Mantan Hakim Soroti Saksi Ahli Soal Tidak Ada Visum Bukan Berarti Putri Candrawathi Tidak Dilecehkan: Sekolah Lagi yang Benar Ah!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Desember 2022 03:30 WIB
Jakarta, MI -  Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan menyoroti saksi ahli pidana yang dihadirkan kuasa hukum Ferdy Sambo mengatakan tidak adanya visum bukan berarti tak ada kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi. Bahkan, selama persidangan, Ferdy Sambo menuding almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J melakukan pemerkosaan terhadap istrinya itu. Asep menegaskan bahwa keterangan saksi ahli itu tidak bisa dijadikan sebagai bukti tentang pemerkosaan itu, sebab Bareskrim Polri sebelumnya telah menyetop penyidikan kasus itu atau SP3 karena tidak ada bukti. "Makanya ga salah kalau Bareskrim Polri meng-SP3 kan pelecehan seksul terhadap Putri Candrawathi karena tidak ada bukti. Saya akuilah aktivis-aktivis perempuan soal kasus kekerasan seksual harus gini (ada bukti) dan sekali lagi memang kasus ga ada perkosaan didepan umum. Hanya orang gilalah yang melakukan perkosaan ditempat umum apalagi di WC umum, tetapi sekali lagi alat bukti tadi jangan menggunakan keterangan ahli, kalau ahli menjelaskan perkosaan saya bingung ahli apa, ahli perkosaan yang menjelaskan? Sekolah lagi yang benar ah," kata Asep kepada wartawan, Jum'at (23/12). Sebagai mantan Hakim, Asep menilai kasus pembunuhan Brigadir J ini tidak masuk akal Putri Candrawathi yang mengaku diperkosa lalu dibanting pelaku. Sebab orang yang berpendidikan tinggi atau mempunyai derajat yang tinggi (Putri Candrawathi), tidak mungkin Brigadir Yosua mempunyai keberanian, apalagi dia sebagai Polisi dan Ferdy Sambo saat itu sebagai Polisinya Polisi (Kadiv Propam Polri). "100 persen atau satu juta persenlah, orang tidak memiliki keberaian untuk memerkosa, misalnya saya Direktur saya perkosa Cleaning Service  pasti tidak akan berani melapor. Pertanyaannya sederhana,  itu diperkosa, dibanting itu, coba tanya istri siapa tuh, itu yang menjadi pertanyaan semua pihak," ungkapnya. "Seorang bayangin saja, Polisinya Polisi, masa dia berani, disekelilingnya reserse-reserse lama, dia pengalaman Reserse (Ferdy Sambo). Tau nggak yang katanya diperkosa pendidikannya apa? Dokter loh, Dokter Gigi loh. Seorang Dokter diperkosa dan tau urusan kesehatan, harus ada bukti visumlah, dia pasti tahu soal itu. Kalau orang kecil aja pasti ke Puskesmas lah, standarnya. Apalagi derajatnya seorang istri Jenderal, Pendidikan Tinggi dan berpengalaman," bebernya. Kemudian katanya Putri Candrawathi trauma, lanjut Asep, coba perhatikan ada kegiatan-kegiatan jangka waktu sama suaminya Ferdy Sambo. "Kan lucu gitu, kalau ada perbuatan melawan hukum harusnya dengan proses hukum. Nah sekarang mau dibenarkan, betul kalau perkosaannya tidak ada visumnya. Tetapi kalau seorang yang punya pangkat derajat, status dia penegak hukum dia tau proses hukum, mau harus belajar hukum dimana lagi kalau begini," jelasnya. Jika melihat dari kasus perkasus, kata Asep, bahwa hukum positif itu hukum yang terjadi pada saat ini ditempat ini. Asep menilai kasus ini hanya pembunuhan yang telah direncakan. Tapi kalau betul keterangan ahli ada pemerkosaan, maka harus diproses dan dibuktikan. "Jadi ini jangan dikaitkan dengan negara berkembang apa urusannya, minimal dia yang diperkosa.Lebih fatal lagi, ngapain dia cerita perkosaan, ini hanya pembunuan kok, kalau betul perkosan tidak ada bukti cuman ada  keterangan ahli, silahkan proses," pungkas Asep. Sebelumnya, Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali menyebut, visum bukan sebagai alat bukti satu-satunya untuk membuktikan telah terjadinya pelecehan seksual. Sebab, visum tidak membuktikan begitu saja bahwa tindak pidana tidak terjadi. Hal itu dia sampaikan saat bersaksi dalam persidangan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E. Sebagaimana diketahui, Putri Candrawathi sampai saat ini tidak pernah melakukan visum setelah mengaku menjadi korban pelecehan seksual Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. “Kalau visum nggak ada gimana? Pertanyaan saya begini, visum itu nggak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi jaksa untuk membuktikan, tapi dia tidak menghilangkan tidak adanya kejahatan. Jangan disimpulkan kalau korban tidak melakukan visum tidak terjadi kejahatan,” kata Mahrus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (22/12). Mahrus menjelaskan, korban kekerasan seksual tidak semua berani melaporkan peristiwa yang dialaminya. Hal itu didasari beberapa alasan. Seperti, korban akan merasa mengalami victimisasi, atau perlakuan tidak senonoh. “Jadi artinya tidak semua korban kekerasan seksual itu punya keberanian untuk melapor. Artinya apa betul kalau tidak ada visum itu kemudian itu menyulitkan pembuktian, tapi tidak menyatakan kalau kejahatan tidak terjadi,” jelasnya. Menurut Mahrus, masih ada alat bukti lain yang bisa digunakan untuk pembuktian pemerkosaan. Seperti penilaian dari ahli psikologi. “Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma. Nggak ada setelah diperkosa itu ketawa-tawa, nggak ada, maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu, saya tidak punya kompeten soal itu,” pungkas Mahrus.