Habis Gayus, Terbitlah Ken!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 November 2025 23 jam yang lalu
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi (kanan) dan Gayus Halomoan Partahanan Tambunan (kiri) (Foto: Kolase MI/Diolah)
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi (kanan) dan Gayus Halomoan Partahanan Tambunan (kiri) (Foto: Kolase MI/Diolah)

Jakarta, MI - Penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsu) Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.

Bahwa pegawai pajak yang diduga memperkecil kewajiban pembayaran pajak perusahaan melalui praktik tawar-menawar dan kesepakatan gelap dengan perusahaan atau wajib pajak. Kasus ini mencakup periode 2016-2020, dan Kejaksaan sudah melakukan penggeledahan di kantor dan rumah para terduga pada pekan lalu.

Mereka yang dicegah adalah mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi, Direktur Utama (Dirut) PT Djarum, Victor Rachmat Hartono dan 3 orang lainnya, yakni Karl Layman selaku pemeriksa pajak pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Lalu, Heru Budijanto Prabowo selaku konsultan pajak dan Bernadette Ning dijah Prananingrum selaku Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) Madya Semarang, Jawa Tengah.

Perkara ini masih tahap penyidikan umum. Artinya belum ada tersangka namun sudah ada 5 orang sebagai "tahanan negara". “Masih penyidikan umum,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Anang Supriatna pada Selasa, 18 November 2025 lalu.

Modus operandi dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak ini adalah berupaya memperkecil kewajiban pembayaran perpajakan perusahaan atau wajib pajak tahun 2016–2020. 

“Dugaan tindak pidana korupsi memperkecil kewajiban pembayaran perpajakan perusahaan atau wajib pajak pada tahun 2016 sampai 2020 yang diduga dilakukan oknum atau pegawai pajak,” kata Anang.

Perkara ini juga berbeda dari proses koreksi pajak yang lazim. “Ada kesepakatan dan ada pemberian itu. Suap lah, memperkecil dengan tujuan tertentu,” kata Anang.

Modus kasus ini diduga jauh lebih cerdas dari yang pernah dilakukan, mantan pejabat Ditjen Pajak golongan III/A, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Gayus terjerat kasus pencucian uang, gratifikasi, dan suap yang dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada 2011.

Bahwa skema korupsi yang sedang ditelisik Kejaksaan melibatkan praktik bargaining antara terduga pegawai pajak dan wajib pajak. Pelanggaran terjadi ketika pelaku secara sengaja menurunkan nilai pajak, tidak berdasarkan data atau klarifikasi yang sah, melainkan karena adanya kesepakatan dan pemberian uang.

Anang mengilustrasikan modus pada dugaan korupsi pengurangan wajib pajak ini. “Umpamanya harusnya kena Rp 30 miliar, dia kenakan cuma Rp 5-10 miliar. Dia kasih doang 2 miliar, selamat Rp 18 miliar,” tegasnya.

Modus yang cantik bukan? Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, bahwa oknum pegawai pajak menawarkan “potongan” nilai pajak kepada perusahaan atau wajib pajak. Lalu, menurunkan nilai kewajiban jauh di bawah yang seharusnya, menerima suap sebagai kompensasi atas pengurangan tersebut.

Maka dengan demikian, praktik ini merugikan negara sekaligus mematikan fungsi pengawasan fiskus.

Diketahui bahwa koreksi pajak sejatinya dapat terjadi secara wajar. Wajib pajak memiliki hak untuk memberikan klarifikasi, menunjukkan bukti pengeluaran, dan menjelaskan data keuangan. Pun, Anang memberi contoh koreksi yang sah. Bahwa "kalau memperkecil kemudian dengan ketentuan yang benar, misalnya dikenakan Rp 10 miliar, ternyata setelah dicek, bayarnya cuma Rp 7 atau Rp 8 miliar.”

Koreksi legal itu berdasarkan dokumen, bukti, dan proses klarifikasi sesuai ketentuan. Sementara koreksi ilegal itu menghasilkan nilai pajak yang tidak sesuai fakta dan terjadi setelah deal serta pemberian uang.

Oleh karena itu, yang menjadi fokus Kejaksaan adalah tindakan memperkecil pajak yang tidak memiliki dasar pembuktian, melainkan karena transaksi suap.

Atas dugaan-dugaan praktik tersebut, berdasarkan hasil penyidikan awal mendorong Kejaksaan melakukan serangkaian penggeledahan. “Benar ada tindakan hukum berupa penggeledahan di beberapa tempat terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi Memperkecil Kewajiban Pembayaran Perpajakan Perusahaan/Wajib Pajak Tahun 2016-2020 oleh Oknum/Pegawai Pajak pada Direktorat Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia," katanya.

Penggeledahan berlangsung di rumah dan kantor pegawai Ditjen Pajak. Kejaksaan masih mendalami struktur relasi antara pegawai pajak dengan wajib pajak, termasuk pihak-pihak perantara.

Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, rumah mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi juga sudah digeledah.

Kejagung juga telah memeriksa sejumlah saksi. “Saksi sudah diperiksa, ada beberapa orang,” kata Anang. 

Informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, sudah ada saksi juga yang datang ke Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Lalu, penyidik Jampidsus juga mendatangi saksi. Meski demikian, Kejaksaan belum mengumumkan jumlah saksi dan siapa saja yang diperiksa dalam kasus ini.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga sudah membernarkan bahwa anak buahnya sudah diperiksa Kejagung. "Beberapa orang kita dipanggil ke sana untuk memberi pernyataan, kesaksian apa yang terjadi pada waktu itu. Saya pikir biar saja proses ini berjalan," kata Purbaya baru-baru ini.

Meski demikian, pakar hukum pidana dari Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf mendesak Kejagung juga memeriksa pejabat Kemenkeu pada era tempus delicti dugaan rasuah itu. "Yang mengetahui dugaan kasus korupsi ini harus diperiksa, sekalipun dia sebagai Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) saat itu," kata Hudi kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (22/11/2025).

Sementara Pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar menyatakan bahwa kasus korupsi ini merupakan tindakan yang mencerminkan sifat keserakahan.

"Dalam peristiwa manipulasi pajak (penyiasatan untuk membayar lebih ringan) baik yang dilakukan wajib pajak maupun petugas DJP, jelas merupakan perbuatan tipikor yang menggambarkan sifat keserakahan. Jadi dengan sendirinya pelaku korupsi itu memang rakus dan serakah," kata Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (22/11/2025).

Kata Abdul Fickar, mereka yang dicekal keluar negeri berpotensi menjadi tersangka di kasus tersebut. "Biasanya mereka yang dicegah itu yang dijadikan tersangka. Sangat mungkin meski sudah dicekal tetap karena kekurangan alat bukti tidak/belum ditetapkan sebagai tersangka," tukasnya.

Kini penyidik masih memetakan beberapa hal. Mulai dari siapa pegawai pajak yang terlibat, nilai kerugian negara akibat pengurangan pajak ilegal, pola hubungan antara pegawai pajak dan wajib pajak, dan kemungkinan keterlibatan pihak lain, termasuk konsultan.

Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Rosmauli, menyatakan institusinya mendukung proses hukum yang berjalan di Kejagung.

“Kami menghormati sepenuhnya proses hukum yang berjalan secara independen, dan kami percaya bahwa penegakan hukum merupakan bagian penting dalam menjaga integritas institusi kami,” katanya.

Pun, DJP akan menyampaikan perkembangan bila informasi resmi sudah tersedia, “Kami akan menyampaikan perkembangan lebih lanjut apabila sudah tersedia informasi resmi yang dapat disampaikan kepada publik," tandasnya.

Secuil tentang kasus Gayus Tambunan

Empat belas tahun lalu, Gayus Tambunan membuat istilah mafia pajak jadi sangat populer di Indonesia. Tak hanya korupsi, oknum pegawai Direktorat Pajak yang telah dipecat itu juga menyuap hakim, memberikan keterangan palsu, bahkan bisa jalan-jalan saat di penjara. Menyuap sejumlah aparat, Gayus berulang kali keluar sel, judi di Makau dan nonton tenis. Wig dan kacamata tidak menyamarkan dirinya. 

Dia ketahuan dan memperberat hukumannya. Kemudian pada 19 Januari 2011, Gayus divonis selama 7 tahun karena terbukti korupsi. Ia juga didenda sebanyak Rp 300 juta. Namun hukumannya ditambah karena ia terbukti melakukan kasus-kasus lainnya. 

Aksi Gayus mengangkangi hukum dilakukan sekira tahun 2010-2011, kasus Gayus berawal dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai jumlah kekayaannya yang fantastis dan janggal. Gayus yang saat itu diperkirakan memiliki kekayaan sekitar Rp. 100 miliar padahal gajinya hanya sekitar Rp. 12,1 juta per bulan. 

Perbuatan tkorupsi yang pertama dilakukan Gayus Tambunan, yakni saat menangani permasalahan pajak PT Surya Alam Tunggal dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 570 juta. 

Kedua, Gayus terbukti menyuap penyidik Direktur II Badan Reserse Kriminal Mabes Polri melalui Haposan Hutagulung selama proses penyidikan tahun 2009. Selain itu, Gayus terbukti menyuap hakim Muhtadi Asnun sebesar Rp 50 juta untuk memberikan keterangan palsu mengenai asal-usul hartanya senilai Rp 28 miliar di rekening yang diblokir penyidik. 

Gayus Tambunan tidak menerima putusan banding terhadapnya yang justru memperlama hukumannya. Ia kemudian mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 

Sementara MA menolak PK tersebut dan menetapkan harus menjalani hukuman 12 tahun penjara ditambah menjadi 8 tahun untuk kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya. Selain itu, Gayus juga dihukum karena pemalsuan paspor dan penyuapan penjaga tahanan.

Mahkamah Agung merasa keberatan atas PK yang diajukan Gayus Tambunan dengan mengurangi hukuman Gayus menjadi 26 tahun penjara untuk tiga kasus pidana korupsi. Di luar itu, MA telah mengadili untuk menjatuhkan hukuman penjara 3 tahun dalam kasus pemalsuan paspor. Alhasil, total vonis yang harus dijalani oleh Gayus selama 29 tahun penjara. 

Gayus mendapatkan pengurangan masa hukuman setiap tahun. Sejak dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin pada Juni 2012, Gayus mendapatkan remisi Hari Kemerdekaan selama tiga bulan. 

Dia juga menerima remisi khusus Idul Fitri selama satu bulan di tahun yang sama. Selama mendekam di penjara, Gayus kurang lebih mendapatkan remisi sebanyak 22 bulan. 

Meskipun telah divonis selama itu, Gayus masih terlihat jalan-jalan keluar penjara. Melalui Mantan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat Agus Toyib mengatakan bahwa dua petugas Lapas Sukamiskin yang melakukan pengawalan kepada Gayus mengaku membawa Gayus ke sebuah restoran setelah menghadiri sidang gugatan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara kala itu. 

Sebelumnya, foto Gayus Tambunan yang sedang makan di sebuah restoran telah tersebar dari akun Facebook Baskoro Endrawan. Dalam foto itu, Gayus terlihat duduk di meja makan dengan dengan memakai baju biru dan mengenakan topi bersama dua perempuan lainnya. Di caption postingan tersebut, Baskoro menuliskan bahwa Gayus Tambunan terakhir dilihatnya pada 9 Mei 2015 di sebuah restoran di Jakarta. 

Mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat I Wayan Sukerta telah membenarkan bahwa pihaknya memberikan izin kepada Gayus untuk keluar lapas. Selain itu, izin tersebut diberikan agar Gayus bisa menghadiri sidang gugatan perceraian yang diajukan istrinya, Milana Anggraini.

Kini publik menunggu hasil penyidikan Kejaksaan Agung soal duduk perkara dan siapa saja tersangka korupsi pengurangan pajak yang menyeret mantan Dirjen Pajak, Ken hingga bos PT Djarum, Victor itu. 

Topik:

Korupsi Pajak Gayus Tambunan Dirjen Pajak Ken Kejagung DJP Kemenkeu Sri Mulyani