Persistensi Kemiskinan Agraria

No Name

No Name

Diperbarui 24 Januari 2023 09:34 WIB
Oleh: Dr. Martua Sihaloho, SP, M.Si/Dosen Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Kristen (FISHK), Institut Agama Kristen Negeri Tarutung (IAKN) – Sumatera Utara MASIH relevan dengan tulisan penulis yang dipublikasikan pada media ini (18 Januari 2023) yang berjudul Migrasi dan Kesejahteraan Semu (pseudo prosperity), tulisan ini secara spesifik membahas persistensi kemiskinan agraria, utamanya pada kasus pelaku migrasi di pedesaan Jawa Barat. Salah satu alasan masyarakat pedesaan memilih menjadi migran adalah tidak akses terhadap sumberdaya agraria lokal. Dalam hal ini, rumahtangganya tidak akses pada sumberdaya agraria lokal memilih menjadi pelaku migrasi sebagai “pilihan terakhir” untuk bisa survival. Meski demikian, tidak semua penduduk melakukan migrasi sebagai strategi nafkah rumahtangganya. Remiten menjadi harapan bagi rumah tangga pelaku migrasi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, meskipun terjadi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan, namun yang umumnya terjadi adalah kesejahteraan semu (pseudo prosperity), yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya “persistensi kemiskinan”. Selanjutnya, bila mengadopsi teori dari Boerdieu (1989) tentang reproduksi kelas dan habitus, pelaku migrasi menciptakan “habitus baru” (“kultur baru” bermigrasi secara terus-menerus), “prestise baru” (seperti rumah dan kepemilikan aset non produktif sebagai simbol kesejahteraan), dan tentang reproduksi struktur baru yaitu sistem pewarisan kepemilikan lahan yang sangat sempit (“mereproduksi-mengekalkan kemiskinan”). “Kultur baru-termasuk jaringan bermigrasi, simbol kesejahteraan baru (memiliki “rumah Arabian”), dan sistem pewarisan”, yang diciptakan dan sedang melembaga di aras masyarakat, secara umum tidak berhasil membawa migran keluar dari kemiskinan. Realitas inilah yang disebut dengan “reproduksi kemiskinan” atau “persistensi kemiskinan agraria”. Bagaimana “persistensi kemiskinan agraria” bisa dirumuskan? Jawabannya adalah mengkaji keterkaitan antara pemilikan lahan dengan kondisi kemiskinan, utamanya pada rumah tangga pelaku migrasi. Penggunaan remiten oleh rumah tangga pelaku migrasi menghasilkan dinamika yang kompleks, ada yang mengalami peningkatan dan penurunan. Namun, umumnya tetap atau “persisten” pada lapisan yang sama, utamanya pada lapisan bawah. Kondisi tetap pada lapisan bawah inilah yang disebut sebagai persistensi kemiskinan agraria yaitu kondisi di mana lapisan bawah (pada awal migrasi tidak akses terhadap sumberdaya agrarian), pada akhirnya juga tetap tidak akses terhadap sumberdaya agraria. Hal ini terjadi karena penggunaan remiten untuk membeli lahan sawah-aset produktif tidak merupakan prioritas utama meskipun kepemilikan lahan sawah merupakan salah satu simbol kesejahteraan.  Dengan demikian, akses terhadap sumberdaya agraria yang rendah pada akhirnya tetap menghasilkan (“mengekalkan”) ketidak-aksesan terhadap sumberdaya agraria (persisten miskin agraria). Tentu, kondisi persistensi kemiskinan agraria ini bukanlah yang diharapkan, termasuk oleh rumah tangga pelaku migrasi. Akan tetapi, secara nasional juga ditunjukkan bahwa rata-rata pemilikan lahan pada rumah tangga petani di Indonesia adalah tidak lebih dari 0,5 ha per rumah tangga petani (RTP), dan bahkan persentasi petani gurem mencapai 55% (ST 2013). Tingginya jumlah rumah tangga petani kategori gurem dan tuna kisma, berkaitan langsung dengan “jaminan kesejahteraan” dalam sistem pewarisan karena perbedaan luas warisan pada akhirnya “mengekalkan kondisi kesejahteraan”. Dengan demikian, mengingat pada umumnya masyarakat pedesaan adalah “lapisan bawah-tuna kisma” (dalam hal ini tidak mampu mewariskan jaminan kesejahteraan berupa lahan pertanian), akan mengarah pada “mewariskan-mengekalkan kemiskinan (agraria)”. Dalam konteks ini, rumah tangga pelaku migrasi pada lapisan bawah, umumnya tidak berhasil membawa rumahtangganya lepas dari kemiskinanm (tetap persisten miskin agraria, sesuai judul tulisan ini persistensi kemiskinan agaria). Disadari sepenuhnya, bahwa Pemerintah dalam hampir dua dekade terakhir (sejak tahun 2004) telah mengupayakan program reforma agraria, yang diharapkan dapat mengatasi masalah kemiskinan. Ke depan, program reforma agraria yang diharapkan adalah yang langsung mendekatkan akses (misalnya memperoleh aset agraria) kepada masyarakat lapisan bawah (utamanya tuna kisma yang ingin berprofesi sebagai petani). Selanjutnya, dengan mempertimbangkan permasalahan kemiskinan dalam kaitannya dengan migrasi dan agraria merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensional, maka alternatif solusi/kebijakan yang dibutuhkan saat ini adalah yang mengakomodir hambatan-hambatan struktural dan kultural. Prioritas solusi/kebijakan tersebut diharapkan mengakselerasi rumah tangga miskin pedesaan Indonesia dapat keluar dari kondisi kemiskinan (mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya). Semoga…!
Opini Terkait