Nistra Yohan Perantara Saweran Uang Korupsi BTS ke Komisi I DPR Tak Kunjung Ditangkap, FITRA: Nuansa Politis Makin Kuat!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 28 Maret 2024 22:39 WIB
Nistra Yohan diduga perantara saweran uang korupsi BTS Kominfo Rp 70 M ke Komisi I DPR RI (Foto: Istimewa)
Nistra Yohan diduga perantara saweran uang korupsi BTS Kominfo Rp 70 M ke Komisi I DPR RI (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai Nistra Yohan, menjadi orang yang paling dinanti klarifikasinya terkait dugaan menerima aliran dana korupsi proyek BTS 4G BAKTI Kominfo. Uang yang diduga diterima Nistra Yohan mencapai Rp70 miliar.

Manager Riset Sekretariat Nasional FITRA, Badiul Hadi menyatakan bahwa Kejaksaan Agung atau Kejagung sebagai representasi negara tidak boleh kalah dengan koruptor. 

Jika saksi atau terduga koruptor mangkir atau menghilang Kejagung bisa kerja sama dengan lembaga negara lainnya, misalnya kepolisian. 

"Mestinya penegak hukum dalam hal ini Kejagung bisa belajar dari penanganan kasus Harun Masiku, artinya kasus-kasus korupsi yang sarat nuansa politis makin kuat termasuk korupsi BTS ini sangat potensial saksi mangkir bahkan menghilang, sehingga menghambat proses pengungkapan kasus," ujar Badiul Hadi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (28/3/2024) malam.

Hal itu, tegas dia, semestinya sudah bisa diantisipasi oleh Kejaksaan Agung itu sendiri. Lalu, perlu komitmen dan keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sekalipun dia staf anggota Komisi I DPR RI.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/59fca510-9ede-45fc-aea2-e9cf7e86fc62.jpg
Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi (Foto: Dok MI)

"Saya kira, kita berharap Kejagung segera menuntaskan kasus ini, sehingga koruptornya bisa segera ditangkap dan uang negara dikembalikan," harapnya menegaskan.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu, dua saksi mahkota, yakni Irwan Hermawan dan Windi Purnama menyebut uang Rp70 miliar dimaksudkan untuk Komisi I DPR lewat Nistra Yohan.

Nistra Yohan dinilai tidak memiliki inisiatif untuk menerima uang sebanyak itu dari proyek BTS yang dilakukan Kominfo. Nistra hanya seorang staf anggota Komisi I DPR Sugiono dari Fraksi Partai Gerindra. Sugiono kini Wakil Ketua Komisi I DPR RI menggantikan Bambang Kristiono yang meninggal dunia pada September 2023. Sugiono juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan Wakil Ketua Harian DPP Partai Gerindra.

Adapun penyerahan uang itu diduga berkaitan dengan pembahasan anggaran Kominfo tahun 2021 di Komisi I DPR.  Anggaran yang dimaksud berkaitan dengan proyek BTS 4G BAKTI Kominfo.

Seperti diketahui, anggaran yang disepakati Komisi I DPR untuk Kominfo terus naik. Mulai pada 2020 mencapai Rp8,09 triliun, Rp24,13 triliun pada 2021 dan Rp26,27 triliun pada 2022.

Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid enggan mengomentari pertanyaan terkait dugaan lobi dalam pembahasan anggaran tersebut pada Juni 2023 lalu.

Sementara, Anggota Komisi I DPR Dave Laksono menyebut peningkatan anggaran berturut-turut untuk Kominfo sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah. 

Ia enggan merespons terkait isu uang yang mengalir ke Komisi I DPR. "Wah itu saya tidak tahu. Saya tidak paham. Kalau hal-hal seperti itu, sebaiknya tunggu proses hukum yang bergulir,"  kata Dave.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung yang menangani kasus korupsi sejak awal berjanji akan menjemput paksa semua pihak yang dibutuhkan keterangannya. Termasuk Nistra Yohan dan Menpora Dito Ariotedjo.

Hingga saat ini Kejagung mengklaim masih memburu bukti-bukti dugaan keterlibatan Nistra Yohan dalam kasus ini, begitupun dengan Menpora Dito Ariotedjo.

Namun, Kejagung juga belum mencegah Nistra dan Menpora Dito ke luar negeri. Selain itu, jaksa penuntut umum menyebut Nistra telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sementara Kejaksaan Agung menyatakan masih mengkajinya. 

Ketidakkompakan pernyataan dua pihak yang berasal dari satu institusi tersebut dianggap sebagai upaya membatasi kasus ini pada pihak tertentu saja.

Sekadar tahu, bahwa sudah tiga kali panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung, dia selalu mangkir. Sementara dari informasi yang didapatkan Monitorindonesia.com, Nistra Yohan memang sudah tidak lagi menyambangi Gedung DPR.

Belum dimasukannya Nistra Yohan sebagai DPO dan belum dicegah ke luar negeri, berbuntut pada gugatan praperadilan terhadap Kejagung oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).

LP3HI menggugat Jaksa Agung RI ke PN Jakarta Selatan lantaran dinilai telah menghentikan penyidikan kasus atas nama Nistra Yohan. Perkara ini teregister nomor 15/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL. 

Namun, dalam putusannya, hakim tunggal Abdullah Mahrus menyatakan gugatan LP3HI tidak dapat diterima. "Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Abdullah dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024). 

Hakim juga membebankan biaya perkara kepada LP3HI sejumlah nihil. Dalam pertimbangannya, Abdullah menyampaikan bahwa pihak termohon atau Kejagung belum mengeluarkan surat perintah penyidikan terhadap Nistra Yohan. 

Kejagung juga disebut tidak pernah mengeluarkan surat penghentian penyidikan terhadap Nistra Yohan. "Hal ini menjadikan produk yang akan dilakukan pengujian melalui proses praperadilan belum ada, yaitu tidak adanya surat perintah penghentian penyidikan," ujar Abdullah. 

Selain itu, dia mengatakan, dasar acuan yang digunakan pemohon untuk menentukan keterlibatan Nistra Yohan dalam dugaan tindak pidana korupsi BTS 4G Bakti Kominfo 2020-2022 belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Hakim juga menyebut, berdasarkan bukti yang ada, Kejagung sampai dengan 26 Januari 2024 masih memproses upaya penegakan hukum dalam kasus BTS 4G. 

Abdullah pun berpendapat bahwa terhadap permohonan praperadilan yang diajukan oleh LP3HI masih prematur. Sebab,  gugatan ini haruslah disyaratkan adanya surat penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Kejagung. 

"Selanjutnya, penetapan DPO (Daftar Pencarian Orang) juga haruslah didasarkan pada pembuktian yang valid dan bukan pada pembuktian yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap," ujar Abdullah. 

"Sehingga Hakim berpendapat bahwa materi pokok permohonan praperadilan pemohon tersebut adalah prematur, belum saatnya diajukan," katanya lagi.