Revisi ke-2 UU ITE: Makin Cetar atau Ambyar?

KRMT Roy Suryo,  Pemerhati Telematika & Multimedia Independen, Dewan Pakar Penyusun UU ITE versi pertama (UU 11/2008)

KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika & Multimedia Independen, Dewan Pakar Penyusun UU ITE versi pertama (UU 11/2008)

Diperbarui 7 Desember 2023 08:35 WIB
Roy Suryo
Roy Suryo

Rabu kemarin (4/12/2023) Rapat Paripurna DPR-Ri telah mensahkan Revisi UU ITE No 19/2016 menjadi UU. Perlu diingat, ini adalah revisi ke-2 setelah revisi pertama tahun 2016 lalu (dari Aslinya UU ITE No 11/2008). Menurut resume yang dibacakan oleh Abdul Kharis Almasyhari dari Komisi I selaku Tim Penyusun, setidaknya terdapat 20 konsideran revisi dari UU yang sebelumnya.

Namun demikian tanpa mengurangi Kerja Tim Perumus dari Baleg dan Komisi I DPR-RI, saya justru melihat revisi ini nyaris tidak akan terlalu berpengaruh karena meski ada pengurangan pasal, tetapi banyak juga penambahan ayat di pasal lainnya. Padahal saat ini sudah disahkan juga KUHP baru yang didalamnya memuat poin-poin dalam UU ITE sebelumnya, bahkan ada sudah dihapus.

Secara obyektif, saya memberikan apresiasi terhadap penambahan Pasal 16A dan 16B yang ditujukan untuk perlindungan kepada anak-anak dalam mengakses Teknologi Informasi. Meski penambahan pasal ini terkesan "diluar ranah UU ITE", namun memang kalau masih harus menunggu UU dari Kementerian lain (yang lmengurusi soal anak) akan terlalu lama dan bisa tidak sinkron dengan UU ITE yang dibuat saat ini.

Tetapi sebaliknya saya justru mempertanyakan perubahan-perubahan Pasal 27 dan 28 yang tampaknya dikurangi, tetapi ditambahi lagi dengan ayat-ayat lain. Bahkan ada tambahan ayat 3 soal kerusuhan yang ditimbulkan (sebagai pengganti dari aturan sejenis di Pasal 15 UU No 1 th 1946). Dengan demikian revisi di dua pasal ini malah akan menimbulkan multitafsir (baca: selera) aparat hukum dalam mengartikan UU ITE yang sampai sekarang tidak ada standardisasinya.

Hal yang lebih lucu, ada di revisi pasal 40a dimana diperkenankannya Intervensi Pemerintah dalam melakukan koreksi sampai pemutusan akses. Bahkan di Pasal 43 sekarang dimungkinkan Penutupan Akun secata sepihak bilamana dinilai melanggar. Hal ini sangat dikhawatirkan banyak terjadi dispute karena persepsi seseorang dengan orang lain pasti tidak akan sama (apalagi jika terdapat perbedaan pandangan politik).

Selanjutnya adalah dimungkinkannya seseorang tidak ditahan dengan Pasal 45 yang biasanya digunakan selama ini bilamana bisa menyampaikan "syarat-syarat tertentu". Sekilas tambahan keterangan di Pasal ini tampak bagus untuk melindungi masyarakat, namun saya mengkhawatirkan justru dapat digunakan sebagai bargain dalam menentukan nasib seseorang yang akan dikenakan Pasal tersebut karena perbedaan persepsi terhadap peristiwa yg dilakukannya.

At last but not least, saya tidak mengkomentari beberapa revisi mikro dari UU ITE ini, misalnya soal Sertifikasi Elektronik di Pasal 13 yang menghilangkan kemungkinan sertifikasi asing, karena memang sudah seharusnya demikian. Juga dengan berlakunya KUHP yang baru, banyak juga poin-poin dalam UU ITE ini yang sudah diadopsi didalamnya, bahkan sebagaimana saya sebut di awal tulisan, beberapa diantaranya sudah dihapus.

Kesimpulannya, Meskipun sekalilagi saya tetap mengapresiasi Komisi I dan Baleg DPR RI yang sudah berusaha melakukan revisi, namun apakah revisi UU ITE saat ini akan membuat "Cetar" (cemerlang, jelas) aplikasi UU tersebut dimasyarakat, atau malah membuatnya "Ambyar" (pecah, tidak fokus) dan menimbulkan multipersepsi bagi pelaksanaan di lapangan nantinya ? Time will tell, kita tunggu saja ...