KPK Didorong Ambil Alih Kasus Korupsi Tower Transmisi PT PLN Rp 2,2 Triliun: Disidik Kejagung Sejak 2022 Nihil Tersangka!


Jakarta, MI - Sejak disidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Juli 2022 lalu kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) pada tahun 2016 tak kunjung ada kejelasan atau nihil tersangka.
Penyidikan kasus ini dimulai berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022.
Terkait hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkeinginan mengungkap kasus besar alias 'ikan besar' agar mengambil alih dari Kejagung.
"Jika ada yang berkepentingan laptopkan saj ke KPK, meskipun KPK merupakan sipervisor semua kasus korpsi yang ditangani penegak hukum lain. Jika tidak diingatkan karena masih ada sikap ewuh pakewuh (tidak enak perasaan). Korupsi di lembaga apa pun harus diberantas apa lagi lembaga pelayanan publik seperti PLN," kata Abdul Fickar kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Selasa (5/11/2024).
Bukan tanpa alasan Abdul Fickar menyatakan KPK bisa mengambil alih kasus ini. Soalnya dalam KUHAP dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.

"Dalam aturan itu, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," jelanya.
Dalam melaksanakan supervisi, KPK juga berwenang untuk mengambil alih perkara.
Pasal 10A ayat (1) KPK menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya, KPK dapat mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Pada ayat selanjutnya, diatur enam kriteria penanganan perkara yang bisa diambil alih KPK, yakni:
a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Kalau memang kasus itu dianggap macet dan penyidikannya harus diperbaiki. Lewat aturan itu, perkara korupsi yang ditangani kejaksaan disupervisi KPK," tukasnya.
Kasus posisi
Adapun kasus ini mencuat setelah ditemukannya dugaan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) pada tahun 2016 itu.
Kasus ini bermula dari proyek pengadaan tower oleh PT PLN (Persero) yang bertujuan menyediakan 9.085 set tower dengan nilai anggaran lebih dari Rp2,2 triliun. Namun, dalam pelaksanaannya, sejumlah pihak diduga melakukan tindakan yang melanggar hukum, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.
Pengadaan ini melibatkan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) dan 14 penyedia tower lainnya.
Diduga terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan proyek, di mana sejumlah pejabat diduga menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk memanipulasi proses pengadaan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat menyatakan bahwa penyelidikan awal Kejagung mengindikasikan adanya peristiwa pidana terkait pengadaan tower ini. Fakta-fakta yang ditemukan menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang, yang melibatkan berbagai dokumen pengadaan yang diduga dipalsukan atau tidak sesuai prosedur.
Salah satu indikasi kuat korupsi dalam kasus ini adalah tidak adanya dokumen perencanaan pengadaan yang seharusnya dibuat pada tahun 2016.
Sebaliknya, pengadaan dilakukan menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) dari tahun 2015, yang tidak diperbarui sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam proses pengadaan, PT PLN juga diduga menerima permintaan ASPATINDO tanpa mempertimbangkan dampaknya pada hasil lelang.
Akibatnya, proyek pengadaan tower ini cenderung dimonopoli oleh PT Bukaka, yang kebetulan dipimpin oleh Direktur Operasional yang juga menjabat sebagai Ketua ASPATINDO.
Selama periode Oktober 2016 hingga Oktober 2017, PT Bukaka dan beberapa penyedia lainnya hanya mampu menyelesaikan sekitar 30% dari proyek.
Selanjutnya, meskipun kontrak telah habis pada Oktober 2017, pekerjaan tetap dilanjutkan tanpa dasar hukum yang jelas hingga Mei 2018.
Pada Mei 2018, PT PLN akhirnya mengeluarkan addendum kontrak yang memperpanjang waktu pelaksanaan proyek selama satu tahun.
Selain perpanjangan waktu, jumlah set tower yang harus disediakan juga bertambah dari 9.085 set menjadi sekitar 10.000 set.
Addendum kontrak tersebut kemudian disusul dengan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak awal dan addendum, yang menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan proyek.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Kejagung juga telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, seperti kantor PT Bukaka dan kediaman pribadi SH.
Dari penggeledahan tersebut, tim penyidik memperoleh sejumlah dokumen dan barang elektronik yang diyakini terkait dengan dugaan korupsi ini.
Pada 25 Juli 2022, sejumlah pejabat PT PLN turut diperiksa sebagai saksi, termasuk MD selaku General Manager Pusmankom PT PLN Kantor Pusat (2017–2022), C sebagai Kepala Divisi SCM PT PLN Kantor Pusat (2016), dan NI sebagai Kepala Divisi SCM PT PLN Kantor Pusat (2021).
Kejagung menyatakan bahwa pemeriksaan saksi ini bertujuan untuk memperkuat bukti dan melengkapi pemberkasan perkara dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tersebut.
Masyarakat menantikan langkah tegas Kejagung untuk segera menetapkan tersangka dan membawa kasus ini ke pengadilan demi terciptanya keadilan dan transparansi di PT PLN (Persero).
Monitorindonesia.com telah berupaya meminta tanggapan pihak Kejaksaan Agung dan Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo, namun belum memberikan respons hingga berita ini diterbitkan. (an)
Topik:
kpk kejagung pln korupsi-tower-transisi-pln