'Noda Hitam' di Kementerian Kelautan dan Perikanan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Juli 2024 2 jam yang lalu
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) (Foto: Dok MI)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) kembali berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Catatan Monitorindonesia.com, KKP terseret kasus dugaan korupsi ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Sang Menteri KP Edhy Prabowo lah saat itu yang dijerat lembaga anti rasuah itu.

Selain kasus itu, KKP juga terseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia (SKIPI). Sudah ada tersangka dalam kasus ini.

KPK kini masih terus memeriksa saksi-saksi untuk memperkuta bukti dan melengkapi berkasa perkara.

Lima anggota Tim Teknis KKP pada 2009 pun ikut diperiksa KPK. Adalah Ismayanti, Mian Sahala Sitanggang, Johny Bajarnagor, Andrik Yulianto, dan juha Aswan Zein. 

Mereka diperiksa pada Rabu (10/7/2024) lalu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. 

Teranyar, KPK memeriksa Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono.

Dia diulik KPK sebagai saksi pada kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa kerja sama antara PT Telkom dengan PT Telemedia Onyx Pratama (TOP).

Namun demikian, dia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham di PT Teknologi Riset Global Investama.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono
Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono saat di KPK, Jum'at (26/7/2024) (Foto: Dok MI)

“Secara umum yang bersangkutan dimintai keterangan pengetahuannya pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai komisaris ya, tentang pengadaan yang dilakukan perusahaan tersebut,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip pada Sabtu (27/7/2024). 

Menurutnya, penyidik KPK memeriksa terkait aliran dana dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan tersebut. “Jadi prosesnya seperti apa dan ditelusuri terkait aliran dananya,” katanya. 

Tessa juga belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut lantaran belum mendapat laporan lengkap terkait pemeriksaan dari tim penyidik. 

Menurut laporan, Sakti Wahyu Trenggono diduga menerima uang Rp10 miliar, KPK pun masih akan mendalami hal tersebut. Namun Sakti sendiri membantahnya.

“Penyidik pasti akan mendalami baik itu penerimaan yang sah yang bersangkutan, jumlahnya dari mana, terus digunakan untuk apa, itu tentunya nanti akan didalami oleh penyidik," tandasnya.

Berikut rangkuman kasus dugaan rasuah yang menyeret Kementerian KP

Ekspor benih lobster

Perkara ini berawal saat Edhy Prabowo selaku Menteri KP menerbitkan Permen KP-RI Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tanggal 4 Mei 2020. Peraturan itu mengizinkan dilakukannya budidaya dan ekspor Benih Bening Lobster (BBL).

Suharjito yang perusahaannya bergerak di bidang benih lobster lalu menemui Edhy Prabowo di rumah dinas Menteri KP.

Edhy Prabowo kemudian mengarahkan Suharjito berkoordinasi dengan Safri, salah satu staf khususnya.

Koordinasi selanjutnya dilakukan oleh Agus Kurniyawanto selaku Manajer Operasional PT DPPP dengan Dalendra Kardina selaku sekretaris pribadi Safri untuk pengurusan izin budidaya benih lobster. Selain itu, koordinasi juga dilakukan dengan Esti Marina terkait presentasi Business Plan PT DPPP ke KKP.

Esti Marina adalah Sekretaris Pribadi Andreau Misanta Pribadi. Andreau merupakan staf khusus Edhy Prabowo.

Pada 14 Mei 2020, Edhy Prabowo menunjuk kedua staf khususnya, Safri dan Andreau Misanta Pribadi, menjadi Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Andreau sebagai ketua dan Safri sebagai wakil ketua.

Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benih lobster. Serta memberikan rekomendasi proposal usaha yang memenuhi persyaratan untuk melakukan usaha budidaya lobster.

Terkait izin budidaya PT DPPP, Andreau dan Safri diduga menahannya untuk dikirim ke Ditjen Perikanan Budidaya KKP. Izin disebut harus atas persetujuan Andreau dan Safri.

Safri kemudian meminta Rp 5 miliar sebagai uang komitmen kepada Edhy Prabowo. Hal itu disepakati pihak PT DPPP untuk diberikan secara bertahap.

Penyerahan pertama dilakukan di kantor KKP pada 16 Juni 2020 sebesar USD 77 ribu. Uang diterima Safri yang kemudian diberikan pada sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin.

Setelah penyerahan uang itu, izin PT DPPP kemudian diproses lebih lanjut oleh Safri dan Andreau. Pada 26 Juni 2020, PT DPPP mendapat izin budidaya. Selanjutnya pada 6 Juli 2020, PT DPPP mendapat izin ekspor.

Terkait ekspor benih lobster, diduga sudah ada pengaturan. Yakni PT Perishable Logistic Indonesia (PLI) akan mengurus seluruh kegiatan ekspor, sementara PT Aero Citra Kargo (ACK) yang akan berkoordinasi dengan perusahaan eksportir.

PT PLI menetapkan biaya operasional sebesar Rp 350 per ekor Benih Bening Lobster sementara PT ACK menetapkan biaya Rp 1.450 per ekor Benih Bening Lobster. Total biaya yang harus dibayar eksportir itu kemudian diduga ditampung di rekening PT ACK.

Keuntungan itu kemudian dibagi dalam bentuk deviden kepada para pemegang saham. Struktur PT ACK sudah dikondisikan sedemikian rupa sehingga ditempati orang dekat Edhy Prabowo. Dengan demikian, uang akan tetap akan masuk kantong politikus Gerindra itu.

Kurun September-November 2020, PT DPPP mengekspor benih lobster ke Vietnam sebesar 642.684 ekor. Biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 706.055.440 yang diterima PT ACK.

Sementara pada 8 Oktober, sisa uang komitmen untuk Edhy Prabowo kembali diberikan pihak PT DPPP. 

Pemberian uang sebesar USD 26 ribu kembali dilakukan di kantor KKP. Sehingga total uang yang diberikan ialah USD 103 ribu.

Putusannya Sudah Incracht, Terpidana Kasus Korupsi Edhy Prabowo Dijebloskan ke Lapas Klas I Tangerang
Edhy Prabowo mengenakan rompi tahanan KPK (Foto: Dok MI)

Dalam perkara ini, Edhy Prabowo bersama-sama Andreau Pribadi Misanta, Safri, Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan Siswadhi Pranoto Loe didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar US$77 ribu dan Rp 24.625.587.250 dari Suharjito selaku pemilik PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) dan dari para eksportir BBL lainnya.

Selanjutnya, Edhy divonis 9 tahun penjara. Namun MA menyunatnya menjadi 5 tahun penjara. MA juga mengurangi pencabutan hak politik Edhy. 

Sebelumnya di tingkat pertama majelis hakim memutuskan mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun. 

Namun MA menguranginya dengan mencabut hak politik Edhy selama 2 tahun.

SKIPI

Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal patroli di Ditjen Bea dan Cukai dan KKP, KPK telah menetapkan empat orang tersangka.

Yakni Direktur Utama PT Daya Radar Utama (PT DRU), Amir Gunawan; pejabat pembuat komitmen (PPK) Bea dan Cukai, Istadi Prahastanto; Ketua Panitia Lelang, Heru Sumarwanto; dan Aris Rustandi selaku PPK KKP.

Istadi, Amir dan Heru diduga melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan hingga pelaksanaan pekerjaan pengadaan 16 kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat/FCB) di Ditjen Bea dan Cukai. 

Salah satunya, mengarahkan panitia lelang agar memilih PT DRU untuk menggarap proyek tahun jamak 2013-2015 senilai Rp1,12 triliun tersebut.

Namun setelah dilakukan uji coba, kecepatan dan sertifikasi dual-class 16 kapal patroli itu tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan di kontrak. 

Meski tidak sesuai, pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti pembayaran.

Selama proses pengadaan Istadi dan kawan-kawan menerima 7.000 Euro sebagai sole agent mesin yang dipakai oleh 16 kapal patroli cepat tersebut. Dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp117.736.941.127.

Kemudian pada perkara berikutnya, Amir dan Aris diduga melakukan cawe-cawe dalam penandatangan kontrak kerja pengadaan 4 unit kapal 60 meter untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan (SKIPI) pada Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP. Nilai kontrak proyek ini USD58.307.789.

Aris diketahui membayar seluruh termin pembayaran proyek pengadaan empat kapal SKIPI kepada PT DRU senilai USD58.307.788 atau setara Rp744.089.959.059. 

Padahal, biaya pembangunan empat kapal itu hanya Rp446.267.570.055.

Tak hanya itu, KPK mensinyalir terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum lain dalam proses pengadaan. 

Di antaranya, belum adanya Engineering Estimate, persekongkolan dalam tender, dokumen yang tidak benar dan sejumlah PMH lainnya.

Empat kapal SKIPI itu juga diduga tidak sesuai spesifikasi yang diisyaratkan dan dibutuhkan, misalnya kecepatan tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, markup volume plat baja dan aluminium serta kekurangan perlengkapan kapal lain. 

Kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp61.540.127.782.

Perkara korupsi kapal Ditjen Bea dan Cukai, Amir, Istadi dan Heru melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan, pada perkara korupsi kapal di KKP, Amir dan Aris disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Proyek fiktif Telkom

KPK tengah mengusut dugaan korupsi proyek fiktif di PT Telkom. 

Menurut penelusuran KPK, proyek fiktif tersebut berupa pengadaan sejumlah perangkat keras alat elektronik dengan potensi kerugian negara senilai Rp 250 miliar.

Dalam proyek itu, PT Telkom menggandeng PT Telemedia Onyx Pratama (TOP).

Lantas mengapa KPK memerika Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono?

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa KPK memeriksa Sakti untuk mengetahui proses pengadaan dan aliran dana dalam kerja sama antara PT Telkom dengan PT TOP itu.

KPK menduga modus korupsi dalam perkara ini adalah pengadaan fiktif. KPK menduga terdapat kerugian negara mencapai ratusan miliar. 

Sakti diperiksa selaku pemegang saham PT Teknologi Riset Global Investama. Belum diketahui keterkaitan PT Teknologi Riset dalam proyek pengadaan ini.

Seusai diperiksa selama 2 jam lebih, Trenggono mengatakan telah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara untuk memberikan kesaksian.

Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono Dicecar KPK soal Aliran Dana Korupsi di PT Telkom
Sakti Wahyu Trenggono saat memberikan keterangan pers di KPK (Foto: Dok MI)

"Sebagai warga negara yang baik saya harus membantu KPK," kata Trenggono di Gedung Merah Putih KPK.

Kepada penyidik, Trenggono mengatakan telah menceritakan semua yang diketahuinya. Dia mengatakan hanya menyampaikan apa yang dia ketahui.

"Peristiwa itu kan terjadi di 2017-2018, yang saya tahu saya sampaikan, yang tidak saya tahu ya saya tidak sampaikan," tandasnya.