Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Miliki Tendensi Politik yang Kuat

No Name

No Name

Diperbarui 29 Januari 2023 03:45 WIB
Oleh: Didin Alkindi/Ketua Divisi Advokasi dan Propaganda HIPMA Sultra Jabodetabek AKHIR-AKHIR ini, Indonesia dihebohkan dengan isu perpanjangan masa jabatan kepala desa. Usulan tersebut sebenarnya mencuat pertama kali bukan dari kalangan kepala desa. Namun pertama kali muncul saat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar setelah bertemu para pakar di UGM Yogyakarta pada Mei 2022 lalu. Akan tetapi gerakan sentralisitik dari seluruh kepala desa mulai nampak tepatnya pekan lalu yang bertempat di Jakarta pusat, para kepala desa dari beberapa provinsi dan kabupaten melakukan aksi unjuk rasa. Salah satu tuntutan mereka saat itu adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 27 tahun. Pada tanggal 25 Januari 2023, para kepala desa dan perangkat desa kembali melakukan demontrasi di depan Gedung MPR/DPR Jakarta, menuntut kejelasan status para perangkat desa. Dari gerakan ini perlu kita menduga bahwa ada tangan-tangan tak terlihat yang bersembunyi dibalik kepentingan perpanjangan masa jabatan selama 27 tahun ini, bisa jadi ini bagian dari by desain kepentingan pemilu raya 2024. "Lempar batu sembunyi tangan" itu kalimat yang cocok di berikan kepada mereka yang memanfaatkan kondisi ini, dalam situasi pemilu kita yang kelam di tahun 2019 masih ada yang mencoba membangun kekuasaan dengan cara buruk seperti ini, sehingga ini akan berinpek kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini perlu adanya penegakan hukum dalam pemilu ditingkatkan kembali agar provokasi-provokasi yang mengarah ke perpecayahan bangsa demi kepentingan sektoral itu tidak terjadi lagi. Gerakan sentralistik kepala desa ini mengingatkan saya pada kalimat yang di sampaikan oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen). Hal ini perlu diantisipasi sebagai bentuk perhatian kita terhadap keutuhan demokrasi sebagai bagian dalam menjaga amanah reformasi yang penuh dengan pengorbanan. Jika melihat dari rilis "Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa kasus penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada tahun 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 233 miliar. Korupsi anggaran dana desa bahkan cenderung meningkat sejak 2015. Saat itu, korupsi anggaran dana desa hanya berjumlah 17 kasus dengan kerugian sebesar Rp 40,1 miliar. Sementara Dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa menjelaskan bahwa salah satu tugas dan fungsi desa adalah hadir untuk mensejahterah kan rakyatnya, sebagai organisasi terkecil dalam sebuah negara dan desa juga memiliki kedekatan yang kuat dengan masyarakatnya seharusnya tau apa yang di butuh dan di perlukan oleh masyarakat nya, tetapi dalam realitas sosial politiknya ADD dan DD jarang di manfaatkan untuk menggali potensi SDA untuk meningkatkan kesejahteraan. Seharusnya para kepala desa lebih memfokuskan diri untuk membangun SDM dan memanfaatkan SDA guna menuju kepada kesejahteraan dan kemerdekaan yang berdaulat. Jika tindakan seluruh kepala desa terus di lanjutkan untuk meminta perpanjangan masa jabatan selama 27 tahun, saya pikir ini sangatlah keliru dan tindakan kepala desa ini terlalu berlebihan. Sehingga kita beranggapan bahwa para kepala desa dengan gerakan sentralistik ini ingin membangun dinasti politik, dan ingin melanggengkan kekuasaan maka jika itu terjadi fondasi feodalisme akan tumbuh subur, jika itu terjadi maka kritis dan kreatif masyarakat akan mati. Seharusnya kita bisa belajar dari sejarah kelam bangsa indonesia yang di pimpin oleh seorang jendral yang di kenal sebagai tokoh tangan besi yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Sehingga munculnya gerakan rakyat dari Sabang sampai Merauke, lahirlah sebuah sistem pemerintahan baru yang di awali dengan nama reformasi dengan poin salah satu tujuannya membatasi pelanggengan kekuasaan. Perlu kita sayangkan dan cukup menyedihkan bagi kita, isu miring ini menimpa institusi demokrasi tertua di Indonesia, yakni pemerintahan desa Bahkan Bung Hatta sedari dulu berkeyakinan bahwa salah satu sumber demokrasi nasional yang membuat Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menjadi negara demokrasi adalah adanya demokrasi desa yang berlangsung sejak dahulu kala. Maka tentu sebagai lembaga negara yang di selenggarakan oleh rakyat yang di pilih oleh rakyat jangan perna mengkhianati tuannya yang memberikan kedaulatan sebagai pemimpin.

Topik:

Kepala Desa