Sunat Perempuan Merupakan Kekerasan Berbasis Gender

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 November 2021 23:43 WIB
Monitorindonesia.com - Hentikan praktik sunat perempuan yang dinilai sebagai kekerasan berbasis gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak ulama-ulama pesantren membangun komitmen pencegahan female genital mutilation/ cutting (FGM/C) atau pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP). "Praktik ini merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang kerap dilakukan karena telah menjadi ajaran atau budaya turun-temurun di masyarakat. Padahal FGM/C atau P2GP yang berkembang hingga hari ini bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Pernyataan Menteri Bintang disampaikan di acara Musyawarah Ulama Pesantren ke-II: Membangun Komitmen Ulama dalam Pencegahan FGM/C atau P2GP, sebagaimana dikutip dari siaran pers, Kamis (18/11/2021). Dalam kegiatan ini para ulama bermusyawarah untuk menghasilkan rekomendasi bagi kemaslahatan semua pihak, khususnya perempuan sebagai pihak yang terdampak dari praktik sunat perempuan. Menteri Bintang menyampaikan bahwa ulama memiliki peran penting menuntaskan berbagai permasalahan sunat perempuan, sekaligus memperbaiki pandangan-pandangan yang masih keliru di masyarakat. Oleh karena itu Bintang berharap agar musyawarah ulama kedua dapat menghasilkan rekomendasi lebih kuat membangun komitmen ulama dalam pencegahan FGM/C atau P2GP. Sementara itu, tokoh nasional sekaligus istri Presiden RI ke-4 Sinta Nuriyah Wahid menegaskan, pelaksanaan FGM/C atau P2GP tidak memberikan efek positif bagi perempuan. Menurut dia, perempuan justru merasakan efek buruk hingga sangat buruk akibat tindakan sunat perempuan tersebut. “Dengan demikian, tidak dibolehkannya mengkhitan perempuan bisa berangkat dari dalil saddu al-dzari’ah, yaitu menutup peluang bagi timbulnya sebuah kemudaratan," kata Sinta. Sedangkan dari perspektif keadilan hakiki perempuan, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Nur Rofiah, menerangkan ada implikasi berbeda bagi perempuan dan laki-laki ketika dikhitan. Secara fisik, perempuan memiliki 29 potensi dampak biologis dari berhubungan seksual mulai dari perubahan bentuk selaput dara hingga menyusui anak selama dua tahun. Sementara laki-laki hanya merasakan satu dampak yakni keluarnya sperma. "Konsep keadilan hakiki penting dipertimbangkan demi mewujudkan kemaslahatan bersama, baik bagi laki-laki dan perempuan," kata Nur Rofiah. Musyawarah Ulama ke-II ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi yang lebih kuat dalam membangun komitmen ulama untuk mencegah FGM/C atau P2GP.
Berita Terkait