Tak Cukup Hanya Akui 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Diminta Segera Terbitkan Perppu KKR

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 12 Januari 2023 21:56 WIB
Jakarta, MI- Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) menyambut positif pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan berencana memulihkan hak-hak korban. “Pada prinsipnya kami menyambut baik pernyataan presiden yang telah mengakui adanya 13 peristiwa pelanggaran HAM Berat," ujar koordinator Forum DKI, Bandot DM di Jakarta, Kamis (12/1/2023). Kendati demikian, Forum DKI juga mengkritik itikad dan prosedur perundangan yang dilanggar presiden dalam membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial pelanggaran HAM Berat (TPPHAM). Diketahui, TPPHAM merupakan tim bentukan Presiden Jokowi yang ditugaskan untuk membongkar kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu. Tim ini dibentuk sejalan dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (Tim PP HAM). "Kami menyayangkan, keputusan yang fenomenal ini berangkat dari rekomendasi tim yang kami nilai inkonstitusional,” ujarnya. Forum DKI mencatat Joko Widodo adalah Presiden pertama pasca reformasi yang secara terbuka dalam kapasitas sebagai Kepala Negara mengakui adanya peristiwa pelangaran HAM Berat yang terjadi di masa sebelum pemerintahannya. “Namun, kami sangat menyayangkan kalau kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan penyelesaian secara non-yudisial dengan cara menabrak UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM,” sesalnya. Lanjut Bandot mengaku sedari awal menolak pembentukan TPPHAM karena dinilai bertentangan dengan UU Pengadilan HAM, tetapi bisa diterima secara terbatas jika diposisikan sebagai organ internal konsultatif untuk konsumsi presiden. Menjadi persoalan saat kemudian Presiden menyatakan akan memberikan kompensasi dan sejenisnya terhadap korban atas rekomendasi dari Tim ini. Sebab, dalam UU Pengadilan HAM jelas penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat hanya melalui jalur yudisial melalui Pengadilan HAM. Dalam UU tersebut telah diatur tentang kompensasi, restitusi, rehabilitasi. Dalam pasal 35 jelas disebutkan (1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi; (2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. (3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. “Satu-satunya jalur non yudisial terbuka hanya untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu atau Pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum UU No 26/2000 diundangkan,” tegas Bandot. Hal tersebut diatur di pasal 47 UU No. 26/2000. Di Pasal 47 disebutkan (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang. “Dalam pernyataan pers kemarin, dari 13 peristiwa yang disebutkan oleh presiden, 10 di antaranya terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan,” lanjutnya. Catatan lain yang diberikan oleh Forum DKI adalah penetapan pelanggaran HAM berat masa lalu mestinya juga mendapat persetujuan DPR. Dalam UU disebutkan Pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu mesti melalui usulan DPR. Jika hal tersebut dirasa terlalu rumit dan sulit. “Kami dari Forum DKI mendorong Presiden untuk segera menerbitkan Perpu KKR untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu sesuai dengan amanah UU pengadilan HAM,” tandas Bandot. Sementara untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU dibentuk, mendorong agar Presiden memerintahkan dan mendesak Jaksa Agung untuk menyegerakan proses penyidikan dan segera mengajukan ke Pengadilan HAM. Dengan catatan untuk memasukkan unsur kompensasi, restitusi, rehabilitasi terhadap korban dalam tuntutan. “Kritik kami ini untuk menghindari ketidak pastian hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM Berat. Selain itu kami menilai ada jebakan konstitusional, baik bagi presiden maupun bagi korban. Apalagi jika kompensasi dibebankan ke APBN, jika tidak ada nomenklatur yang jelas dan bertentangan dengan UU, ini berpotensi menjadi bom waktu kasus korupsi di kemudian hari," kata dia. "Terutama jika negara ini kemudian dipimpin oleh rezim yang tidak mendukung penyelesaian pelanggaran HAM Berat,” pungkasnya. Diketahui, dalam keterangan pers yang disiarkan melalu kanal Youtube milik Sekretariat Negara RI (11 Januari 2023), Presiden Joko Widodo  menyatakan mengakui terjadinya sejumlah pelanggaran HAM Berat, termasuk Pelanggaran HAM Berat masa lalau (sebelum adanya UU Pengadilan HAM tahun 2000). “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” ujar Jokowi. Selanjutnya presiden menyebut peristiwa yang dimaksud, yakni: 1. Peristiwa 1965-1966; 2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; 3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; 4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; 6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998; 7. Peristiwa kerusuhan Mei 1998; 8. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; 9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; 10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999; 11. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; 12. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan 13.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
Berita Terkait