TNI Harus Tegakkan Hukum dalam OTT dan Penetapan Tersangka Kabasarnas Henri Alfiandi

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 29 Juli 2023 02:25 WIB
Jakarta, MI - Pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus menegakkan hukum dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) dan penetapan tersangka Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Sekalipun TNI mengajukan keberatan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun TNI harus mampu dalam waktu yang segera menunjukkan komitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi . "Dalam kasus OTT ini karena pelaku berstatus anggota militer aktif, kalau ditelaah dari regulasi memang menjadi yurisdiksi dan kompetensi absolut peradilan militer dimana pelaku seharusnya diperiksa Polisi Militer (POM) TNI," ujar Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra saat dihubungi Monitorindonesia.com, Sabtu (29/7). Penetapan tersangka Kabasarnas Henri Alfiandi ini oleh KPK kini menimbulkan pro-kontra di ruang publik, disatu sisi seolah KPK terhambat dalam upaya pemberantasan korupsi bila menghadapi tindak pidana korupsi dilakukan oleh anggota TNI sekalipun OTT. "Karenanya sekat batasan regulasi ini perlu direvisi termasuk diperlukan kesepahaman serta koordinasi supervisi antara KPK dan Polisi Militer (POM) TNI yang lebih konkrit dan dapat dioperasionalkan yang semestinya masing-masing lembaga wajib fokus pada tujuan kepentingan nasional, termasuk menjaga tujuan Undang undang tindak pidana korupsi," beber Azmi. "Serta melihat karakteristik perbuatan pelaku yang dilakukannya nyata menyalahgunakan jabatan dan merugikan keuangan negara sehingga mengesampingkan ego sektoral," tambah Azmi. Lagi-lagi, kata Azmi, karena ada ketentuan khusus dan limitatif kompetensi payung hukumnya yang melekat bagi prajurit aktif wajib diproses secara militer. Yaitu mekanisme peradilan bagi prajurit ini diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer termasuk Undang undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam regulasi ini, lanjut Azmi, diatur soal pejabat yang memiliki wewenang khusus dalam menyelidiki kasus yang melibatkan prajurit adalah ankum (atasan yang berhak menghukum), Polisi Militer, dan/atau Oditur Militer. "Jadi sepanjang tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang berstatus prajurit anggota TNI tentu tetap diadili di peradilan militer termasuk penyidikannya," jelas Azmi. Sebab KPK dibatasi hanya dapat menyidik orang-orang yang tunduk dalam peradilan umum. "Dasar hukum inilah dalam tataran operasional jadi hambatan untuk proses pertanggungjawaban pidana bagi anggota militer," tutup dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini. Sebelumnya, Wakil ketua KPK Johanis Tanak mengatakan bahwa lembaganya telah mengakui ada kekhilafan ketika melakukan OTT dalam kasus pengadaan alat deteksi korban reruntuhan di Badan SAR Nasional. KPK melakukan operasi senyap kepada Letkol Afri Budi Cahyanto di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur, pada Selasa, 25 Juli. Bahkan, KPK sudah menetapkan Afri dan Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. "Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya Anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasanya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani, bukan KPK," ujar Tanak di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7). Tanak meminta maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono atas operasi senyap dan melibatkan anggota TNI. "Oleh karena itu kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini, kami mohon dapat dimaafkan, dan ke depan kami berupaya kerja sama yang baik antara TNI dengan KPK dan aparat penegak hukum yang lain atas tindak pidana korupsi yang lain," kata Tanak. Sementara itu, Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengatakan pihaknya tetap bisa memproses hukum Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi meski akan memasuki masa pensiun. Agung menyebutkan pemrosesan bisa dilakukan kepada Jenderal bintang tiga itu, karena kasus dugaan suap yang menjerat Henri terjadi saat ia menjabat sebagai prajurit TNI aktif. “Marsdya HA memang sudah memasuki masa pensiun, tapi tindak pidana tersebut terjadi pada saat beliau masih aktif. Jadi kita lihat tempus delicti, waktu kejadian, jadi tetap berdasarkan tempus delicti yang menangani adalah polisi militer,” kata Agung di Mabes TNI, Jakarta Timur, Jumat (28/7). Ia menyampaikan Puspom baru menerima laporan resmi dari KPK soal kasus korupsi di lingkungan Basarnas, pada Jumat siang tadi. Dari laporan tersebut, pihaknya baru bisa memulai proses hukum terhadap Henri dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang juga ditetapkan KPK sebagai tersangka. “Nanti kita kembangkan, nanti kita akan koordinasi dengan KPK bukti-bukti apa yang sudah didapat,” ungkapnya. Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan penetapan tersangka dua prajurit aktif TNI oleh KPK sebelumnya telah menyalahi aturan. Agung menjelaskan anggota TNI tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UU Peradilan Militer. Sebagai sesama aparat penegak hukum, ia berharap KPK saling menghormati aturan masing-masing lembaga. “Jadi pada intinya, kita saling menghormati. Kita punya aturan masing masing. TNI punya aturan, dari pihak KPK, baik itu hukum umum, punya aturan juga. Kami aparat TNI tidak bisa menetapkan orang sipil sebagai tersangka, begitu juga harapan kami, pihak KPK juga demikian,” ucapnya. [caption id="attachment_556841" align="alignnone" width="695"] Infografis kode "dana komando" suap Kabasarnas, Henri Alfiandi.(Foto: MI/La Aswan)[/caption] Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto ditetapkan sebagai tersangka suap oleh KPK dalam pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan tahun anggaran 2023 di Basarnas. Selain itu, ada tiga orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil. Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek. KPK menyerahkan proses hukum Henri dan Afri Budi selaku prajurit TNI kepada Puspom Mabes TNI. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 42 UU KPK jo Pasal 89 KUHAP. (Wan)

Topik:

KPK TNI OTT KPK Suap Pengadaan Barang dan Jasa Kabasarnas Henri Alfiandi POM