Masalah Agararia Masih Sangat Pelik dan Semakin Akut, Prof John Pieris Beri 5 Solusi

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 7 Oktober 2023 15:31 WIB
Jakarta, MI - Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menghadirkan sebuah seminar peringatan 63 tahun UUPA No 5 tahun 1960 “Quo Vadis Reforma Agraria” di Aula Kampus Pascasarjana UKI Dipenogoro, Jum'at (6/9). Seminar ini menghadirkan narasumber yang mumpuni dibidangnya masing-masing diantaranya, Dr. Noor Fauzi ranchman (Tenaga Ahli Menteri ATR BPN Bidang Partisipasi dan Peberdayaan Masyaraat), Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama Kantor staf Presiden), Iwan Nurdin (Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria), Dr. Aartje Tehupelory (Pakar Hukum Pertanahan dan Pengajara Program Pasca Sarjana Hukum UKI. Hadirnya sebagai Pemantik Seminar Prof. Dr. John Pieris (Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI). Dalam catatan analisis pemikiran Prof. Dr. John Pieris sebagai pemantik, menjelaskan masalah agararia khususnya pertengahan sejak orde baru Sampai dengan saat ini masih menjadi masalah yang sangat pelik, bahkan persoalannya semakin akut. Terkesan kata dia, pemerintah kurang serius menanganinya. "Itu satu fenomena menarik yang menganga, dapat ditegaskan disini, bahwa keterpaduan penangann masalah pertanahan antar instansi/badan kementerian agararia dan tata ruang/BPN, KLH, kementerian lainnya seperti pertanian, kehutanan, perkebunan, PURR dan lainyatidak berjalan sebagaimana mestinya," jelasnya. Kata John sapaannya, regulasi yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan, baik secara vertical maupun horizontal selalu terjadi. Niat baik untuk melakukan pembuatan regulasi secara terintegrasi tidak tercapai karena ada ego sectoral/kelembagaan yang mana cenderung menghambat. Hal yang sangat krusial ini kemudian menimbulkan kelemahan mendasar dalam proses penegakan hukum secara terpadu. “Konflik agararia kemudian meningkat secara tajam. Terkesan, pemerintah tidak berdaya menanganinya, karena bisa saja ada oknum oknum tertentu disejumlah kementerian/lembaga ikut memperkeruh masalah ini. Bukan rahasia lagi, maraknya mafia tanah yang menimbulkan konflik agararia pertanahan kemudian semakin bertambah secara signifikan,” lanjutnya. Untuk itu John memberikan 5 solusi dalam persoalan agaria yakni, pertama, penggantian nomenklatur kementerian agararia dan tata ruang menjadi kementerian reforma agrarian dan tata ruang (KRATR). Kedua, perlu reformasi komisi pemberatasan mafia tanah menjadi komisi pencegahan dan pemberantasan mafia tanah yang independent di bawah pesiden. Ketiga, perlu dibuat UU pembatasan penguasaan luas lahan tanah. Dan keempat, regormasi agararia harus menyeimbangkan peruntukan/penggunaan tanah dengan penyelerasan fungsi sosial waktunya merevisi UU No 5 tahun 1960 tentang ketentuan ketentuan pokok agararia. Di sisi lain pandangan berbeda disampaikan Usep Setiawan menangggapi 5 solusi yang di sampaikan John Pieres, secara pribadi UU agararia masih dianggap refelevan dan perlu bagi Indonesia maju adil dan Makmur. Jadi UUPA sebagai payung hukum bagi pelaksanaan kebijakan dalam pertanahan itu masih sangat relevan. “Jika di revisi kami kawatir ini akan mengubah prinsip prinsip dan semangat dari UPA yang pro kerakyatan, pro kebangsaan yang masih relevan sampai hari ini,” ucapnya. “Yang saya harpkan PKA UKI ini tidak hanya perespektif hukum yang dikaji namun di dalami perspektif sosial budaya, ekonomi, yang relevan untuk menjadi bahan kajian untuk UKI kedepannya,” pintanya menimpali. Tujuan seminar ini kata Usep, adalah mengkaji Kembali hukum agararia nasional dalam konteks dan perspektif kekinian denan tetap menjaga Marwah cita cita UUPA tahun 1960. Kemudian mengkaji pelaksanaan program nasional reforma agararia dan pola penyelesaian konflik pertanahan dengan pendekatan non yudisial. Serta menyusun konsep pembaharuan hukum agararia nasional yang akan diserahkan ke stakeholder di pemerintah dan legisltaif. Reforma agrarian di era Jokowi di sebutkan bahwa nawacita itu sudah memberi landasan termaktub dalam nawacita. Kemudian disusun masuk kedalam RPJMN 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024. Dan lebih dari itu masuk kedalam RKP 2017 hingga RKP 2023. Dari sana lahir Rencana kerja dan anggaran dari kementerian dan lembaga. Sebagai regulasi operasional reforma agararia sudah berjalan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dan presiden Jokowi sudah menandatangani percepatan pelaksanaan RA melalui Perpres Nomor 62 Tahun 2023. “Hal ini merupakan wujud dan komitmen presiden Jokowi walaupun tahun ini tahun politik tapi program program percepatan program Jokowi yang prioritas harus dilakukan. Diantara reforma agararia yang di gaskan di ujung periode kepemimpinannnya,” ungkapnya. Pandangan kritis juga disampaikan Iwan Nurdin ( Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria) mengatakan, mengukur apa yang disebut dengan kouva reforma agrarian simpel saja, bagaimana tujuan Reforma agraria yang telah ditetapkan dalam Perpres 86 tahun 2018 dengan kenyataan di lapagan. “Jadi itu sesuatu saya kira kita bisa mudah untuk melihat apakah reforma agraria yang mana hari ini menjadi bagian dari rencana kerja pemerintah itu dijalankan atau dia sekedar hal yang sesungguhnya ada dipapan kebijakan namun tidak ada di dalam kenyataan,” tegasnya. Kata Usep, bagaimana posisi reforma agraria. Dimana tujuannya, melakukan koreksi atas ketimpangan struktur agararia khususnya pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatn tanah dan SDA melalui landreform plus akses reform. Menyelesaikan konflik agraria. Dan memperkuat ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja di pedesaan. "Jadi itulah sebabnya kami mengkritik sertifikasi tanah itu tidak bisa ditempatkan sejajar dengan Reforma Agraria. Di seluruh dunia tidak ada cerita seperti itu. Jika demikian maka kita mencari persoalan yang akan dapatkan sendiri dikemudian hari kedepan". “Kalau ada orang yang memiliki tanah luas, dengan sistem birokrasi semacam ini dilegalkan kepemilikannya dan orang yang sedikit tanahnya dilegalkan kepemilikannya dan itu menghasilkan justifikasi atas ketimpangan maka reforma agraria bisa menghasilkan yang retisifikasi melegalkan ketimpangan dan tidak menjawab dimana orang yang tidak bertanah. Untuk rumah, usaha, untuk lahan pertanian, itulah reforma agaria kesitu,” ungkapnya. Sementara itu, Dr. Aartje Tehupelory memaparkan, bahwa Reforma Agraria itu tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Karena iu di dalam perspektif hukum agraria harus dikembalikan kepada filosofi dari tanah tersebut, sebutnya. Aartje mencatat, bahwa UUPA 1960 tidak menjadi dasar kebijakan hukum pertanahan nasional, terlebih lagi setelah berlakunya UU Ciakerja. Peruban paling mendasar adalah mengenai jangka waktu HGU lebih dari 100 tahun untuk investasi, merupakan contoh liberalisasi pertanahan semakin nyata di Indonesia. Tidak diberlakukan UUPA 1960 sebagai hukum pertanahan nasional mengakibatkan banyaknya konflik agrarian di berbagai daerah. Salah satuya rempang. Karena ketidakpastian dalam penerapan UUPA 1960 mengakibatkan tidak adanya kepastian umum sehingga menciptakan mafia tanah makin banyak, tutupnya. (An/Lian) #Prof John Pieris#UKI