Apa Mungkin Vonis Mati Ferdy Sambo Dikaitkan dengan RKUHP Baru?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Februari 2023 23:54 WIB
Jakarta, MI - Mantan Hakim Asep Iwan Iriawan menilai vonis mati terhadap terdakwa pembunuhan Brigadir Yosua, Ferdy Sambo bisa saja berubah, jika dikaitkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi November 2022 Merujuk pada lampiran penyempurnaan RKUHP yang disampaikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (9/11/2022) lalu. Bahwa dalam rumusan Pasal 100 RKUHP versi 4 Juli 2022 adalah sebagai berikut: "Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; b. peran terdakwa dalam tindak pidana c. ada alasan yang meringankan. Dalam rumusan RKUHP pada 9 November 2022, pemerintah memutuskan menghapus poin c. Alasan pemerintah menghapus poin c adalah tindak lanjut dari masukan dialog publik serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). "Penjatuhan pidana mati tidak dikenal alasan meringankan, maka ayat (1) huruf c dihapus," demikian isi lampiran daftar perubahan RKUHP. Sedangkan kata “dapat”, kata pemerintah, dipertahankan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi berpendapat untuk pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah sejumlah hal, yaitu: a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Maka dari itu, Asep Iwan Iriawan mengingatkan masyarakat untuk tidak senang dulu dengan vonis yang dijatuhkan pada Ferdy Sambo. Menurutnya, pidana ini seakan memberi peringatan bahwa putusan Majelis Hakim pada Sambo kali ini masih belum benar-benar final. Hal ini ada kaitannya dengan adanya peraturan baru yang tertuang terkait hukuman mati pada RKUHP itu. "Kenapa tidak boleh bergembira? Karena RKUHP (RUU KUHP) yang baru mengatur, kalau seseorang dijatuhi hukuman mati, hukuman mati bisa berubah karena hukuman mati itu hukuman alternatif," kata Asep, Senin (13/2). Lebih lanjut, Asep menjelaskan bahwasanya dalam aturan RKUHP yang baru hukuman mati tersebut bisa dikurangi dengan upaya hukum lainnya yang telah diatur. "Nanti sesudah berlakunya RKUHP di 2025, KUHP yang baru itu disebutkan orang menjalani hukuman mati, kalau sudah menjalani hukuman mati selama 10 tahun bisa berubah hukumnya, bisa seumur hidup, bisa 20 tahun," jelas Asep. Belum lagi tegas Asep jika sudah dapat 20 tahun penjara bisa dimungkinkan narapidana mendapatkan remisi-remisi yang lainnya untuk mengurangi hukumnya. "Kalau 20 tahun bisa dapat remisi-remisi, ujungnya mungkin penjaranya cuma 15 tahun. Jadi sekali lagi kepada teman-teman yang sekarang senang jangan senang dulu," kata Asep. Selain itu, Asep juga meyakini bahwa Ferdy Sambo akan melakukan upaya hukum lain untuk mengurangi masa hukumnya, baik itu melakukan upaya Banding, Kasasi, ataupun PK (Peninjauan Kembali). "Katakan ini ada banding, anggaplah nanti dikuatkan oleh banding, atau katakan dikuatkan kasasi atau melakukan PK. Pasti dilakukan orang dia tidak mungkin tidak melakukan. Kemudian ada UU grasi, grasi itu mengatakan kalau orang dihukum mati mengajukan grasi eksekusi belum dilaksanakan," jelas Asep. Sehingga, Asep pun menilai ada dua undang-undang yang nantinya bisa digunakan oleh kubu Ferdy Sambo untuk berupaya mengurangi hukuman daripada vonis mati seperti demikian. "Jadi ada dua Undang-Undang, UU grasi dan KUHP yang baru." kata dia. Kendati demikian Asep cukup berbahagia bahwasanya hukuman vonis Sambo sesuai dengan harapan masyarakat bahwa (Ferdy Sambo) harus dihukum mati. "Sebenarnya kita berbahagia dan berbangga, alhamdulilah, haleluya, Puji Tuhan bahwa sesuai dengan harapan publik bahwa ini harus dihukum mati," pungkasnya. Sebelumnya majelis hakim yang dipimpin oleh ketua Wahyu Iman Santoso menilai Sambo terbukti melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mantan jenderal polisi bintang dua itu dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hingga akhirnya divonis dengan pidana mati. Setidaknya terdapat tujuh poin hal memberatkan yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Ferdy Sambo. Di antaranya perbuatan Sambo menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat luas; Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional; hingga Sambo dinilai berbelit-belit memberi keterangan di persidangan dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu, hakim berpendapat tidak ada satu pun keadaan meringankan bagi Sambo. "Tidak terdapat alasan pembenar dan pemaaf dalam persidangan," kata hakim. Pembunuhan terhadap Yosua terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo nomor 46 di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Richard Eliezer dan Sambo disebut menembak Yosua. Tindak pidana itu dilakukan Sambo bersama-sama dengan Putri Candrawathi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Ricky Rizal (Bripka RR) dan Kuat Ma'ruf. #Vonis Mati Ferdy Sambo