Amerika Tuding Industri Nikel Indonesia Terapkan Kerja Paksa

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 September 2024 13:38 WIB
Ilustrasi - Salah satu tambang nikel di Indonesia (Foto: Istimewa)
Ilustrasi - Salah satu tambang nikel di Indonesia (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Amerika Serikat (AS) melalui Departemen Ketenagakerjaan atau US Department of Labor (US DOL) menuding bahwa industri nikel di Indonesia menerapkan sistem kerja paksa.

Dalam laporan terbaru, US DOL menjelaskan warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Namun, saat tiba di Indonesia, pekerja justru mendapatkan upah yang lebih rendah dari yang dijanjikan dengan jam kerja yang lebih panjang hingga mendapatkan kekerasan secara verbal dan fisik sebagai hukuman.

Laporan tersebut menyebutkan kerja paksa terjadi pada kawasan industri di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di mana China memiliki kepemilikan mayoritas atas kawasan ini. 

“Pekerja secara teratur mengalami penyitaan paspor oleh pemberi kerja dan mengalami pemotongan upah secara sewenang-wenang, serta kekerasan fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman,” sebagaimana dikutip melalui laporan 2024 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor, Sabtu (28/9/2024).

Indikator lain dari kerja paksa di kawasan industri tersebut antara lain pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur paksa; yang semuanya dilaporkan sebagai praktik umum dalam produksi nikel di kawasan industri.

Merespons hal itu, Asosiasi Penambang Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) memastikan anggotanya tidak melakukan kerja paksa dalam industri nikel Indonesia, sebagaimana dilaporkan Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) atau US Department of Labor (US DOL).

Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan banyak perusahaan tambang nikel, yang disebut menerapkan sistem kerja paksa, telah memasukan aspek hak asasi manusia (HAM) dalam Perjanjian Kerja Bersama. “Tentu hal yang dituduhkan tersebut tidak ada di anggota kami IMA,” ujar Hendra.
Menurut Hendra, pernyataan penerapan kerja paksa di laporan tersebut hanya berupa tuduhan tanpa menyertakan data dengan sumber yang jelas.

Terlebih, Hendra mengatakan, laporan tersebut tidak menjelaskan industri nikel yang menerapkan sistem kerja paksa, entah industri pertambangan, pengolahan, pemurnian atau pengangkutan.

“Tidak sepantasnya laporan tersebut generalisasi praktik yang dituduhkan terjadi di industri nikel di Indonesia. Banyak contoh praktik positif penambangan nikel di Indonesia yang justru jadi contoh best practices baik yang diberikan oleh pemerintah atau lembaga internasional yang punya reputasi bagus,” jelasnya.

Selain itu, Hendra mengatakan laporan tersebut juga seharusnya dikonsultasikan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan. “Kami dari IMA sebagai mitra pemerintah siap untuk berkomunikasi dengan lembaga yang membuat laporan tersebut,” tandasnya.

Topik:

AS Nikel Kerja Paksa IMA