelas, dan banyak beralih ke pengembang tanpa kajian keekonomian atau tender terbuka.
Lantas siapa saja pengembang dan elite politik yang ikut menggerogoti tanah negara melalui skema ‘kerja sama’ dengan PTPN? Dugaan korupsi ini bukan lagi sekadar suap recehan, tapi soal mengubah harta negara jadi rumah mewah di kota-kota besar.
Dalam LHP BPK No. 26/LHP/XX/8/2024 mengungkap bahwa tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) tidak dihapus dari neraca Kemenkeu dengan kerugian negara antara Rp29,37 – Rp40,39 triliun.
Success fee tanpa kontrak (indikasi gratifikasi) ssebesar Rp8,27 miliar diduga melibatkan PTPN II, PT DMKR, PT PEN2, dan Citraland. Skema kerja sama merugikan negara berpotensi kerugian hingga Rp3,4 triliun per tahun.
Monitorindonesia.com, Sabtu (19/7/2025) telah berupaya mengonfirmasi temuan BPK tersebut kepada PTPN melalui [email protected] namun belum direspons.
Diketahui bahwa tanah seluas sekitar 5.000 hektare bekas HGU milik PTPN II yang telah dinyatakan sebagai tanah negara bebas oleh Menteri ATR/BPN, kini diduga telah dikuasai dan dikembangkan oleh pihak swasta, terutama oleh Citraland Group.
Proyek ini dilakukan melalui kerja sama dengan PT PEN2, anak usaha PTPN II. Padahal menurut hukum agraria, tanah eks HGU seharusnya menjadi objek redistribusi tanah oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), bukan dialihkan ke pengembang swasta.
Dalam Keputusan BPN No. 42/HGU/BPN/2002 dijelaskan bahwa masa HGU berakhir dan tanah kembali menjadi milik negara, sesuai Pasal 129 ayat 2 PP No. 18 Tahun 2021.
Sementara dalam Surat Gubernur Sumatera Utara No. 181.1/13294/2017 merekomendasikan tanah tersebut untuk dihapus dari neraca, karena tidak lagi menjadi aset operasional.
Kemudian melalui surat S-555/MBU/08/2018, Kementerian BUMN menyetujui pemindahtanganan dengan penilaian harga dari KJPP. Namun, persetujuan ini cacat hukum karena tidak berdasarkan validasi status hak atas tanah, menganggap tanah masih milik sah PTPN II dan melanggar prinsip Good Corporate Governance sesuai PP No. 72/2016 dan UU No. 19/2003 tentang BUMN.
Jika merujuk pada Pasal 2 dan 3, terdapat penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan keuangan negara. Sementara pada Pasal 18 menyatakan Negara berhak menyita aset dan menuntut ganti rugi.
Dalam perspektif hukum agraria juga menyatakan tanah dengan HGU yang telah habis otomatis kembali menjadi tanah negara. Dan segala transaksi atas tanah tersebut batal demi hukum.
Sementara dari perspektif hukum BUMN dijelaskan bahwa Direksi dan pemegang saham PTPN II melampaui kewenangan dengan memindahtangankan tanah negara, melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN.
Kejaksaan kini intens menyelidiki pola-pola manipulatif pemanfaatan lahan milik negara yang dikuasai PTPN, yang kemudian "beralih rupa" jadi kompleks elite milik swasta.
Pun, Citraland yang dikenal luas dengan proyek properti bernuansa taman modern di berbagai kota Indonesia, diduga menggunakan lahan eks-HGU PTPN II dengan proses yang tidak sepenuhnya transparan.
Sementara sumber Monitorindonesia.com menyatakan bahwa Citraland hanya bermodal pulpen dalam kerja sama dengan PTPN itu. "Betul pak mereka kerja sama, Citraland cuma modal pulpen," kata sumber itu dikutip pada Sabtu (4/10/2025).
Adapun Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) terus mendalami terkait dugaan korupsi jual beli aset milik PTPN I Regional 1 dengan PT dengan sistem kerja sama operasional dengan PT Ciputra Land alias Citraland.
“Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara saat ini masih terus melakukan penyidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam penjualan aset milik PTPN I kepada pihak Citraland,” kata Plt Kasi Penkum Kejati Sumut M Husairi, Senin (29/9/2025).
Setidaknya sudah ada 70 saksi yang diperiksa sejauh ini. 70 saksi itu berasal dari internal PTPN I maupun pihak-pihak terkait dalam kasus jual beli aset tersebut.
“Terakhir termonitor 70 saksi telah diperiksa untuk dimintai keterangan, baik dari pihak internal PTPN I, pihak terkait transaksi, maupun pihak lain yang dianggap mengetahui peristiwa tersebut. Langkah ini dilakukan guna memperkuat pembuktian serta memperjelas alur perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara,” ungkapnya.
Kejati Sumut juga memeriksa sejumlah pejabat BPN Sumut hingga Kantor Pertahanan Deli Serdang. Namun hingga saat ini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Husairi mengungkapkan mereka terus mendalami soal dokumen-dokumen yang disita saat penggeledahan. Hal itu dilakukan untuk memastikan adanya unsur perbuatan melawan hukum hingga potensi kerugian negara.
“Penyidik juga sedang melakukan pendalaman terhadap dokumen-dokumen, surat perjanjian, dan data pendukung lainnya untuk memastikan adanya unsur perbuatan melawan hukum serta potensi kerugian negara,” pungkasnya.
Diberitakan bahwa Kejati Sumut di bawah komando Harli Siregar tengah melakukan pendalaman terkait dugaan korupsi jual beli aset milik PTPN I Regional 1 dengan PT dengan sistem kerja sama operasional dengan PT Ciputra Land. Ada enam lokasi yang digeledah bersamaan hari ini.
“Tim Penyidik Bidang Pidsus telah melakukan tindakan serangkaian penyidikan berupa penggeledahan berdasarkan surat perintah penggeledahan dan surat izin penggeledahan dari Pengadilan Negeri terkait dugaan tindak pidana korupsi pada penjualan aset PTPN I Region 1 oleh PT Nusa Dua Propertindo melalui kerja sama KSO dengan PT Ciputra Land,” kata M Husairi di Kantor PT Nusa Dua Propertindo di Kabupaten Deli Serdang, Kamis (28/8/2025).
Enam lokasi yang digeledah PT Nusa Dua Propertindo (NDP) di Kecamatan Tanjung Morawa, Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Kantor PTPN I Regional 1 di Kecamatan Tanjung Morawa, Kantor PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR) di tiga kantor yakni di Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Helvetia, dan di Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan.
“Sebelumnya penyelidik pada Kejaksaan Agung RI melakukan serangkaian penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi pada penjualan aset PTPN I Regional 1 oleh PT Nusa Dua Propertindo melalui kerja sama operasional dengan PT Ciputra Land,” ucapnya.
Husairi menjelaskan jika luas lahan yang dijual oleh PTPN ke PT Ciputra Land dengan skema KSO di tiga lokasi mencapai 8.077 hektare. Dengan rincian 2.514 hektare untuk pengembangan redensial dan 5.563 hektare untuk pengembangan kawasan bisnis, industri, hijau. Dari penggeledahan itu, penyidik menyita sejumlah dokumen dari enam lokasi.
Topik:
PTPN Citra Land Kejati Sumut Kejagung Korupsi PTPN PTPN II PTPN I