Benarkah AS Desak RI Hapus Larangan Ekspor Nikel?


Jakarta, MI - Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat resmi menandatangani kerangka kerja baru negosiasi Perjanjian Perdagangan Timbal Balik antara kedua negara. Kesepakatan ini membuka peluang besar bagi pelonggaran tarif perdagangan dan peningkatan akses pasar dua arah.
Melalui kerangka tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menghapus hampir seluruh tarif impor terhadap produk industri, pangan, dan pertanian asal Amerika Serikat.
Sebagai imbalannya, Washington akan memangkas tarif bea masuk untuk barang-barang asal Indonesia menjadi hanya 19%, turun dari rencana semula sebesar 32% yang semestinya berlaku per 1 Agustus 2025.
Langkah ini diumumkan secara resmi dalam pernyataan bersama yang dirilis Gedung Putih pada Selasa (22/7/2025) waktu setempat.
"Pengumuman hari ini menunjukkan bahwa Amerika mampu melindungi produksi domestiknya sekaligus memperoleh akses pasar yang luas dari mitra dagangnya," ujar Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer dalam pernyataannya, Rabu (23/7/2025).
Berdasarkan pernyataan bersama terkait kerangka perjanjian AS-Indonesia, yang dirilis Gedung Putih tersebut, ada salah satu point yang menyebut, "Indonesia akan menghapus pembatasan ekspor komoditas industri ke Amerika Serikat, termasuk mineral kritis."
Namun, pernyataan tersebut tidak disertai penjelasan rinci mengenai definisi atau cakupan "mineral kritis" yang dimaksud.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah poin tersebut berkaitan dengan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dan konsentrat yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah Indonesia? Sebab, sejauh ini pembatasan ekspor mineral kritis oleh Indonesia hanya menyangkut larangan pengiriman mineral mentah ke luar negeri.
Mineral harus terlebih dahulu diproses di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri sebelum diekspor keluar negeri.
Meski demikian, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Septian Hario Seto menegaskan, pernyataan tersebut tidak berarti Pemerintah Indonesia harus mencabut kebijakan larangan ekspor mineral mentah.
Seto menjelaskan bahwa poin tersebut lebih mengarah pada hasil olahan mineral atau processed minerals dari smelter di dalam negeri, bukan mineral mentah. Menurutnya, Pemerintah Indonesia tidak akan mencabut larangan ekspor mineral mentah.
Ketika ditanya apakah pernyataan dalam kerangka perjanjian antara AS dan Indonesia itu mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia diminta mencabut kebijakan larangan ekspor mineral mentah dan konsentrat.
"Tidak, itu kan industrial commodities, jadi ya memang mineral yang sudah diproses," jelasnya, Rabu (23/07/2025).
Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara No.3 tahun 2020 (UU Minerba) larangan ekspor mineral mentah mulai diberlakukan pada 10 Juni 2023.
Namun, karena smelter di dalam negeri belum sepenuhnya rampung, pemerintah masih memberikan kelonggaran ekspor untuk sejumlah mineral tertentu, termasuk konsentrat tembaga, hingga akhir 2024.
Seharusnya, mulai 1 Januari 2025, seluruh ekspor mineral mentah dilarang, kecuali untuk konsentrat tembaga yang diproduksi PT Freeport Indonesia.
Hal ini disebabkan adanya keadaan kaharyang menghambat penyelesaian pembangunan smelter Freeport, sehingga penyelesaiannya membutuhkan waktu tambahan hingga fasilitas tersebut beroperasi.
Sebagai bentuk penyesuaian, Freeport masih mendapatkan izin ekspor konsentrat tembaga hingga September 2025. Sementara larangan ekspor bijih nikel sudah berlaku sejak 1 Januari 2020.
Topik:
mineral-kritis tarif-trump amerika-serikat nikel