Menata Pemilu Serentak 2024, Pemuda Katolik Sepakat Perlunya Pendidikan Politik

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Februari 2022 17:44 WIB
Monitorindonesia.com – Menyongsong tahun politik 2024, Pengurus Pusat Pemuda Katolik Bidang Politik dan Kepemiluan menyelenggarakan seminar bertema "Pileg, Pilpres, dan Pilkada 2024, Beragam Kepentingan Satu Tujuan?” Seminar disi pembicara dari Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri RI Rahmat Santoso, Anggota Bawaslu Moch Afifuddin, Fritz Siregar, dan Loly Suhenty. Kemudian Wasekjen KIPP Engelbert Johannes Rohi dan Ketua Bidang Politik & Kepemiluan PP Pemuda Katolik Beny Wijayanto. Rahmat Santoso mengungkapkan soal kesiapan pemerintah menghadapi Pemilu 2024. Menurutnya, pemilu adalah wahana perwujudan kedaulatan rakyat. Guna menghasilkan pemerintahan dan lembaga perwakilan politik yang memiliki legitimasi kuat, Santoso menegaskan pemilu harus didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Diuraikan, pada Pemilu 2019 terdapat 262 sengketa pemilu. Di antaranya ada sengketa pilpres, 10 sengketa pemilihan DPD, dan 251 sengketa pemilihan DPR/DPRD. Di tahun 2020 terdapat 7 sengketa pilkada gubernur, 119 sengketa pilkada bupati, dan 14 sengketa pilkada wali kota. "Berkaca dari situasi ini, rasanya ada sesuatu yang kurang yaitu pendidikan politik. Menyongsong tahun politik 2024, pemerintah merasa perlu adanya kegiatan pendidikan politik guna peningkatan literasi politik masyarakat secara massif dari pusat hingga daerah," sebut Susanto. Engelbert Rohi dan Moch Afifuddin setuju tentang adanya pendidikan politik. Membaca data Pemilu 2019, keduanya sepakat bahwa pemilu tidak mendorong terciptanya pola relasi kuasa berimbang tersebut. "Indikasinya 70 persen percakapan di ruang publik didominasi oleh pilpres. Porsi pileg hanya 30 persen saja. Pemilih yang mengenal nama-nama caleg di dapilnya hanya 25 persen. Artinya, motif di kepala setiap pemilih yang datang ke TPS lebih didominasi untuk memilih presiden ketimbang memilih wakilnya di legislatif (apalagi di DPD), karena 75 persen tidak mengenali para caleg yang terpampang di surat suara Pileg," sebut Rohi. Sejalan dengan ini, Afifuddin menambahkan adanya kultur yang tidak sehat lainnya, parpol (caleg) tak hanya struggling atas dirinya sendiri, tapi juga harus memperjuangkan capres-cawapres dalam satu ruang dan moment yang bersamaan. Pada zonasi di mana capres yang didukung tidak populer, maka caleg 'dipaksa' untuk inkonsisten dengan kebijakan parpol. "Fokus amatan publik lebih kepada pilpres daripada pileg membuat potensi kecurangan lebih pada pileg. Maka salah satu target pemerintah dalam Pemilu dan Pilkada 2024 adalah pendidikan politik dengan memanfaatkan ragam platform media sosial yang tersedia," sebut Afifuddin. Menanggapi hal ini, Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma mengingatkan para kader Pemuda Katolik untuk menjadikan Pemilu 2024 sebagai momentum menumbuhkan pemahaman politik dan partisipasi politik. Gusma menegaskan, politik dan demokrasi akan membimbing para kader Pemuda katolik untuk berpikir lebih maju. "Maka para kader harus mampu menganalisis dinamika politik yang saat ini berkembang di dunia maya atau medsos, juga dalam kehadiran di tengah-tengah masyarakat. Dalam rangka ini Pemuda Katolik mendukung perlunya pendidikan politik agar para kader berpikir kritis dalam memilih pemimpin atau ikut dalam kontestasi Pemilu nanti," ujarnya. (*)