Kejagung Periksa Corporate Secretary Division Head Antam, Usut Korupsi Emas 109 Ton

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Juli 2024 3 jam yang lalu
Para tersangka korupsi emas 109 ton mengenakan rompi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung) (Foto: Dok MI/Aswan)
Para tersangka korupsi emas 109 ton mengenakan rompi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa 3 saksi dalam kasus korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas PT Antam (Persero) periode 2010-2022, Senin (29/7/2024).

"Adapun ketiga orang saksi diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas tahun 2010 sampai dengan 2022 atas nama tersangka HN dan kawan-kawan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.

Harli menjelaskan dua dari tiga saksi yang diperiksa yaitu tersangka JT dan LE. Mereka diperiksa untuk mendalami peran tersangka HN, GM UPBB LM PT Antam.

Sedangkan, satu saksi lainnya ialah FAK. Dia merupakan Corporate Secretary Division Head PT Antam periode 2022 hingga saat ini.
 
Hasil pemeriksaan tak dibeberkan karena masuk materi penyidikan. Namun, pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara.

Untuk diketahui, Kejagung telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus korupsi logam mulia (LM) PT Antam Tbk ini. Enam di antaranya merupakan General Manager (GM) Unit Bisnis Pengelolaan dan Pemurnian Logam Mulia atau UBPP LM PT Antam periode kurun waktu 2010 sampai dengan 2021. 

Keenam tersangka itu antara lain TK (perempuan) selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2010-2011, HN selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2011-2013, DM selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2013-2017.

Lalu, AHA selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2017-2019, MA selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2019-2021, dan ID selaku GM UPBB LM PT Antam periode 2021-2022. 

Keenam tersangka menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan aktivitas secara ilegal terhadap jasa manufaktur, di mana seharusnya berupa kegiatan peleburan, pemurnian, dan pencetakan logam mulia.

Mereka malah melawan hukum dan tanpa kewenangan melekatkan logam mulia milik swasta dengan merek LM Antam. 

Akibat perbuatan para tersangka dalam periode tersebut, telah tercetak logam mulia dengan berbagai ukuran sejumlah 109 ton. Emas itu diedarkan di pasar secara bersamaan dengan Logam Mulia produk PT Antam yang resmi.

Sementara itu, tujuh tersangka lainnya adalah pelanggan jasa manufaktur Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam Tbk. Ketujuh tersangka baru ini berinisial LE yang merupakan pelanggan jasa periode 2010-2021. 

Lalu, SL pelanggan jasa periode 2010-2014, SJ pelanggan jasa periode 2010-2021, JT pelanggan jasa periode 2010-2017, GAR pelanggan jasa periode 2012-2017, DT pelanggan jasa periode 2010-2014, dan HKT pelanggan jasa periode 2010-2017. Masing-masing disebut telah secara melawan hukum melakukan persekongkolan dengan para general Manager UBPP LM yang telah menjadi tersangka, untuk menyalahgunakan jasa manufaktur yang diselenggarakan oleh UBPP LM. 

Sehingga, para tersangka tidak hanya menggunakan jasa manufaktur untuk kegiatan pemurnian, peleburan dan pencetakan. Melainkan juga melekatkan merek Logam Mulia (LM) Antam tanpa didahului dengan kerja sama dan membayar kewajiban kepada PT Antam Tbk, agar meningkatkan nilai jual LM milik para tersangka.

Padahal, para tersangka mengetahui dan menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, karena LM Antam merupakan merek dagang milik PT Antam yang memiliki nilai ekonomis.

Akibat perbuatan tersangka ini diestimasikan total logam mulia yang diproduksi menjadi logam mulia merek LM Antam secara ilegal dalam kurun waktu 2010-2022 sebanyak 109 ton emas.

Ke-13 tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ar)