Rp 505 Ribu dan Presidensi G20

No Name

No Name

Diperbarui 10 Oktober 2022 15:20 WIB
KEMISKINAN selalu menjadi isu krusial, termasuk di Indonesia. Indonesia terus berusaha menurunkan angka kemiskinan. Inpres nomor 4 tahun 2022 dikeluarkan untuk memastikan adanya penurunan kemiskinan ekstrim di Indonesia. Bagaimana kabar tindaklanjut Inpres nomor 4 tahun 2022 masih ditunggu, apakah memang kemiskinan sudah bisa diturunkan atau kemiskinan malah meningkat dgn inflasi yang sudah mencapai 5.95 persen di September 2022 (yoy). Tentunya menurun atau meningkatnya kemiskinan ditentukan oleh standar kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Standar kemiskinan per Maret 2022 yang dipakai Pemerintah Indonesia adalah seseorang dgn pendapatan Rp 505 ribu per bulan atau kurang. Jadi seseorang punya pendapatan Rp 510 ribu per bulan tidak disebut miskin. Sementara Bank Dunia menstandarkan orang miskin bila pendapatannya $ 215 per hari atau bila dirupiahkan sekitar Rp 967 ribu per bulan. Jadi kalau pendapatan seseorang per bulan di bawah Rp 967 ribu disebut Bank Dunia sebagai orang miskin. Kalau Indonesia menggunakan standar Bank Dunia maka ada tambahan 13 jutaan rakyat Indonesia yg disebut miskin. Membandingkan standar kemiskinan antara Rp 505 ribu per bulan versus $2 15 per hari, sebenarnya yang lebih menghargai kemanusiaan itu Bank Dunia, dibandingkan Pemerintah Indonesia. Apa ya yang menjadi ukuran Pemerintah Indonesia sehingga menetapkan standar kemiskinan Rp 505 ribu per bulan? Kalau penetapan Rp 505 ribu itu, menurut versi Pemerintah, berarti pengeluaran minimum seseorang Rp 505 ribu, dgn perincian sekitar 74 persennya utk konsumsi pangan sementara 26 persennya utk non pangan. Apakah benar dengan 74 persen dari Rp 505 ribu memang bisa dianggap cukup utk pangan bagi orang miskin? Di tengah arak-arakan Presidensi G20, standar kemiskinan Indonesia di angka Rp 505 ribu per bulan menjadi kontradiksi terhadap jargon "Recover Together, Recover Stronger" Dengan fakta ini, saya kira kampanye "No one Left Behind" hanyalah isapan jempol. Penulis: Timboel Siregar/Sekjen OPSI Presidensi G20
Opini Terkait