Pemerintah Bisa Apa? Saat Warga Kesulitan Hidup Akibat Tambang Nikel Justru Elite Saling Sindir hingga Pasang Badan!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Februari 2024 14:39 WIB
Ilustrasi - Tambang Nikel (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Tambang Nikel (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Di saat warga kesulitan hidup akibat aktivitas tambang nikel, ribuan kilometer dari Maluku dan Sulawesi para elite politik dan pejabat di Jakarta sibuk saling sindir tentang kebijakan hilirisasi nikel menjelang Pemilihan Umum 2024. Tak hanya berdebat soal substansi, komentar-komentar ad hominem pun saling dilemparkan.

Kegaduhan soal nikel ini muncul pasca debat calon wakil presiden, pekan lalu, saat cawapres nomor urut 02 dan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, berkali-kali menyentil nama mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong. Gibran menuduh Tom Lembong, yang kini mengepalai tim sukses pasangan calon nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, melakukan kebohongan publik.

Sebelumnya, Tom Lembong menyebut hilirisasi nikel yang merupakan kebijakan andalan pemerintahan Jokowi telah menghancurkan harga nikel dunia. Akibat hilirisasi yang dilakukan RI, stok nikel dunia surplus besar dan membuat harga nikel di pasar global turun sekitar 30 persen dalam satu tahun terakhir. Ia pun menyebut pemerintah melakukan program hilirisasi yang ugal-ugalan.

Lembong pun menyebut nikel sebenarnya mulai ditinggalkan produsen baterai listrik sebagai sumber bahan baku. Sebagian produsen mobil Tesla di China, ujarnya, telah memproduksi baterai berbahan baku lithium iron phosphate (LFP). ”100 persen dari semua mobil Tesla di China telah menggunakan baterai yang mengandung 0 persen nikel dan 0 persen kobalt,” tuturnya dalam podcast ”Total Politik”.

Merespons hal ini, menteri Jokowi pun sontak pasang badan. 

Dimulai pada konferensi pers ”Kinerja Investasi Tahun 2023” yang digelar di gedung Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Rabu (24/1). Bahlil menghabiskan waktu kurang kebih setengah jam lamanya. Dalam konferensi pers itu seharusnya Bahli menjelaskan hasil realisasi investasi tahunan, hanya untuk menjawab dan menyindir Lembong. Namun Bahli, tampaknya mempunyai dua agenda besar saat konferensi pers kinerja investasi Indonesia 2023 pada Rabu (24/01).

Yaitu mempertanyakan kinerja Thomas Lembong, kepala BKPM periode 2016-2019 dan meyakinkan publik bahwa program hilirisasi nikel adalah jalan terbaik untuk memajukan bangsa dan mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045".

Dalam konferensi pers tersebut, tanpa menyebut nama, Bahlil berulang kali menyentil Thomas, termasuk soal kegagalan mencapai target investasi pada 2018, mandeknya pengembangan sistem online single submission (OSS). Serta apa yang ia sebut sebagai kebohongan publik soal nikel Indonesia tidak lagi diminati industri baterai kendaraan listrik dunia.

Bahlil berkata "Jangan omon-omon saja. Bahaya ini negara kalau dibuat-buat begini."

Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah dengan luas area sekitar 4.000 hektare diklaim berhasil menarik investasi hingga AS$20,9 miliar per 2022. Sementara LFP, menurut Bahlil, hanya dipakai oleh sebagian mobil Tesla. Jarak tempuh mobil listrik dengan baterai berbahan baku nikel disebutnya masih lebih baik dibandingkan LFP.

Dijelaskannya, bahwa pemain baterai listrik terbesar dunia juga sudah berinvestasi di Indonesia dan masih menggunakan nikel sebagai bahan baku.

"Nikel ini komoditas kritikal dunia. Jadi, jangan dianggap remeh barang ini. Dalam pertarungan diplomasi geopolitik, (posisi nikel) ini luar biasa,” kata Bahlil.

Harga Nikel Naik Turun Karena Mekanisme Pasar?

Bahlil juga membantah anggapan kalau hilirisasi nikel membuat harga komoditas itu turun. Menurut dia, harga nikel yang naik turun murni karena mekanisme pasar. Sebaliknya, Indonesia justru diuntungkan oleh hilirisasi nikel karena nilai tambah ekonomi meningkat dan ekspor nikel tumbuh pesat.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga ikut pasang badan lewat unggahan di akun Instagram pribadinya pada Kamis (25/1).

Luhut mengungkapkan bahwa Indonesia tengah mengembangkan baterai untuk kendaraan listrik yang bahan bakunya dari lithium ferro phosphate (LFP) bersama dengan China. Awalnya Luhut mengatakan saat ini harga nikel dunia terus mengalami penurunan yang cukup tajam, imbas pasokan yang berlimpah. Namun kata dia kondisi ini cukup menguntungkan karena nikel kembali berdaya saing dengan bahan baku pembuatan baterai lainnya.

"Kalau harga nikel terlalu tinggi itu sangat berbahaya, kita belajar dari kasus cobalt tiga tahun lalu harganya begitu tinggi, orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Ini salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP) itu," ujar Luhut pada @luhut.pandjaitan.

Sama halnya dengan nikel, Luhut menyatakan bahwa jika harga nikel menjadi terlalu tinggi, industri baterai listrik kemungkinan akan mencari solusi alternatif. "Jika kita menetapkan harga yang tinggi, orang akan mencari opsi lain karena perkembangan teknologi sangat cepat," ucap Luhut.

Selanjutnya, ia menekankan bahwa baterai lithium berbasis nikel dapat didaur ulang, namun baterai LFP saat ini belum dapat didaur ulang. "Tetapi ingat lithium battery itu bisa recycling, sedangkan tadi yang LFP itu tidak bisa recycling sampai hari ini tetapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang. Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan China, tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain," kata Luhut.

Atas pernyataan itu, Tom Lembong yang saat ini sebagai Co-Captai Timnas AMIN, mengaku gembira. Menurut Tom Lembong pernyataan tersebut harus diapresiasi, karena saat ini teknologi baterai mobil listrik berkembang dengan cepat sehingga menimbulkan persaingan yang ketat dari sisi bahan baku.

"Tapi yang sudah pasti persaingan yang sengit antara berbagai teknologi akan terus memberikan tekanan kepada harga," kata Tom di Markas Pemenangan Timnas AMIN di Jakarta, Senin (29/1) kemarin.

Tom Lembong mengungkapkan bahwa kedepannya harga baterai kendaraan listrik akan semakin murah karena adanya persaingan tersebut. "Harga baterai akan turun terus dan itu juga memberikan tekanan kepada harga-harga bahan baku baterai," katanya.

Senang dan gembira atas pernyataan Luhut tersebut, menurut dia hal tersebut muncul karena adanya diskusi publik yang terbuka, sehingga semua pihak bisa berkomentar. "Kami sangat gembira atas diskusi publik yang terbuka dengan mengeluarkan berbagai macam data, fakta, realita ya, sehingga juga mengundang keikutsertaan pakar-pakar, ahli-ahli, masyarakat sipil dengan berbagai elemen masyarakat bisa ikut berkomentar," katanya.

Apa Kata Jatam Soal Hilirasasi Nikel?

Penambangan dan pengolahan bijih nikel ini terus mengorbankan ruang hidup warga dan mencemari lingkungan dari Kepulauan Sulawesi hingga di Halmahera, Maluku Utara. Kasus terbaru, pencemaran di perairan Maba, Halmahera Timur, dan Sungai Sagea di Halmahera Tengah, tepat pada hari Natal, 25 Desember lalu.

Beberapa hari lalu, tungku smelter nikel PT Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di Morowali, Sulawesi, meledak dan menewaskan belasan pekerja, tercatat sudah ada 19 pekerja meninggal hingga 27 Desember lalu. Kawasan industri nikel itu juga sebelumnya mengubah bentang alam dan mencemari perairan laut di Sulawesi.

Pencemaran ruang laut, sumber air, hingga peristiwa mengenaskan di dua wilayah timur Indonesia pada penghujung akhir 2023 ini hanyalah secuplik dari masalah besar di sentra proyek hilirisasi nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

“Proyek hilirisasi nikel selama ini memicu perluasan perampasan ruang produksi-konsumsi warga. Mulai dari lahan-lahan pertanian, wilayah tangkap nelayan, hingga mencemari air, air laut, merusak ekosistem kawasan hutan, dan berdampak pada terganggunya kesehatan warga,” kata Alfarhat Kasman, Pengkampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Dalam praktiknya, program hilirisasi itu juga memicu masifnya kekerasan dan intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidup.

Jatam mencatat, warga di Pulau Obi, Halmahera Selatan, harus kehilangan lahan karena jadi lahan industri tambang nikel Harita Group. Sumber air, sungai, dan laut tercemar sedimentasi ore nikel. Warga juga dipindah-paksa ke kawasan pemukiman baru (eco-village), satu warga masuk penjara karena mempertahankan tanah.

Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, PT Gema Kreasi Perdana–tak lain anak usaha Harita Group–warga yang mempertahankan ruang hidup justru mengalami kekerasan, intimidasi, sampai 35 orang dikriminalisasi. Operasi tambang di pulau kecil Wawonii juga mencemari sumber air warga, yang memicu munculnya penyakit gatal-gatal, hingga air laut keruh-kecoklatan akibat limbah tambang.

Kedua pulau itu, kata Alfarhat, mesti menanggung risiko lingkungan dan kemanusiaan serius. Sementara, di wilayah daratan dan perairan Kepulauan Halmahera dan Sulawesi juga alami kebangkrutan ekologis secara masif.

Rencana penambangan nikel di Gunung Wato oleh PT Priven Lestari, mengancam sumber air bagi hampir 20.000 warga di Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

Padahal, katanya,  sumber air ini andalam warga Subaim,  Kecamatan Wasile, merupakan salah satu lumbung pangan (padi) terpenting di Maluku Utara.

Di Halmahera Timur, tempat dimana PT Aneka Tambang (Antam) beroperasi. Perusahaan pelat merah ini disebut mengokupasi daratan, mencemari pesisir dan laut, serta memporak-porandakan pulau kecil, seperti Pulau Gee dan Pulau Pakar.

Sementara, wilayah sentra hilirisasi nikel di Halmahera Tengah juga tak luput dari krisis. Operasi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) disebut menjadi “zona pengorbanan”.

“Dimana pembongkaran nikel, operasi pabrik smelter, dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara meninggalkan kerusakan, kehilangan, dan mewariskan penyakit yang sulit dipulihkan, serta melenyapkan hak veto rakyat.”

Di Sulawesi, operasi PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan ratusan pertambangan nikel juga dinilai berjalan ugal-ugalan. Aktivitas industri ekstraktif ini berdampak serius pada alih fungsi lahan skala besar, termasuk mencemari perairan dan merusak kawasan hutan, hingga berdampak pada terganggunya kesehatan warga.

“Ironisnya, dampak eksternalitas dari hilirisasi itu, tidak dianggap sebagai bagian dari kerugian negara, [dan] semua dibebankan kepada warga. Padahal, daya rusak itu pada akhirnya juga berdampak pada terganggunya income, daya beli, dan menjadi sumber kemiskinan,” kata Alfarhat.

Memiskinkan Warga

Moh. Taufik, Koordinator Jatam Sulawesi Tengah, mengatakan,  hilirisasi nikel sebetulnya juga menjadi pemicu meningkatnya kemiskinan bagi warga di tapak operasi penambangan nikel.

Di Morowali,  misal, ratusan hektar persawahan terdampak lumpur hingga hasil panen masyarakat menurun drastis.

Selain sumber air bersih dan areal pertanian, Taufik bilang, limpasan ore nikel juga mencemari tambak-tambak ikan, hingga budidaya rumput laut warga.

Ruang-ruang hidup warga seperti pertanian dan perairan laut yang tercemar, justru menyebabkan masyarakat yang tidak bisa bekerja di industri tambang nikel kehilangan mata pencaharian.

Kalau melihat data badan pusat statistik (BPS), kata Taufik, angka kemiskinan di wilayah pusat pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara justru tinggi—kendati pertumbuhan ekonomi di wilayah sama juga tinggi.

Secara detail, merujuk laporan Kompas, kemiskinan tercatat naik paling tinggi di sentra penghasil dan pengolah nikel terbesar di Sulawesi, yaitu, Sulawesi Tenggara dengan angka kemiskinan naik 0,16% poin dari 11,27%  pada September 2022 jadi 11,43 persen pada Maret 2023.

Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua ada di Sulawesi Tengah, yang naik 0,11% poin dari 12,30% menjadi 12,41%. Sulawesi Selatan, juga wilayah penghasil nikel, mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04% poin dari 8,66% menjadi 8,70%  .

Kemiskinan juga terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel di Maluku Utara. Per Maret 2023, kemiskinan wilayah yang dahulu dikenal dengan kepulauan rempah-rempah ini naik 0,09% poin dari 6,37% pada September 2022 menjadi 6,46%.

Naiknya angka kemiskinan disebut kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai wilayah-wilayah ini setelah hilirisasi nikel.

Dari kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) terkait dampak lingkungan hidup dan sosial di Halmahera, Maluku Utara, Morowali dan Morowali Utara, juga menunjukkan, industri nikel tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat di wilayah tapak.

Dari kegiatan ekonomi industri nikel di Morowali, katanya, hanya 4,35% dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang tinggal atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Sekitar 95% lainnya ke luar. Di Morowali Utara, hanya 15% nilai PDRB dirasakan masyarakat. Sedangkan, 84% keluar.

“Ini yang membuat angka kemiskinan di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka kemiskinan kabupaten di Sulawesi Tengah,” kata Pius Ginting, Koordinator AEER beberapa waktu lalu.

Dia bilang,  masyarakat di area industri nikel harus mengeluarkan biaya lebih tinggi. Ongkos hidup bertambah. Sungai yang tidak sehat memaksa warga membeli air bersih. Juga angka penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut yang tergolong tinggi menambah biaya kesehatan.

Menurut Taufik, kesehatan masyarakat di wilayah industri nikel sangat terancam. Penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara menjadi penyebab angka penyakit di wilayah kawasan industri makin tinggi.

“Hingga hilirisasi yang dibangga-banggakan ini sebenarnya tidak melihat fakta di lapangan, bahwa ada yang penting kita evaluasi dari hilirisasi. Ternyata [hilirisasi nikel] justru hanya menimbulkan masalah baru,” kata Taufik.

Selain merampas ruang hidup, pertambangan dan smelter nikel juga berpotensi mengancam kelestarian hutan alam dan keanekaragaman hayati. Masifnya ekspansi besar-besaran industri ekstraktif ini, terutama untuk kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik disebut menjadi penyebab deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara mengatakan, pertambangan nikel saat ini menjadi salah satu penyebab deforestasi terbesar menyusul pertambangan batubara dan sawit. Angka deforestasinya lebih dari 200.000 hektar jelang akhir 2023.

Menurut dia, angka deforestasi ini bisa berubah karena tahun masih berjalan–meski tersisa beberapa hari—hingga ada kemungkinan terjadinya perubahan data, seperti deforestasi meluas.

Eskalasi deforestasi dari nikel ini, kata Timer, mayoritas terjadi pada era Presiden Joko Widodo.

Dari analisis Auriga, menemukan setidaknya pada rentang delapan tahun (2015-2022) Jokowi berkuasa, tercatat luas deforestasi mencapai 125.988 hektar mencakup 64% total deforestasi nikel sejak 2000-2022 seluas 195.963 hektar.

Dari analisis data Auriga, penerbitan izin tambang nikel di Indonesia pada medio 2000-2022 terlihat fluktuatif namun eskalasi deforestasi terus meningkat. Tercatat, pada rentang 2000-1010,  terdapat satu izin tambang nikel, terekam deforestasi seluas 10.681 hektar.

Angka penerbitan izin baru terjadi sejak 2011. Misal, pada 2011-2016, terdapat 521 izin tambang nikel seluas 2,16 juta hektar. Angka itu menyusut setengah pada 2022, terdapat 260 izin tambang seluas 779.000 hektara.

Pada 10 tahun terakhir,  2011-2022,  deforestasi mencapai 185.281 hektar. Jadi total deforestasi selama 22 tahun terakhir sejak 2000-2022 seluas 195.963 hektar.

Deforestasi ini terjadi di berbagai wilayah penambangan nikel, antara lain dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Papua.

Timer mengatakan, deforestasi yang meningkat di masa pemerintahan Jokowi karena pembangunan pabrik pengolahan atau smelter nikel untuk baterai kendaraan listrik digenjot.

Proyek hilirisasi nikel yang digaungkan ramah lingkungan ini bagi Timer merupakan salah kaprah. Proyek andalan presiden dua periode ini, katanya, dibangun tanpa ada kejelasan hingga memicu berbagai macam masalah dari hulu hingga hilir. “Hingga yang terjadi over eksploitasi atau eksploitasi yang tidak berencana,” katanya.

Timer bilang, penambangan dan pengolahan bijih nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, bukan hanya berdampak pada deforestasi, juga merampas ruang hidup warga dan mengancam keanekaragaman hayati.

Bagi Timer, hilirisasi salah kaprah ini telah mengancam ruang perikanan dan pertanian di Maluku Utara. Misal di Weda, Halmahera Tengah, dan Pulau Obi, di Halmahera Selatan, lahan pertanian dan ruang laut dicemari industri nikel untuk proses bahan baku baterai.

Sementara keanekaragaman hayati, kata Timer, juga terdampak cukup serius. Masih banyak spesies yang belum diketahui di wilayah yang telah dibongkar hutan alamnya karena tidak banyak riset terkait, misal, di kawasan industri PT IWIP di Weda yang punya satwa endemik.

“Itu banyak spesies lain yang belum kita ketahui,” katanya.

Dia khawatir,  satwa yang belum diketahui ini akan punah begitu saja karena pembongkaran hutan. “Biodiversitas itu paling rentan, tidak bisa membela diri.”

Ancam Masyarakat Adat

Praktik pertambangan nikel sejak dahulu, kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selalu berhadap-hadapan dengan wilayah adat yang jadi ruang hidup masyarakat adat.

Pemerintah selalu membuat pengecualian bersyarat terhadap wilayah-wilayah adat dan diperuntukan pertambangan skala besar. Wilayah adat dianggap negara dan korporasi tambang sebagai tanah tak bertuan.

Kasus Suku O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam di hutan Halmahera, misal, diusir paksa dan terancam ruang hidupnya karena pembukaan lahan skala besar oleh industri tambang PT Weda Bay Nickel (WBN)–di bawah PT IWIP, karena dianggap kawasan tempat suku penjaga hutan ini bukan pemilik ulayat.

Masalah lahan adat Padoe di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, juga terancam karena diterobos PT Vale Indonesia–sebuah perusahaan tambang nikel yang menguasai sebagian wilayah Sulawesi.

Setelah wilayah adat rusak, mereka diiming-imingi pekerjaan berbasis ekonomi uang tambang. Padahal,  masyarakat adat, kata Arman, bukan tidak punya pekerjaan. Mereka sudah punya pekerjaan sejak dulu, sebagai petani, sebagai pemburu-peramu, dan lain-lain di wilayah adat.

“Hal paling mendasar yang tidak selesai sampai hari ini adalah bagaimana memastikan proses-proses bisnis yang masuk ke dalam wilayah adat itu menghormati, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat adat,” katanya.

Masyarakat adat dan wilayahnya, kata Arman, sekadar jadi jargon politik, namun dalam praktik justru dikangkangi dengan proyek atau program-program yang merusak dan mengancam masyarakat adat.

“Pemerintahan Jokowi itu meninggalkan jejak buruk terhadap praktik-praktik yang baik selama ini menjaga ruang hidupnya, kemudian melanjutkan proses penghancuran budaya lewat proyek-proyek strategis nasional, salah satunya hilirisasi nikel.”

Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti di Sajogyo Institut, mengatakan,  selama ini proyek hilirisasi nikel tak menjawab masalah struktural yang dihadapi masyarakat.  Justru sebaliknya, keuntungan dari rantai pasok nikel mengalir kepada segelintir oligarki dan membuka pintu korupsi.

Menurut Eko, proyek ambisius pemerintahan Jokowi ini telah menciptakan eksplorasi dan ekspansi brutal ke wilayah-wilayah konservasi, kawasan hutan, wilayah adat, sungai dan karst Bokimaruru di Sagea, Gunung Wato Wato di Halmahera Timur, hingga pengusiran terhadap suku Tobelo Dalam, di hutan Halmahera.

“Tidak ada contoh baik bagaimana pertambangan nikel itu hormat ekologi dan hormat hak asasi manusia, atau hormat masyarakat adat, masyarakat lokal, nelayan, petani, perempuan, dan kelompok rentan di sekitar tambang? Kan tidak ada. Justru makin brutal,” ujar Eko.

Baginya, industri nikel sebagai salah satu bahan baku untuk produksi baterai kendaraan listrik tampak berjalan brutal dan kejam. Dia sampai mengistilahkan bahwa kondisi yang dihadapi masyarakat, terutama Masyarakat Adat Tobelo Dalam dengan perusahaan tambang nikel di Halmahera adalah etnogenisoda.

“Mereka [Tobelo Dalam] juga sama akibatnya itu akan musnah. Sekarang [kondisinya] makin hari makin terancam punah. Secara subtantif, itu sama saja dengan etnogenosida masyarakat adat. Kenapa? Karena hidupnya hanya dari hutan, situ rumahnya, terus pelan-pelan miskin, sumber airnya hilang, obat-obatannya hilang, terus tersingkir,” kata Eko.

“Setelah tersingkir, kalau nggak ditolong, kemudian nggak punya keturunan. Artinya musnah. Bisa dong kita sebut sama dengan etnogenosida.”

Cadangan Nikel Hampir Separuh Dimiliki Indonesia

Berdasarkan data Jatam, cadangan nikel dunia pada 2022, mencapai 72 juta ton. Hampir separuhnya dimiliki Indonesia. Disusul Australia 21 persen, Brasil 16 persen, dan sisanya berada di Rusia, New Caledonia, Filipina, Canada dan China.

Sayangnya, penambangan nikel di Indonesia begitu jor-joran alias ugal-ugalan. Hingga akhir 2023, lebih dari 300 izin usaha pertambangan (IUP) nikel dikeluarkan. Luasnya mencapai 3.95 juta hektare, tersebar di  Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawusi Utara, maluku Utara,Maluku, Papua Barat dan Papua. Luas IUP nikel itu, setara 60 kali luas Jakarta.

Dari Mana Datangnya Investasi untuk Hilirisasi?

Bahlil mengatakan kebijakan Indonesia untuk kembali melarang ekspor bijih nikel sejak awal 2020 (sebelumnya dijalankan pada awal 2014), berhasil menarik investasi untuk mendorong pengembangan industri pengolahan nikel.

Aliran dana itu utamanya berasal dari China, entah secara langsung ataupun melalui perusahaan cangkang di Hong Kong dan Singapura, kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) pada Kamis (25/01).

Sebagai catatan, Singapura dikenal sebagai hub keuangan atau tempat bagi investor asing dari berbagai belahan dunia menaruh uangnya untuk berbisnis di Asia.Karena itu, investasi dari Singapura ke Indonesia konsisten nomor satu dari tahun ke tahun, dengan angka menyentuh US$12,1 miliar (Rp192,2 triliun) pada 2023, merujuk data BKPM.

Sementara itu, investasi dari China dan Hong Kong adalah yang terbesar kedua dan ketiga pada tahun lalu, masing-masing dengan US$5,6 miliar dan US$5,2 miliar.

Angka investasi dari China dan Hong Kong melonjak dalam 10 tahun terakhir di periode pemerintahan Jokowi, sejalan dengan berkumandangnya program hilirisasi.

Pada 2014, dua negara itu hanya menyumbang 5,1% terhadap total angka investasi asing di Indonesia. Persentasenya terus membesar hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 30,1%, sebelum turun tipis ke 28,6% pada tahun lalu. Alhasil, industri penambangan dan pengolahan nikel tumbuh pesat.

Pada 2014-2023, produksi bijih nikel tahunan melonjak 395% dari hanya 39 juta ton menjadi 193 juta ton, merujuk data resmi pemerintah. Pada periode yang sama, jumlah smelter nikel yang telah dan akan dibangun naik 274,2% dari 31 unit menjadi 116 unit.

Sebagai catatan, bahwa saat ini banyak perusahaan-perusahaan China berkejaran untuk mengeruk nikel dan memang pintu untuk hilirisasi terbuka setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah. Maka tak heran, investasinya meningkat cukup tajam. (wan)

(Sumber: Berbagai Sumber)