Bamsoet: Konstitusi Milik Seluruh Rakyat Indonesia, Bukan Hanya Milik MPR

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 18 Agustus 2021 11:52 WIB
Monitorindonesia.com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa konstitusi bukan hanya milik MPR, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Karena tidak ada negara tanpa konstitusi, tidak ada pemerintahan tanpa konstitusi, tidak ada lembaga-lembaga negara tanpa konstitusi. "Sebagai hukum dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, merupakan dokumen hukum yang di dalamnya memuat cita-cita Indonesia merdeka, memuat falsafah bangsa yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara, serta memuat tujuan pembentukan pemerintah Negara Indonesia," tegas Bambang Soesatyo saat menyampaikan pidato pada Peringatan Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR RI pada 18 Agustus 2021 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/8/2021). Dikatakan Bamsoet sapaan politisi Partai Golkar itu, cita-cita luhur tersebut adalah tujuan yang harus selalu diupayakan pencapaiannya. Rumusan pendiri bangsa yang dituangkan dalam Pembukaan UUD jelas menegaskan, kemerdekaan merupakan gerbang awal untuk meneguhkan persatuan, menegakkan kedaulatan sepenuh-penuhnya, memastikan tegaknya keadilan bagi siapa pun, dan mewujudkan kemakmuran untuk semua. "Kita tidak boleh lupa bahwa tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam upaya mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," tuturnya. Lanjut mantan Ketua DPR RI ini, sebagai generasi pewaris harus mampu memaknai bagaimana proses konseptualisasi MPR yang telah melintasi waktu melalui rangkaian perjalanan sejarah yang panjang. Para pendiri bangsa dengan kejernihan pikiran dan keluasan wawasan yang melampaui jamannya, telah merumuskan sebuah Majelis yang dapat mewadahi kebhinnekaan bangsa Indonesia. "Karenanya, Majelis yang dibentuk mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Di dalamnya terhimpun para negarawan yang terdiri atas utusan-utusan politik, utusan-utusan dari daerah-daerah, dan utusan-utusan dari golongan-golongan," sebutnya. Bamsoet juga mengatakan, pilihan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukanlah tanpa maksud. Dengan nama MPR, bukan Dewan atau Badan Permusyawaratan Rakyat, para pendiri bangsa ingin melukiskan keagungan, kehormatan, dan keluhuran budi lembaga ini. Di Majelis yang agung ini berkumpul para negarawan untuk bermusyawarah, menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. "Sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, MPR ditempatkan pada puncak dan pucuk kekuasaan Negara. Ia adalah lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang kekuasaannya tidak terbatas. Bahkan dengan kedudukannya itu, MPR berwenang menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), memilih dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presden, meminta pertanggungjawaban Presiden di akhir masa jabatannya, memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap UUD dan putusan MPR lainnya, serta membuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh Lembaga Negara yang lain," tegas dia. MPR Mendegrasi Kedudukannya Namun, menurut Bamsoet, setelah menempuh perjalanan yang panjang, gagasan para pendiri bangsa diformulasi melalui perubahan UUD pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, justru mendegrasi kedudukan dan kewenangannya sendiri. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, diturunkan menjadi lembaga negara yang berkedudukan setara dengan lembaga negara lainnya. "Alasan perubahan itu dimaksudkan untuk meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia. Gagasan para pendiri bangsa yang menempatkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dianggap mereduksi paham kedaulatan rakyat menjadi paham kedaulatan negara. Sebuah paham yang hanya lazim dianut oleh negara yang menerapkan paham totalitarian dan/atau otoritarian," tuturnya. Tidak berhenti pada pendegradasian kedudukan, Bamsoet juga menyebutkan bahwa wewenang penting yang dimiliki MPR pun ikut dipangkas, yaitu dalam menetapkan GBHN yang berfungsi sebagai pedoman atau arahan dalam penyelenggaraan negara. Alasanya, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat yang memiliki visi, misi, dan program pembangunan yang ditawarkan langsung kepada rakyat dan jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka visi, misi, dan program pembangunan itulah yang menjadi program pemerintah selama lima tahun. "Tetapi, walaupun kedudukan dan wewenang MPR sudah banyak berubah, namun ruh yang disematkan ke dalam Lembaga MPR oleh para pendiri bangsa tidak boleh hilang, yaitu ruh kedaulatan rakyat. MPR harus senantiasa mampu menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dan daerah, mengedepankan etika politik kebangsaan, dengan selalu berusaha menciptakan suasana harmonis antar kekuatan sosial politik dan antar kelompok kepentingan untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara," pungkas Bamsoet. (Ery)

Topik:

konstitusi mpr