Pengendali Proyek Coretax DJP Harus Disanksi, Ini Kilas Balik PwC hingga Deloitte Consulting


Jakarta, MI - Alangkah lucunya, wajib pajak dikejar-kejar jika tidak atau belum dan atau kurang bayar pajak, tetapi pemerintah seakan membuat sulit dengan meluncurkan sistem teknologi informasi terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Coretax.
Sebagaimana diketahui, bahwa sistem integrasi seluruh layanan administrasi perpajakan di Indonesia itu terdapat kendala sejak diluncurkan 1 Januari 2025 lalu.
Setidaknya ada tiga perusahaan di balik pengadaan Coretax DJP itu. Yakni PT PricewaterhouseCoopers yakni bertindak sebagai agen pengadaan untuk Coretax DJP senilai Rp37,8 miliar.
Lalu, LG CNS Qualysoft Consortium, perusahaan Korea Selatan dan Austria yang ditunjuk oleh PwC untuk mengurusi sistem integratornya.
LG CNS Qualysoft menjadi penyedia aplikasi, baik itu untuk perangkat lunak maupun perangkat keras. Nilai proyek yang dipegang oleh LG CNS Qualysoft untuk Coretax ini paling besar, yaitu Rp1,22 T.
Kemudian, Deloitte Consulting juga merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa profesional dunia ini juga bergabung dengan proyek Coretax DJP. Memiliki kantor pusat di London, Inggris, Deloitte bersama dengan PT Towers Watson Indonesia akan menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk pengadaan jasa konsultasi manajemen. Total nilai proyek keduanya adalah Rp129 miliar.
Runyamnya Coretax ini membetok perhatian pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio. Begitu dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Sabtu (18/1/2025), Agus sapaannya menegaskan bahwa penanggung jawab sistem Coretax harus disanksi.
Pasalnya, kata dia, pemerintah juga tidak segan memberikan sanksi kepada wajib pajak yang bermasalah. "Tidak bayar pajak atau telat atau kurang bayar, kita dikejar-kejar. Sementara pemerintah melakukan kesalahan yang sangat menyulitkan wajib pajak tidak diberi sanksi,” ungkap Agus.
Menurut Agus, sistem Coretax yang diluncurkan DJP sebenarnya merupakan upaya cerdas memudahkan wajib pajak membayar pajak. Namun demikian, kebijakan baru ini tak berjalan dengan baik dan justru membuat mereka kesulitan.
“Sistem baru gagal dijalankan (sampai tulisan ini dibuat) tetapi sistem lama sudah dibunuh. Model peralihan kebijakan model begini (yang baru belum siap, yang lama sudah dibunuh) sudah puluhan bahkan ratusan kali dilakukan dan bermasalah tapi terus saja diulangi,” bebernya.
Siapa pengendalinya?
Peran Price Waterhouse Coopers (PwC) hingga PT Deloitte Consulting sebagai pengendali proyek sebesar Rp1, 3 triliun tersebut terus menuai sorotan. Sebab dibaliknya dugaan masalah sempat menyelimutinya.
“Coretax tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan perolehan pajak diduga juga berperan dalam mendukung agenda sosial, termasuk penerimaan terhadap kelompok LGBT,” kata Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan pada Selasa 14 Januari 2025 lalu.
Dugaan agenda sosial itu, kata Rinto terungkap setelah diselenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di kantor IWPI, pada tahun 2021 silam dengan menghadirkan narasumber Prof Niki Lukviarman dari Universitas Andalas dan Dr Aji Dedi Mulawarman dari Universitas Brawijaya.
Pada forum diskusi yang diunggah di channel youtube Peneleh Jang Oetama dengan judul: Saat Akuntan dan Auditor Menerima LGBT Demi Positioning Pasar dan SDGs: Quo Vadis atau Makin Sadis? Disimpulkan alasan pemerintah berupaya menaikkan target perolehan pajak, sejak Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Pandangan narasumber itu tentang tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau (SDGs), diawali dari pernyataan Menteri/Kepala Bappenas pada akhir tahun 2021, bahwa kebutuhan untuk mencapai SDGs hingga tahun 2030 mencapai Rp67 ribu triliun.
"Angka itu merupakan jumlah jumbo. Artinya, dalam 1 tahun, dibutuhkan anggaran sebesar Rp6.700 triliun untuk mendukung program-program SDGs. Jumlah tersebut juga merupakan potensi pasar yang besar bagi kantor akuntan publik," bebernya.
Dr Aji menyoroti tentang tujuan SDGs, yaitu: no one left behind. Dari sinilah kelompok LGBT memiliki gerbang masuk. Terutama melalui tujuan ke 10, yaitu: reduce inequalities. "Melalui tujuan ke 10, bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan,” I will always fight for equality of LGBT members of our human family,” kata Rinto menukil pernyataan Aji.
Menurut Dr. ADM bahwa perusahaan multinasional membentuk koalisi global yang disebut open for business forum. Beberapa diantara perusahaan tersebut adalah PwC, Microsoft, dan Unilever. “Koalisi tersebut dibentuk untuk mengintrodusir LGBT agar semakin inklusif secara global. Dan itu bagian dari generate economic growth untuk bisnis,” katanya.
Adapun PwC adalah salah satu dari 4 besar dunia kantor akuntan publik. Sedangkan 3 yang lain adalah Deloitte, EY, dan KPMG. Tapi kok bisa PwC sebagai agen pengadaan untuk Coretax? Pun, Deloitte juga sebagai pemenang tender jasa konsultasi manajemen.
Pada video itu, Aji juga menyampaikan bahwa penerimaan LGBT secara global juga didorong melalui regulasi. Aji juga menjelaskan bahwa salah satu upaya mendorong inklusivitas LGBT melalui regulasi adalah Yogyakarta Principles plus 10.
Yogyakarta Principles plus 10 sendiri merupakan "Prinsip Tambahan dan Kewajiban Negara tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Terkait Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seks untuk Melengkapi Prinsip-prinsip Yogyakarta".
Sedangkan Prof Niki menyampaikan bahwa 4 besar dunia kantor akuntan publik tersebut memiliki semangat diversity. Sesungguhnya, “diversity” tersebut digunakan untuk mengejar pertumbuhan bisnis.
Prof Niki juga menyebutkan bahwa LGBT menumpang pada isu minoritas. Mereka menempatkan diri sebagai minoritas dan menekan untuk diterima secara global. Sementara, di video itu Prayogi R Saputra, analis hubungan internasional dari Sekolah Negarawan menyebutkan bahwa kampanye LGBT adalah bagian dari operasi global yang salah satu tujuan utamanya adalah pengendalian populasi.
Lalu apa kaitannya dengan proyek Coretax tersebut, kemungkinan bahwa dengan membangun Coretax serta menggandeng PwC dan Deloitte pada proyek Coretax, Kemenkeu sesungguhnya telah menggunakan instrumen pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk mendukung SDGs.
Dimana, salah satu tujuan SDGs adalah reduce inequalities, diduga LGBT ada penumpang gelapnya.
Sisi lain soal PwC adalah sempat dilarang beroperasi 6 bulan dan denda Rp 958 miliar. Selengkapnya di sini
Deloitte Consulting
Dikutip dari berbagai sumber, perusahaan ini memilik sederet masalah yakni Penempatan staf untuk proyek internasional; Ketidakpercayaan antar kantor; keengganan kantor untuk mengirimkan staf terbaiknya ke proyek lain; ketidakpastian makro ekonomi yang menekan konsumen hingga penurunan aktivitas merger dan akuisisi.
Deloitte adalah perusahaan jasa profesional multinasional yang termasuk dalam Big Four Company. Big Four Company adalah sebutan untuk empat kantor akuntan publik terbesar di dunia, yaitu Deloitte, PwC, EY, dan KPMG.
Mari kita ulik! bahwa:
1) Ada perbedaan standar antar kantor. Ada perbedaan standar yang sangat besar antara kantor-kantor Deloitte Consulting. Jika melihat laporan dari kantor Santiago, kantor-kantor di India, Australia, dan New York, AS, Anda akan melihat perbedaan merek, standar kualitas, referensi, dan lain-lain
Ini adalah masalah besar. Ketika mengejar klien global seperti Toyota, Deloitte Consulting akan mengklaim bahwa mereka adalah perusahaan global, tetapi pada kenyataannya kantor yang menjual pekerjaan tersebut memahami perbedaan antarnegara dan akan mencoba mengerjakan semua pekerjaan itu sendiri.
2) Kemitraan yang berbeda menimbulkan ketidakpercayaan. Kemitraan yang berbeda menimbulkan ketidakpercayaan. Kebutuhan untuk menimbun pekerjaan ini berarti bahwa Deloitte Consulting melakukan pekerjaan terbaiknya ketika dapat memanfaatkan tim konsultasinya di pasar maju seperti Inggris, Belanda, dan AS.
Ketika harus "menyerahkan" pemikiran dan pekerjaan ke kantor-kantor di pasar berkembang, kemitraan yang lebih besar tidak mau melakukannya. Akibatnya, kualitas pun menurun.
3) Keengganan untuk mengirimkan orang-orang global terbaiknya ke klien. Deloitte Consulting tidak dapat mengirimkan orang-orang global terbaiknya ke klien. Perusahaan dapat mengirimkan orang-orang regional terbaiknya, tetapi bukan orang-orang terbaik secara global. Itu karena tidak ada firma global.
Penempatan staf untuk proyek internasional bisa jadi mimpi buruk. Kemitraan yang berbeda menyiratkan tarif yang berbeda, ketidakpercayaan antar kantor, dan keengganan satu kantor Deloitte Consulting untuk mengirimkan staf terbaiknya ke proyek yang dijalankan oleh kantor lain yang terpisah dalam kemitraan yang berbeda.
Oleh karena itu, suatu keterlibatan di Rusia, misalnya, biasanya dikelola oleh kantor-kantor Rusia, kecuali jika dijual oleh kemitraan Deloitte Consulting dari negara lain, dalam hal ini konsultan dari kantor luar negeri kemungkinan akan memimpin dan konsultan Rusia akan memiliki peran yang sangat kecil. Hal ini didorong oleh kemitraan yang terpisah dan struktur P&L yang terpisah.
4) Pelatihan dan pengembangan konsultan yang lemah. Deloitte Consulting telah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mencoba merekrut orang-orang hebat dari McKinsey . Masalah dengan pendekatan ini adalah bahwa Deloitte Consulting belum mengembangkan pendekatan untuk menghasilkan konsultan manajemen yang hebat.
Yang mereka lakukan hanyalah mengandalkan program pelatihan McKinsey dan BCG untuk menghasilkan konsultan hebat dan mereka memburu mereka.
Hingga Deloitte Consulting memperbaiki proses pengembangannya, mereka akan selalu mengejar ketertinggalan. Perusahaan-perusahaan hebat menghasilkan bintang-bintang yang mendalami budaya mereka sendiri.
5) Tidak mengutamakan klien. Apakah Deloitte Consulting pernah menolak pekerjaan karena tidak sesuai dengan kepentingan terbaik klien atau karena tidak sesuai dengan konsultasi manajemen yang tepat, dsb.? Metrik untuk manajer senior, direktur (non-mitra ekuitas) dan prinsipal (mitra ekuitas) sangat condong ke penjualan dan pengiriman. Kami melihat lembar penilaian mitra dan target jenis pendapatan (termasuk margin) mencakup lebih dari 85% metrik.
Konsultasi manajemen adalah tentang mengutamakan klien. Itu berarti mengutamakan klien dalam metrik kinerja.
6) Deloitte Consulting berusaha menjadi segalanya bagi semua orang. Julukan Deloitte Consulting sebagai firma konsultan terbesar memang memiliki satu kelemahan besar. Deloitte Consulting terdiri dari strategi, operasi, dll. serta bisnis konsultasi teknologi yang sangat besar. Dari segi jumlah, ada banyak konsultan teknologi. Mereka tidak melakukan pekerjaan konsultasi manajemen tingkat tinggi. Ada banyak penulis kode, dll.
Deloitte Consulting berusaha menjadi segalanya bagi semua orang. Oleh karena itu, mereknya di seluruh dunia benar-benar tidak mewakili banyak hal. Pikirkanlah sejenak? Di seluruh dunia, apa pendapat orang tentang merek Deloitte Consulting? Di beberapa tempat, mereknya berarti konsultasi teknologi, di tempat lain, operasi, dsb. Tidak ada merek yang konsisten dan sangat sulit untuk membangunnya jika aktivitas di berbagai wilayah tidak dapat dikontrol.
7) Deloitte Consulting memiliki sistem manajemen pengetahuan yang biasa-biasa saja. Manajemen pengetahuan adalah sumber utama konsultasi manajemen. Deloitte Consulting memiliki sistem manajemen pengetahuan yang biasa-biasa saja. Melupakan sistem teknis itu sendiri, kantor-kantor sangat enggan untuk menempatkan materi terbaik mereka pada sistem berbagi pengetahuan yang dapat diakses oleh kantor dalam kemitraan yang berbeda, yang akan menggunakan materi tersebut untuk menjual karya, yang kemungkinan akan mengecualikan kantor yang menghasilkan materi yang menjual karya tersebut.
Oleh karena itu, kantor menimbun pekerjaan dan sangat sulit untuk mendapatkan materi terbaik.
8) Kemampuan konsultasi di pasar berkembang lemah. Aksinya ada di pasar berkembang. Namun, Deloitte Consulting tidak aktif di sana secara berarti. Jika Anda melihat kantor-kantor Deloitte Consulting di Santiago, Rio, Sao Paulo, Bogota, Caracas, Mexico City, Johannesburg, Moskow, Kiev, New Delhi, Mumbai, Beijing, Bangkok, dll., kantor-kantor tersebut bukanlah kantor yang telah banyak berinvestasi. Kemampuan konsultasinya cukup lemah.
Hal ini karena kemitraan ini mungkin tidak mampu membiayai investasi dan tidak dapat merekrut dari sekolah-sekolah terbaik. Misalnya, mitra Bogota akan merekrut dari sekolah-sekolah lokal. Deloitte Consulting mendapat skor yang cukup buruk dalam kemampuannya memanfaatkan peluang di pasar-pasar yang sedang berkembang.
9) Kepemimpinan pemikiran yang lemah. Infrastruktur penting seperti sistem manajemen pengetahuan, pusat penelitian, dan kelompok industri jarang digunakan bersama. Ya, ada upaya yang dilakukan, tetapi upaya tersebut hanya bersifat dangkal.
Anda tahu sebuah firma menghasilkan penelitian, wawasan, dan pemikiran berkualitas ketika hasil karyanya banyak (dan biasanya secara ilegal) diperjualbelikan di internet. Lihat berapa banyak dokumen Deloitte Consulting yang dapat Anda temukan di internet. Jika laporan firma konsultan tidak dibagikan dan didistribusikan secara luas, hal itu memberi tahu Anda banyak hal tentang kualitas laporan yang dipersepsikan. Hal-hal yang layak didistribusikan akan didistribusikan.
10) Deloitte Consulting belum menjadi pabrik kepemimpinan. Secara acak, pikirkan 5 perusahaan Fortune 500. Kunjungi situs web mereka dan lihat profil para pejabat eksekutifnya. Jika sebuah perusahaan konsultan manajemen melatih para CEO masa depan, maka pastilah para alumni mereka akan mengisi jajaran eksekutif industri. Deloitte Consulting tidak mendapat nilai yang sangat tinggi di sini.
Di sisi lain, Accenture mendapat skor yang sangat tinggi dalam hal posisi kepemimpinan teknis. Kepala konsultan TI Bain adalah mantan Mitra Senior Accenture.
Bagaimana di Indonesia?
Pada 2019 lalu, Deloitte Indonesia sempat mengatakan telah berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pasca OJK memberikan sanksi berupa pembatalan pendaftaran kepada salah satu mitra Deloitte, yakni Kantor Akuntan Publik (KAP) Satrio Bing Eny & Rekan.
“Kami mencoba menemukan jalan keluar yang terbaik berdasarkan fakta-fakta yang sudah kami sampaikan ke OJK,” kata Chief & Market Director Deloitte Indonesia Steve Aditya, Kamis (28/3/2019).
Menurut Steve, pihaknya telah mengaudit laporan keuangan tahunan SNP Finance sesuai dengan tujuan, yakni general audit dan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. “Kita mengeluarkan suatu laporan dan menelaah suatu dokumen itu berdasarkan apa yang mereka (SNP Finance) berikan ke kita,” kata dia.
Hal-hal tersebut juga sudah disampaikan dalam diskusinya dengan OJK. Meskipun turut terseret ke dalam kasus gagal bayar SNP Finance, menurut Steve, masalah ini tidak memberikan dampak signifikan pada bisnis Deloitte Indonesia.
Adapun pada awal kasus SNP Finance ini mencuat, Steve bilang memang banyak klien yang meminta penjelasan dan mempertanyakan apakah kasus ini bakal memengaruhi kewajiban Deloitte terhadap mereka.
Akan tetapi, setelah mendapat penjelasan, klien-klien tersebut bisa menerima dan tetap percaya untuk menggunakan jasa Deloitte Indonesia. Dia mengatakan pihaknya tengah mengejar tenggat waktu untuk menyelesaikan LKTA 2018 para kliennya. Sesuai ketentuan OJK, LKTA 2018 tersebut harus selesai pada akhir Maret 2019.
Setelah itu, Deloitte Indonesia tidak boleh lagi menerima pekerjaan untuk mengaudit dari klien baru yang berasal dari perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank.
Deloitte Indonesia dalam praktiknya diwakili oleh Akuntan Publik Terdaftar Satrio Bing Eny & Rekan, Konsultan Pajak Deloitte Touche Solutions, Penasihat Keuangan & Bisnis PT Deloitte Konsultan Indonesia, Penasihat Valuasi KJPP Lauw & Rekan, Pengacara Hermawan Juniarto & Partners, dan Penasihat Strategi dan Operasi PT Deloitte Consulting. Klien Deloitte Indonesia yang berupa lembaga keuangan mencakup 2% dari total kliennya.
Sebelumnya, OJK menjatuhkan sanksi administratif kepada KAP Satrio Bing Eny & Rekan serta dua akuntan publiknya terkait hasil pemeriksaan OJK terhadap PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance).
Sanksi ini berlaku efektif setelah KAP tersebut menyelesaikan audit Laporan Keuangan Tahunan Audit (LKTA) tahun 2018 atas klien yang memiliki kontrak. Setelah itu, KAP ini dilarang menambah klien baru.
Sanksi ini hanya berlaku di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB).
Pengenaan sanksi ini mengingat LKTA yang telah diaudit tersebut digunakan SNP Finance untuk mendapatkan kredit dari perbankan dan menerbitkan MTN yang berpotensi mengalami gagal bayar atau menjadi kredit bermasalah. Laporan keuangan tahunan SNP Finance yang telah diaudit oleh dua akuntan publik dari KAP tersebut mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Akan tetapi, berdasarkan hasil pemeriksaan OJK, SNP Finance terindikasi menyajikan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya sehingga menyebabkan kerugian banyak pihak.
Landasan Kuat KPK Usut Dugaan Korupsi Coretax Rp 1,3 Triliun. Selengkapnya di sini
Catatan: Meski sistem Coretax diharapkan membawa perubahan signifikan dalam dunia perpajakan Indonesia, keterlibatan perusahaan asing yang memiliki catatan kontroversial memicu kekhawatiran. Apakah sistem ini dapat berjalan dengan integritas tinggi? Ataukah ada potensi masalah serupa yang akan terjadi di masa depan?
Dengan dana yang besar dan harapan tinggi, publik tentu menginginkan hasil yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Coretax bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan Indonesia.
Apakah investasi triliunan rupiah ini akan menjadi solusi terbaik atau justru menambah daftar panjang tantangan di sektor perpajakan? Hanya waktu yang akan menjawab.
(an)
Topik:
Price Waterhouse Coopers PwC Coretax DJP Deloitte ConsultingBerita Sebelumnya
Zarof Ricar Juga Utak-atik Perkara Sugar Group Company?
Berita Terkait

DPR Akui Coretax Bermasalah, MAKI Desak Dirjen Pajak Suryo Mundur: Terlalu Lama Menjabat!
15 Februari 2025 19:13 WIB

Imbas Eror Coretax, Ditjen Pajak Kembali Izinkan Semua PKP Gunakan e-Faktur
13 Februari 2025 14:37 WIB