KPK Buka Peluang Jerat Korporasi di Kasus Korupsi LPEI, Perusahaan Ini Terancam

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 29 Maret 2024 21:44 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menetapkan tersangka korporasi dalam perkara dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
 
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, mengatakan, pihaknya saat ini mengusut kasus tersebut dengan dengan skema penyidikan umum.
 
“Nanti dalam perjalanannya ketika penyidikan umum itu menemukan orang yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum baik itu orang per orang ataupun korporasi, ya kami akan umumkan nanti tersangkanya,” ujar Ali kepada wartawan, Jumat (29/3/2024).
 
Namun hingga saat ini KPK belum mengetahui apakah obyek perkara yang ditangani lembaga antirasuah dengan Kejaksaan Agung sama. Sebab, Korps Adhyaksa juga telah menerima sejumlah laporan menyangkut dugaan korupsi LPEI. Meski begitu, KPK tetap bersinergi dan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam memberantas korupsi.
 
"Kami melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak Kejaksaan Agung terlebih sudah menangani perkara itu sebelumnya," ungkap Ali.
 
Diketahui, KPK menerima aduan dugaan korupsi LPEI itu sejak 10 Mei 2023. Aduan itu kemudian ditindaklanjuti Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK sebelum akhirnya dilimpahkan ke Direktorat Penyelidikan.
 
KPK kemudian menggelar ekspose dan menyepakati kasus itu naik ke penyidikan pada 19 Maret 2024. KPK menduga, negara rugi hingga Rp 3,451 triliun akibat korupsi pemberian kredit ekspor tersebut.
 
Sejumlah Perusahaan Diduga Terseret
 
KPK menemukan indikasi terjadinya penyimpangan dalam penyaluran kredit yang diberikan oleh LPEI kepada debitur berinisial PT PE. PT PE merupakan perusahaan yang bergerak di bidang distribusi BBM dan bahan bakar lainnya.
 
"Salah satu perusahaan yang menerima fasilitas modal kerja ekspor dari LPEI yakni PT PE," kata Alexander dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
 
Alex mengatakan PT PE memperoleh kredit modal kerja ekspor (KMKE) dari LPEI sebanyak 3 kali, yakni 2015, 2016 dan kembali mendapatkan tambahan pada 2017. Pada 2015, PT PE memperoleh modal kerja ekspor sebesar US$ 22 juta; pada 2016 sebesar Rp 400 miliar; dan pada 2017 sebesar Rp 200 miliar.
 
"Sehingga totalnya adalah US$ 22 juta dan Rp 600 miliar," kata Alex.
 
KPK menduga pemberian modal kerja terhadap PT PE dilakukan secara serampangan. Dia menyebut dugaan keterlibatan komite pembiayaan di LPEI saat itu. Komite ini bertanggung jawab atas bisnis dan risiko di bank ekspor impor tersebut.
 
Fungsi bisnis diwakili direktur pelaksana 1, direktur pelaksana 2, dan direktur pelaksana 3 serta SEVP 1. Sedangkan fungsi risiko diwakili direktur eksekutif, direktur pelaksana 4, SEVP 6, dan kepala divisi credit reviewer.
 
Alex mengatakan penyidik menduga komite pembiayaan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit ke PT PE. Untuk mendapatkan kredit, kata dia, sebuah perusahaan harus memenuhi sejumlah syarat. PT PE, kata dia, tak memenuhi syarat-syarat tersebut, namun tetap memperoleh kredit.
 
Dia mencontohkan laporan keuangan yang diserahkan oleh PT PE diduga telah direkayasa. Aset yang menjadi jaminan pinjaman, kata dia, dinilai juga bermasalah karena belum sepenuhnya dimiliki PT PE. Menurut Alex, PT PE diduga juga menggelembungkan nilai piutang yang mereka miliki.
 
"Jadi jaminannya rendah, tidak menutup kredit yang diberikan," kata Alexander.
 
Alex menambahkan kondisiperusahaan PT PE jauh dari kata prima. Rasio aset lancar perusahaan lebih kecil dari satu kali. Rasio utang perusahaan juga mencapai 4 kali dari modal. 
 
Seluruh kondisi itu, kata Alex, seharusnya cukup membuat LPEI menolak pengajuan kredit dari perusahaan ini. KPK menduga komite pembiayaan LPEI mengesampingkan berbagai fakta tersebut.
 
"Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan dengan tidak telitinya mantan komite pembiayaan LPEI dalam menganalisis laporan keuangan PT PE," kata Alex.
 
Alex menjelaskan dugaan fraud itu tidak hanya terjadi ketika penyetujuan pinjaman. Ketika PT PE dinyatakan pailit pada 2019, dugaan kecurangan berikutnya kembali terjadi. Saat itu, kata dia, PT PE masih memiliki tagihan senilai US$ 60 juta atau setara Rp 844 miliar kepada LPEI.
 
Penyelamatan pembiayaan, kata Alex, dilakukan dengan skema pengalihan dari piutang kepada dua perusahaan. Total piutang yang dialihkan sebanyak US$ 10 juta. Namun, kedua perusahaan yang memperoleh peralihan hak tagih itu justru masih terafiliasi dengan PT PI, karena diduga dimiliki orang yang sama berinisial GM.
 
"Patut diduga pengalihan piutang hanya untuk mengalihkan dari perusahaan yang sudah pailit ke perusahaan dengan pemilik yang sama," ujarnya.
 
Alex mengatakan salah satu perusahaan itu sudah membayar sebagian kewajiban utang atas cessie. KPK menduga masih tersisa sebanyak US$ 54,5 juta kewajiban yang belum dibayarkan oleh PT PE kepada LPEI atau setara Rp 766 miliar.
 
Kurang bayar atas kewajiban PT PE itulah yang kemudian dihitung menjadi kerugian negara.
 
"Penyimpangan yang diduga dilakukan direksi LPEI dalam pemberian fasilitas dan jaminan pembiayaan menimbulkan potensi kerugian negara sekurang-kurangnya US$ 54,5 juta atau dengan kurs Rp 14.407,99 senilai Rp 766 miliar," kata Alex.
 
Alex mengatakan KPK sudah memetakan pihak yang harus dimintai tanggung jawab atas kerugian negara tersebut. Penetapan tersangka, kata dia, akan dilakukan dalam proses penyidikan nantinya. "Calon ada, ya kalo calon ada kan, ya ga usah disebutkan, nantilah," kata dia.
 
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam kesempatan yang sama mengatakan lembaganya sebenarnya menerima 6 laporan terkait dugaan korupsi dalam kredit bermasalah di LPEI. Dari 6 laporan itu, kata dia, baru 3 laporan yang sudah ditelaah, salah satunya yang melibatkan PT PE.
 
Selain PT PE, Ghufron mengatakan lembaganya sedang menyelidiki dugaan korupsi penyaluran kredit ekspor yang melibatkan PT RII senilai Rp 1,6 triliun dan PT SMJL senilai Rp 1,051 triliun. 
 
Ghufron sedang berbicara mengenai dugaan korupsi penyaluran kredit ekspor dengan jumlah total Rp 3,451 triliun. "Baru 3 perusahaan yang kami hitung, sementara yang lain belum," katanya. (wan)