Cawe-cawe Politik dan Kementerian Super HUD

No Name

No Name

Diperbarui 6 September 2023 10:35 WIB
Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D JAGAD politik Indonesia semakin memanas menjelang pendaftaran capres-cawapres bulan depan. Cawe-cawe pejabat dan manuver partai-partai politik semakin membingungkan masyarakat. Saling tuding berkhianat satu sama lain hingga pemanggilan KPK pun membuat kisruh perpolitikan tanah air. Politik gagasan tidak berkembang, persoalan kerakyatan tenggelam, berganti isu-isu populis dan serangan politik. Sangat memprihatinkan! Padahal di tengah situasi seperti itu, sebenarnya masih banyak persoalan kerakyatan yang luput dari perhatian. Salah satunya adalah urusan perumahan dan perkotaan yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Hingga hari ini, ketidak-adilan terus dipertontonkan oleh pemerintah dengan membiarkan puluhan juta warga masyarakat menghuni kawasan permukiman kumuh yang sangat tidak layak. Target kota-kota bebas kumuh pada tahun 2019 yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015, terbukti gagal total. Begitu juga angka housing backlog dan permukiman kumuh malah terus bertambah. Kejadian demi kejadian bencana yang menimpa permukiman rakyat di banyak tempat akhir-akhir ini tak kunjung selesai ditangani. Seperti di Cianjur, Plumpang dan tempat-tempat kumuh lainnya. Begitu juga beberapa program perumahan rakyat yang dibawa para politisi selalu gagal. Mulai dari program kampung deret yang dibawa Jokowi, penggusuran dan rusunawanya Ahok, program depe-nolnya Anies hingga apartemen rakyat di Bandung yang digagas Ridwan Kamil. Semuanya tidak efektif dan mangkrak. Padahal perumahan dan permukiman yang baik dan sehat adalah salah satu hak dasar manusia dan menjadi amanat UUD 1945 pasal 28-H. Menempati rumah yang layak huni dengan prasarana dan fasilitas yang lengkap sangatlah penting bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun kenyataannya sebaliknya. Artinya, program-program selama ini hanya menghabiskan anggaran, menjadi program populis dan membuat Indonesia semakin tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Begitu pula soal-soal kemacetan yang semakin parah di Jabodetabek, buruknya layanan transportasi publik, terbakarnya TPA sampah, kisruh PPDB Zonasi, hingga polusi parah di Jabodetabek, semuanya dibiarkan saja tanpa penanganan yang sungguh-sungguh. Untuk itu, di tengah goro-goro politik yang tidak ada kaitan dengan persoalan rakyat ini, isu perumahan rakyat dan perkotaan perlu pula diangkat dalam perbincangan politik gagasan. Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta sudah mengamanatkan di dalam Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950, agar cita-cita semua lapisan rakyat menempati hunian layak dapat dicapai dalam kurun waktu 50 tahun ke depan. Tapi amanat ini selalu diabaikan pemerintah, hingga melewati dua dekade dari waktu yang ditargetkan, yaitu tahun 2000, dimana rumah layak untuk seluruh rakyat tidak kunjung tercapai. Malah Indonesia kini sedang mengalami krisis perumahan rakyat dan buruknya pelayanan publik perkotaan. Di mana kesalahan pemerintah? Pemerintah selalu abai untuk membangun sistem penyediaan perumahan dan pengelolaan perkotaan yang baik. Gagasan housing delivery system dan sustainable urban development hanya dijadikan wacana seminar dan pencitraan di kalangan pejabat tinggi. Padahal, hanya dengan sistem yang handal sajalah pemerintah mampu memenuhi perumahan rakyat dan mengelola keberlanjutan kota-kota secara efektif dan progresif. Sebagaimana juga terjadi di sektor-sektor lainnya, pemerintah tidak mampu membangun sistem dan terus membiarkan berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN di bidang perumahan, perkotaan dan permukiman rakyat ini berwujud permainan proyek-proyek konstruksi, pemberian konsesi bisnis properti, alokasi kredit pemilikan rumah, mafia tata ruang dan pertanahan, negosiasi prasarana dan sebagainya. Pembangunan untuk seluruh rakyat secara berkeadilan selalu tersandera akibat KKN yang memangsa berbagai risorsis kunci. Semua masalah krusial yang dibiarkan pemerintah tersebut mengakibatkan urbanisasi yang semakin tidak mampu dikelola dengan baik. Luas permukiman kumuh terus bertambah terutama di kawasan metropolitan dan kota-kota besar. Patokan harga rumah sederhana juga semakin tinggi dan keterjangkauan rakyat malah makin menurun. Peraturan menteri mengatur batas maksimum gaji yang boleh mendapatkan KPR bersubsidi dinaikkan tinggi-tinggi menjadi 8 juta rupiah. Padahal angka UMP yang selalu jadi batas maksimal masih sekitar 4 juta rupiah. Ini jelas kebijakan yang hanya menuruti kepentingan pengusaha properti untuk mendapatkan pasar kelas menengah dengan bantuan uang negara. Sedangkan nasib mereka yang jumlahnya jauh lebih banyak dengan pendapatan 4 juta ke bawah, semakin tidak menentu. Singkat kata, krisis perumahan rakyat dan pembangunan kota ini seiring dengan tidak pernah terbangunnya housing delivery system secara komprehensif dan terintegrasi. Meliputi Public Housing, Self-help Housing, Commercial Housing dan Social Housing (Siregar, 2010, ITB Press). Perumahan rakyat dan pembangunan kota itu bukan cuma bisnis properti seperti anggapan pemerintah dan banyak kalangan. Pengembangan multi-sistem ini bukan pula dengan cara menyusun paket proyek atau mengobral konsesi secara liberal. Lebih jauh, salah satu simpul kelembagaan yang perlu segera dibentuk untuk menjalankan delivery system yang baik adalah Kementerian HUD. Ini adalah sebuah kementerian super yang memegang otoritas pengelolaan berbagai risorsis kunci, baik tanah, tata ruang, perumahan, prasarana hingga pembiayaan jangka panjang. HUD adalah singkatan dari Housing and Urban Development, sebuah nomenklatur yang dipakai di berbagai negara sebagai nama lembaga di tingkat nasional yang memiliki otoritas di bidang perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan. Selain untuk mewujudkan pasal 28-H, Kementerian HUD ini adalah wujud peran negara yang kuat dalam menjalankan pasal 33 UUD 1945, yaitu mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (infratruktur). Kementerian “Super” HUD ini adalah gabungan dari Ditjen Cipta Karya, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Ditjen Perumahan dari Kementerian PUPR sekarang serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Kemen ATR). Sudah saatnya Indonesia memiliki kapasitas kelembagaan seperti HUD ini dan meninggalkan pola pembangunan liberal melalui pelepasan konsesi dan birokrasi yang bermain proyek piecemeal. Di Amerika Serikat ada Department of Housing and Urban Development, di Jepang ada pula Housing and Urban Development Corporation (HUDC) yang kini menjadi Urban Renaissance Agency (URA). Sedangkan di Korea Selatan bernama KLHC (Korean Land and Housing Corporation) yang juga membangun Ibu Kota baru di Sejong. Kementerian HUD adalah model yang juga mampu mengawal Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) secara efektif. Termasuk menyiapkan pembangunan IKN secara sistematis sebagai regulator dan menugaskan Otorita Pembangunan IKN sebagai operator. Demikian pula dalam penyiapan program transisi dengan pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Harapannya, semua kontroversi IKN selama ini dapat segera diperbaiki, karena pada dasarnya gagasan IKN bersifat visioner untuk mengatasi berbagai ketimpangan wilayah. Namun selama ini IKN hanya dijadikan ajang investasi asing, pemberian konsesi swasta, daftar panjang proyek-proyek dan minus perencanaan kota secara gradual. Gagasan IKN di tangan pemerintah saat ini berubah menjadi ruang negosiasi dan pencitraan politik semata. Bahkan pemerintah tidak mampu membedakan antara Badan Pembangunan IKN dan Pemerintahan Khusus yang kelak mengelola wilayah IKN. Pembentukan Kementerian “Super” HUD ini membutuhkan komitmen yang sungguh-sungguh dari kalangan politisi dan pemerintahan. Langkah ini tidak bisa dibalut pencitraan yang menutupi permainan konsesi dan proyek-proyek konstruksi. Harus dilandasi paradigma yang utuh melalui pengembangan sistem penyediaan yang handal. Karena pada gilirannya, berhasilnya sistem penyediaan yang mantap ini pulalah yang menjamin agar komitmen politik tidak berubah-ubah. Diperlukan keberpihakan para elit politik untuk sungguh-sungguh mengangkat isu krisis perumahan rakyat dan ketidakberlanjutan kota-kota ini. Posisi capres dan cawapres bukanlah segalanya. Cabut-pasang koalisi dan saling tuding yang sangat elitis hendaknya ditekan dalam-dalam karena sangat memalukan di hadapan persoalan rakyat yang masih menggunung. Susunan kabinet juga bukan terdiri dari kementerian basah dan kering untuk diperebutkan melalui KKN. Gagasan Kementerian HUD ini seharusnya diangkat menjadi wacana politik gagasan yang mengemuka. Semoga Pilpres 2024 ini dapat menjadi ajang pergulatan politik gagasan yang ideologis dan langsung menyangkut soal-soal kerakyatan. (Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D. Penulis adalah dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan/SAPPK ITB dan anggota Tim Visi Indonesia 2033 yang mencetuskan ide Pindah Ibu Kota sejak tahun 2008). #Cawe-cawe Politik dan Kementerian Super HUD

Topik:

Cawe-cawe