Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Berkali-kali Disanksi Peringatan Keras Terakhir, DKPP dan Bawaslu Bisa Apa?

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 6 Februari 2024 00:54 WIB
Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI, Hasyim Asy'ari (Foto: Dok MI)
Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI, Hasyim Asy'ari (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari berkali-kali mendapatkan sanksi "peringatan keras terakhir" oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia (RI). 

Atas hal ini, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mendesak Ketua KPU RI segera mundur dari kedudukannya di KPU untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara Pemilu.

"Kepada seluruh anggota KPU RI agar berbenah dan fokus dalam menyelenggarakan Pemilu yang berintegritas," kata Peneliti PSHK FH UII Muhammad Addi Fauzani di Yogyakarta, Senin (5/2).

Menanggapi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), PSKH FH UII menilai putusan itu sangat kompromistis. Menurut dia, DKPP dalam memutus setiap dugaan pelanggaran etik mestinya belandaskan pada hukum formil yang telah ditetapkan oleh DKPP sendiri sehingga tidak melahirkan putusan yang kompromistis yang mengabaikan prinsip Keadilan Pemilu.
 
Didampingi peneliti PSHK FH UII lainnya, Erfa Redhani, Addi menambahkan DKPP dalam memberikan sanksi "Peringatan Keras Terakhir" kepada Ketua KPU tidak sesuai dengan ketentuan sanksi Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. DKPP, katanya dalam peraturannya hanya mengatur mengenai sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.

Terlebih terdapat fakta bahwa Ketua KPU telah dijatuhi paling tidak 3 kali sanksi peringatan keras. Dalam catatan PSHK FH UII, lanjutnya, tingkah laku Ketua KPU RI yang telah berulang kali melakukan pelanggaran etik dan mendapatkan sanksi peringatan keras telah nyata-nyata menafikan amanat konstitusi pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu harus memiliki sikap jujur dan adil.

Ditegaskan, pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota KPU lain dalam melakukan penetapan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan suatu tindakan pengabaian terhadap amanat Konstitusi dalam pelaksanaan Pemilu yang harus dilakukan secara berintegritas. 

Kuota Caleg Wanita

Sebelumnya Hasyim Asyari pernah dijatuhi peringatan keras pada oleh DKPP pada 25 Oktober 2023 lalu. Sanksi tersebut dijatuhkan lantaran Hasyim melanggar kode etik dan pedoman penyelenggara pemilu dalam penyusunan regulasi yang mengatur cara menghitung kuota bakal calon anggota legislatif perempuan minimal 30 persen. 

Sanksi ini terkait dengan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU 10/2023 mengenai pembulatan ke bawah dari 30% pencalonan perempuan dalam Pemilu DPR/DPRD. Enam anggota KPU lain mendapat sanksi peringatan oleh DKPP.

“Menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada teradu satu, Hasyim Asy’ari selaku ketua merangkap anggota KPU terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ujar Ratna Dewi Pettalolo, Anggota DKPP saat membacakan putusan Perkara Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 di Ruang Sidang DKPP, Jakarta (25/10/2023).

Sebagai informasi, Perkara Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 merupakan perkara tentang kesalahan KPU dalam menghitung kuota minimal 30% perempuan calon anggota DPR/DPRD dalam Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023. Sebelumnya, melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) ketentuan ini telah terbukti melanggar Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu.

DKPP berpendapat, para teradu yang merupakan ketua dan anggota KPU yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan membentuk PKPU seharusnya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni di bidang kepemiluan. DKPP berpendapat tidak dapat dibenarkan menurut hukum dan etika penyelenggara pemilu keliru dalam mengakomodasi masukan DPR.

DKPP menilai para teradu terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu atas tindakan KPU yang tidak cermat dan tidak profesional dalam mengakomodasi masukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sikap para anggota KPU ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang berdampak bagi peserta pemilu.

Hasyim dan teradu lainnya dinyatakan terbukti melanggar sejumlah pasal dalam peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Di antaranya, Pasal 6 ayat (3) huruf a dan f; Pasal 11 huruf a, c dan d; Pasal 15 huruf a, e, dan g.

Muhammad Tio Aliansyah, Anggota DKPP menyampaikan, memberikan sanksi yang lebih berat kepada Hasyim atas tanggungjawab jabatan yang diemban, karena terbukti tidak mampu menunjukan sikap kepemimpinan yang profesional dalam mengawal pembentukan PKPU Nomor 10 Tahun 2023.

“Teradu satu, selaku ketua KPU dituntut dapat bersikap tegas, tidak ambigu dan menyakinkan, khususnya DPR, berkenan dengan metode penghitungan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam daftar bakal calon,” terang Tio.

Wanita Emas

Lalu DKPP RI menjatuhkan sanksi "peringatan keras terakhir" kepada Hasyim Asy'ari karena terbukti pergi ziarah bersama Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein alias Wanita Emas yang saat ini merupakan terpidana korupsi penyelewengan dana PT Waskita Beton Precast Tbk pada 2016-2020.

Dalam sidang putusan di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Senin (3/4/2023) siang, DKPP memutuskan Hasyim terbukti melanggar kode etik karena melakukan pertemuan dan perjalanan pribadi ke Yogyakarta bersama Hasnaeni. Namun, dugaan soal dugaan Hasyim melecehkan Hasnaeni tidak terbukti. 

Atas pelanggaran kode etik tersebut, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim. "Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada teradu Hasyim Asya'ri selaku ketua merangkap anggota KPU RI, terhitung sejak putusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP Heddy Lugito. 

Dalam pertimbangan putusannya, DKPP menyatakan Hasyim mengakui telah melakukan perjalanan pribadi bersama Hasnaeni dari Jakarta menuju Yogyakarta pada 18 Agustus 2022. Setiba di Yogyakarta, keduanya langsung mengunjungi sejumlah pantai dan goa untuk melakukan ziarah. 

"Teradu (Hasyim) dan pengadu II (Hasnaeni) melakukan ziarah hingga tanggal 19 Agustus 2022 pukul 05.00 WIB. Selanjutnya, teradu diantar ke Hotel Ambarukmo," kata Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi. 

DKPP menilai, pertemuan Hasyim dan Hasnaeni yang terjadi di luar agenda kedinasan itu merupakan tindakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, Hasnaeni merupakan ketua umum partai politik calon peserta pemilu. Terlebih lagi, 'ziarah' itu dilakukan saat sedang berlangsung tahapan verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. 

"DKPP menilai teradu terbukti telah melanggar prinsip mandiri, proporsional, dan profesional," kata Raka. Hasyim dinilai melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. 

Terkait dugaan Hasyim melecehkan Hasnaeni, DKPP menyimpulkan tudingan itu tidak terbukti. Sebab, pihak Hasnaeni tidak bisa menghadirkan bukti-bukti yang bisa meyakinkan DKPP. 

Namun demikian, DKPP menemukan fakta lain selama proses pemeriksaan dugaan pelecehan itu. Ternyata, Hasyim dan Hasnaeni aktif berkomunikasi melalui percakapan WhatsApp tentang topik pribadi. Salah satu pesan yang dikirimkan Hasyim kepada Hasnaeni yakni, "Nanti malam, dirimu keluar bawa mobil sendiri. Jemput aku, kita jalan berdua, ziarah keliling Jakarta".

Pencawapresan Gibran Rakabuming Raka

Selanjutnya adalah DKPP RI menjatuhkan sanksi "peringatan keras terakhir" lagi kepada Hasyim Asy'ari. Kali ini dia tidak sendirian, namun bersama anggota KPU lainnya. Alasannya, karena melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Putusan itu disampaikan ketuanya, Heddy Lugito dalam sidang putusan DKPP di Jakarta, Senin (5/2). Putusan ini diambil setelah DKPP sebelumnya menerima aduan dari tiga orang tentang putusan KPU tersebut.

"Memutuskan, mengabulkan pengaduan para pengadu untuk sebagian.Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari," tegas Heddy Lugito, seperti disaksikan Monitorindonesia.com dalam siaran langsung di YouTube DKPP RI.

Enam orang komisioner KPU itu adalah August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, serta Idham Holik. Hasyim dinilai melanggar kode etik, karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dalam aturan yang ada.

Aturan itu adalah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Pertimbangan DKPP 

Dalam pertimbangannya, DKPP mengatakan, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.

Hal itu diperlukan, demikian putusan DKPP, agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 - selaku aturan teknis pilpres - dapat segera direvisi akibat dampak putusan MK. "Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan," kata anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat membacakan putusan.

Menurut Wiarsa, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023, karena DPR tengah dalam masa reses.

Namun demikian, ujar Wiarsa, alasan dari KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah putusan MK. "tidak tepat. DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan Ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib," jelasnya.

Selain itu, kata Wiarsa, DKPP juga menganggap tindakan para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik, sebagai tindakan yang "tidak tepat" dan "menyimpang dari Peraturan KPU".

"Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024," ujar Wiarsa.

Atas putusan ini, DKPP memerintahkan KPU menjalankan putusan ini. Mereka juga meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengawasi putusan tersebut.

Seperti diberitakan bahwa ada empat aduan terhadap komisioner KPU terkait perkara etik pencalonan Gibran sebagai cawapres. Empat perkara itu diadukan oleh Demas Brian Wicaksono, Iman Munandar B, P.H. Hariyanto, serta Rumondang Damanik.

Pada 25 Oktober 2023, KPU telah menerima menerima berkas pendaftaran pencalonan Gibran. Padahal, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023, yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun.

Disebutkan, KPU berdalih bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres sudah cukup untuk dijadikan dasar memproses pencalonan Wali Kota Solo berusia 36 tahun itu, ungkap Kompas.

Walau demikian, pada akhirnya, KPU kemudian mengubah persyaratan capres-cawapres, dengan merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023. Namun demikian, revisi itu baru ditandatangani pada 3 November 2023.

Apa Kata Hasyim Asy'ari?

Hasyim Asy'ari mengatakan dirinya tidak dalam posisi mengomentari putusan DKPP tersebut. "Saya tidak akan mengomentari putusan DKPP. Karena semua komentar, catatan argumentasi sudah kami sampaikan pada saat persidangankatanya usai rapat dengan Komisi II DPR, Senin (5/2).

KPU, kata dia, sebagai teradu selama ini selalu mengikuti proses persidangan di DKPP. Mereka juga mengaku telah memberikan keterangan dan bukti kepada DKPP. "Ketika ada sidang diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban, keterangan, alat bukti, argumentasi sudah kami sampaikan," ungkapnya.

Sama dengan kasus soal Wanita Emas, Hasyim Asy'ari juga enggan menanggapi putusan DKPP RI itu. "Aku enggak komentar," kata Hasyim kepada wartawan ketika dimintai tanggapannya atas putusan tersebut, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/4/2023) lalu.

Kendati demikian, para awak media terus melontarkan pertanyaan terkait putusan tersebut kepada Hasyim. Namun, dia tetap enggan berkomentar sembari menempelkan satu telunjuk di bibirnya. Wartawan kembali melontarkan pertanyaan serupa kepada Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin malam. Namun, ia tetap tidak mau berkomentar. 

"Kalau soal itu (sanksi peringatan keras terakhir), saya tidak komentar. Kalau yang lain, saya mau," ujar Hasyim. 

Tetap saja Hasyim Asy'ari tidak mau berkomentar karena sudah cukup memberikan penjelasan dalam sidang pemeriksaan di DKPP. 

Apa Kata Bawaslu?

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja enggan memberikan banyak komentar. Menurutnya, putusan dari DKPP ini menjadi pengingat bagi KPU dan penyelenggara Pemilu agar lebih hati-hati dalam bekerja.

"Tapi ini merupakan koreksi juga pengingat bagi penyelenggara Pemilu agar berhati-hati dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang," kata Bagja di DPR RI, Senayan, Senin (5/2).

Hanya saja, Bagja mengatakan putusan DKPP itu berkaitan dengan pribadi dari penyelenggara Pemilu. Di satu sisi, putusan ini tidak akan mempengaruhi putusan lembaga.

"Proses yang telah dilakukan itu yang disalahkan penyelenggara atau KPU, jadi silakan diterjemahkan sendiri, tapi bagi kami proses telah berjalan, ada permasalahan mengenai itu yang kemudian dicermati dan juga dilaporkan ke DKPP, ya itu ranah dari DKPP," ucap Bagja.

"Jadi kami agak sulit kemudian memberikan komentar, karena putusan DKPP harus dilaksanakan dan tidak ada kemudian DKPP merekomendasikan terhadap hal ini kan terhadap proses-proses yang telah dilalui," tambah dia.

Menurut Bagja, Bawaslu juga sudah pernah disanksi oleh DKPP. Bawaslu juga diperingatkan mengenai keterwakilan perempuan dalam jajaran komisioner.

"Kami juga pernah di DKPP dan diputus bersalah, tapi prosesnya sudah berjalan dan kemudian misalnya kami mendapat peringatan soal komisioner perempuan ya di penyelenggara Pemilu di provinsi Sumatra Utara, kami kena peringatan dan itu tapi kan tidak mengubah komisionernya itu balik lagi seleksiknya tidak demikian cara kerjanya," demikian Bagja.

Apa Itu Sanksi Peringatan Keras Terakhir?

Dikutip Monitorindonesia.com di laman DKPP, peringatan keras merupakan salah satu sistem sanksi etika yang bisa dilakukan oleh DKPP pada terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kebijakan pemilu.

Terdapat dua mekanisme yang bisa dipilih oleh DKPP dalam pemberian sanksi etik, yakni sanksi yang bersifat membina atau mendidik dan sanksi yang bersifat berat.

Peringatan keras termasuk pada sanksi yang bersifat membina atau mendidik.

Meski begitu, peringatan keras merupakan bentuk paling berat dari sanksi yang bersifat membina atau mendidik. Karena sanksinya tertulis, terdokumentasi, dan tersebar secara terbuka untuk khalayak yang luas.

Sanksi yang paling ringan dari sanksi yang bersifat membina atau mendidik adalah hanya berupa peringatan atau teguran.

Selain itu, terdapat pula kategori sanksi yang bersifat berat. Sanksi dalam kategori ini berbentuk pemberhentian pelanggar baik sementara maupun tetap. Sanksi tipe ini ditujukan untuk pembersihan nama baik institusi serta menjaga kepercayaan masyarakat.

Mekanisme Pemberhentian Anggota KPU

Tentu saja urusan ini tidak sederhana soal pemberhentian ini. Ada berbagai prosedur yang harus dilalui sebagaimana diatur dalam UU.

Aturan tentang pemberhentian anggota KPU ada di UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya pasal 29, 30, dan 31. Dalam pasal 29 ayat (1) disebutkan, anggota KPU di berbagai tingkatan berhenti antarwaktu karena 3 hal, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan.

Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan 7 alasan anggota KPU bisa diberhentikan. Satu saja dari 7 hal ini terpenuhi, anggota KPU yang bersangkutan bisa dipecat.

Pertama, apabila yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU. Adapun syarat-syarat menjadi anggota KPU ada 13 hal yang diatur dalam pasal 11.

Kedua, melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik. Ketiga, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap.

Keempat, dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kelima, dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu.

Keenam, tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas. Ketujuh, melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemberhentian anggota KPU sebagaimana diatur di atas dilakukan oleh presiden untuk KPU pusat. Sedangkan untuk KPU provinsi, pemberhentian dilakukan oleh KPU pusat, sedangkan KPU kabupaten/kota diberhentikan oleh KPU provinsi (pasal 29 ayat 3).

Setelah anggota KPU yang bersangkutan diberhentikan, selanjutnya dia digantikan oleh calon anggota KPU urutan berikutnya dari hasil pemilihan yang dilakukan DPR. Sedangkan untuk anggota KPU provinsi digantikan oleh calon urutan berikutnya dari hasil pemilihan KPU pusat, dan untuk anggota KPU kabupaten/kota digantikan calon urutan berikutnya dari hasil pemilihan KPU provinsi (pasal 29 ayat 4). Dalam proses penggantian ini tidak diperlukan lagi panitia seleksi (penjelasan).

Dalam pasal 30 diatur, pemberhentian anggota KPU harus didahului dengan verifikasi oleh Dewan Kehormatan (DK) atas rekomendasi Bawaslu atau pengaduan masyarakat dengan identitas yang jelas. Dalam proses pemberhentian itu, anggota KPU yang bersangkutan diberi kesempaan membela diri di hadapan DK.

Jika atas rekomendasi DK rapat pleno KPU memutuskan pemberhentian anggota yang bersangkutan, maka dia diberhentikan sementara hingga diterbitkannya keputusan pemberhentian. 

Tata cara pengaduan masyarakat, pembelaan anggota KPU di hadapan DK, dan pengambilan keputusan dalam pembuatan rekomendasi DK diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU. Peraturan itu harus sudah dibuat paling lambat 6 bulan sejak anggota KPU dilantik. (wan)