Krisis Keuangan, Sri Lanka Diambang Kebangkrutan

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 3 Januari 2022 13:45 WIB
Kolombo, Monitorindonesia.com -  Sri Lanka menghadapi krisis keuangan dan kemanusiaan yang semakin parah sehingga dikhawatirkan akan bangkrut pada tahun ini akibat rekor inflasi dan harga pangan yang meroket selain cadangan uang negara menipis. Kehancuran yang dihadapi oleh pemerintah Sri Lanka yang dipimpin oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa itu sebagian disebabkan oleh dampak langsung dari krisis Covid-19 dan lumpuhnya sektor pariwisata. Kondisi itu diperparah oleh pengeluaran pemerintah yang tinggi dan pemotongan pajak yang mengikis pendapatan negara dan pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, inflasi meningkat akibat pemerintah mencetak uang untuk melunasi pinjaman dalam negeri dan obligasi luar negeri. Bank Dunia memperkirakan 500.000 orang masuk ke kategori di bawah garis kemiskinan sejak awal pandemi atau setara dengan kemajuan lima tahun dalam memerangi kemiskinan seperti dikutip TheGuardian.com, Senin (3/1). Inflasi mencapai rekor tertinggi 11,1% pada bulan November dan kenaikan harga barang telah membuat mereka yang sebelumnya kaya kesulitan untuk memberi makan keluarga mereka, sementara barang-barang kebutuhan pokok sekarang tidak terjangkau bagi banyak orang. Setelah Rajapaksa menyatakan Sri Lanka berada dalam keadaan darurat ekonomi, militer diberi kekuasaan untuk memastikan barang-barang penting, termasuk beras dan gula. Kebutuhan pokok itu dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah, akan tetapi langkah itu tidak banyak membantu meringankan penderitaan rakyat. Anurudda Paranagama, seorang sopir di ibu kota, Kolombo, mengambil pekerjaan sampingan untuk membayar biaya makanan yang meningkat dan menutupi pinjaman mobilnya, tetapi upaya itu tidak cukup. “Sangat sulit bagi saya untuk membayar kembali pinjaman. Ketika saya harus membayar tagihan listrik dan air dan menghabiskan makanan, tidak ada uang tersisa,” katanya. Dia menambahkan bahwa keluarganya sekarang makan dua kali sehari, bukan tiga kali. Dia menggambarkan bagaimana pedagang desanya membuka bungkus susu bubuk satu kilogram dan membaginya menjadi bungkusan 100 gram karena pelanggannya tidak mampu membeli seluruh bungkusnya. “Kini kami membeli 100 gram kacang yang dulunya kami beli 1 kg untuk seminggu,” kata Paranagama. Hilangnya pekerjaan dan pendapatan dari asing dari pariwisata, yang biasanya menyumbang lebih dari 10% dari PDB, sangat berdampak. Lebih dari 200.000 orang kehilangan mata pencaharian mereka di sektor perjalanan dan pariwisata, menurut Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia. Salah satu masalah yang paling mendesak bagi Sri Lanka adalah beban utang luar negerinya yang besar.[Yohana RJ]
Berita Terkait