Peneliti BRIN Ancam Warga Muhammadiyah, SETARA Institute Minta Kapolri Turun Tangan

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 25 April 2023 11:30 WIB
Jakarta, MI - Pernyataan provokatif terkait perbedaan Hari Raya Idul Fitri 2023 antara pemerintah dan Muhammadiyah telah menyulut kebencian seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangeran Hasanuddin. Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk merespons dan menyikapi secara cepat dan tepat peristiwa ini, termasuk merespons secara presisi sejumlah laporan yang akan dilayangkan oleh beberapa pihak. "Pembiaran tindakan seperti yang dilakukan oleh A.P Hasanuddin akan mendorong terjadinya normalisasi kebencian dan nornalisasi pluralisme represif," kata Ismail Hasani melalui keterangan tertulis, Selasa (25/4). Ismail menilai pernyataan Andi Pangerang yang disertai ancaman pembunuhan mengafirmasi dan mendukung pernyataan provokatif Professor BRIN Thomas Djamaludin, yang juga rutin menyebarkan pendapat terkait perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri, tetapi sangat tendensius dan sinikal pada ijtihad Muhammadiyah. Senada dengan Thomas, Nadirsyah Hosen, pemikir Indonesia yang bermukim di Australia juga menyampaikan kritik serupa terhadap warga Muhammadiyah yang memperjuangkan hak beribadah. "A.P Hasanuddin mengakui cuitannya di media sosial sekaligus menegaskan bahwa akun yang bersangkutan bukan di-hack dan telah meminta maaf melalui pernyataan terbuka. Permintaan maaf dan pengakuan Hasanuddin boleh diapresiasi tetapi tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah," tegasnya. Menurut Ismail, perbuatan Andi Pangerang telah memenuhi unsur pidana, baik dari sisi tindakan penghasutan, ujaran kebencian, maupun dampak perbuatannya yang menimbulkan kegaduhan. Dia menyebut apa yang disampaikan Andi Pangerang bukanlah bentuk kebebasan berpendapat. "Cara beberapa pemikir merespons perbedaan Hari Raya menunjukkan penerimaan atas perbedaan dan keberagaman begitu rapuh dan miskin perspektif. Alih-alih menjadi penyeru toleransi atas perbedaan, sejumlah pemikir justru melakukan bullying terhadap kelompok yang berbeda," ucapnya. "Inilah salah satu filosofi mengapa ujaran kebencian, diskriminasi, penghasutan kemudian dikualifikasi sebagai tindak pidana," lanjutnya. Ismail mengatakan, SETARA Institute sudah sejak lama memperkenalkan istilah condoning dan pelarangannya bagi pejabat publik. Condoning yang diartikan sebagai pernyataan pejabat publik yang berpotensi menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu dan berpotensi menimbulkan kekerasan, secara etis adalah pelanggaran serius, sekalipun condoning belum dikualifikasi sebagai tindak pidana. "Oleh karena itu, selain mendorong terus penghargaan atas kemajemukan, publik juga mesti memperjuangkan kebertahanan kemajemukan itu. Bukan hanya menerima pluralisme sebagai fakta sosio-antropologis bangsa, tetapi juga mempertahankan pluralisme itu tetap eksis. Jika tindakan seperti yang dilakukan A.P Hasanuddin dibiarkan, maka atas nama pluralisme pula orang bisa melakukan represi terhadap yang lain," ujarnya.