Seperti Apakah Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Itu?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Agustus 2022 22:44 WIB
Jakarta, MI - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menyebut keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan komitmen serius Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana dinyatakan dalam Nawa Cita, RPJMN, dan dokumen resmi lainnya. Dia mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah janji dan komitmen Jokowi. "Sejak menjabat Presiden RI tahun 2014, Presiden Jokowi telah berupaya keras menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden memerintahkan untuk pelanjutan proses melalui pengadilan (yudisial) dengan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum," kata Jaleswari dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/8). Dia mengatakan Presiden Jokowi juga berkomitmen untuk menyelesaikan melalui luar pengadilan dengan mengutamakan hak korban dan keluarga. "Paralel dengan proses yudisial yang berlangsung, Presiden juga memberikan arahan perlunya penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial) yang lebih berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi hak korban dan keluarga korban," ucapnya. Dia mengatakan saat peringatan Hari HAM Sedunia pada 9 Desember 2014 di Yogyakarta, Jokowi menemui korban pelanggaran HAM untuk mendengarkan aspirasinya. Kemudian pada 2015 juga sempat digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran. Lalu tahun 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional di 2016 tetapi mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan. Pada Mei 2018, Jokowi menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana guna mendengar aspirasi dan harapan para korban. Pada tahun yang sama juga dibentuk Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Lalu pada 2019 dimulailah pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Tahun 2021, Jaksa Agung mulai melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM di Paniai tahun 2014, dan dalam waktu dekat ini Pengadilan HAM atas kasus tersebut akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar. "Sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM," ucapnya. Dari 13 peristiwa tersebut, 9 peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu atau terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang dimaksudnya yaitu: 1. Peristiwa 1965/1966; 2. Peristiwa Penembakan Misterius 1983-1984; 3. Peristiwa Talangsari 1989; 4. Peristiwa Mei 1998; 5. Peristiwa Penghilangan Paksa 1997/1998; 6. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; 7. Peristiwa Dukun Santet 1999; 8. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; 9. Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999. Sedangkan empat peristiwa yang lain terjadi setelah tahun 2000 yaitu: 1. Peristiwa Wasior 2001; 2. Peristiwa Wamena 2003; 3. Peristiwa Jambo Keupok 2003; dan 4. Peristiwa Paniai 2014. Jaleswari menyebut dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Menurutnya, pengalaman di berbagai negara mengajarkan setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh yaitu jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial. "Jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial merupakan proses yang berbeda tetapi perlu ditempuh kedua-duanya untuk memastikan tercapainya aspek-aspek keadilan transisional (transitional justice) yang diakui komunitas internasional sebagai metode menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Metode penyelesaian tersebut meliputi aspek kebenaran (truth), keadilan (justice), pemulihan (reparation) dan jaminan ketidakberulangan (guarantee of non recurrence)," ujarnya. "Jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh. Jalur yudisial diatur oleh UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara jalur non yudisial dapat turut diintervensi melalui produk eksekutif. Namun demikian, kedua jalur tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya dapat dijalankan secara paralel," tambahnya. Dia mengatakan mekanisme non-yudisial merupakan upaya pemerintah memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Menurut Jaleswari, bila mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered). Mekanisme ini, kata dia, lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan. "Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi dan lain sebagainya," katanya. "Keppres tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Keppres) merupakan langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban," lanjutnya. Jaleswari menyebut komitmen terhadap pendekatan non-yudisial yang paralel dengan proses yudisial yang terus diupayakan dengan menempuh dua jalur yakni legislative dan executive measures. Menurutnya, bila melalui legislative measure, pemerintah mengajukan kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru, kemudian dibahas dengan DPR. "Karena urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban maka pemerintah menempuh jalur executive measure dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh Presiden sebagai sebuah executive measure," ucapnya. Dia mengatakan ahli transitional justice Priscilla Hayner dalam bukunya Unspeakable Truths tahun 2009 mengatakan sebagian dari sekitar 40 Komisi Kebenaran (Truth Commission) yang pernah ada di dunia dibentuk dengan melalui Executive Measure, di antaranya melalui Keputusan Presiden. Menurutnya, keppres yang ditandatangani Jokowi itu telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM. Tim yang terbentuk juga memiliki tiga mandat yang sejalan dengan fungsi sebuah komisi kebenaran yang antara lain meliputi pengungkapan Kebenaran, rekomendasi reparasi, dan mengupayakan ketidakberulangan. "Keppres beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya Keppres," pungkasnya.
Berita Terkait