Mendag Zulhas: Hadapi Perubahan Perdagangan Global, Gali Pasar Ekspor Potensial

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 November 2023 02:27 WIB
Simposium Kementerian Pertahanan Tahun 2023 (Foto: Ist)
Simposium Kementerian Pertahanan Tahun 2023 (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) mengungkapkan bahwa Indonesia perlu melihat potensi-potensi pasar baru di negara nontradisional. Hal tersebut penting dilakukan karena saat ini telah terjadi perubahan fundamental pada peta perdagangan global.

Hal tersebut disampaikan Zulhas saat menjadi pembicara dalam Simposium Kementerian Pertahanan Tahun 2023 Geopolitik dan Geostrategis Global serta pengaruhnya terhadap Indonesia Tahun 2023 di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, kemarin.

Kata Zulhas, pergeseran status ekonomi berbagai negara karena pertumbuhan dan perlambatan ekonomi pun terlihat. Akibatnya, terjadi  perubahan kebijakan yang mendasar, perluasan dan pendalaman pasar, inovasi, juga penyesuaian di level bisnis atau usaha. Untuk itu, Indonesia perlu melihat potensi-potensi pasar baru di negara nontradisional,” katanya.

Pergeseran status ekonomi terjadi di kawasan Afrika. Kawasan Afrika dulu merupakan kawasan belum berkembang, namun sekarang sudah berani mengajukan utang. “Artinya, ekonomi mereka tumbuh," ungkapnya.

Saat ini potensi pasar di negara-negara nontradisional sangat menjanjikan untuk dijajaki lebih jauh lagi. “Jika dilihat berdasarkan surplus perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra, surplus perdagangan dari negara-negara nontradisional saat ini mampu bersaing dengan surplus dari negara-negara tradisional,” imbuhnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 lalu mencatat ada sepuluh negara penyumbang surplus perdagangan bagi Indonesia. Amerika Serikat menyumbang surplus terbesar yaitu USD 16,56 miliar. Tetapi, Zulhas melihat nilai tersebut mulai disusul oleh surplus perdagangan Indonesia dengan India sebesar USD 14,03 miliar.

Capaian tersebut berhasil menempatkan India sebagai negara mitra dagang penyumbang surplus kedua terbesar bagi Indonesia. “Kita tidak bisa anggap enteng India lagi,” katanya.

Sementara itu, Filipina dari kawasan ASEAN menempati negara penyumbang surplus ketiga dengan nilai USD 11,41 miliar. Peringkat keempat adalah Jepang dengan USD 7,67 miliar, kelima Belanda USD 4,5 miliar, dan keenam Taiwan USD 4,22 miliar.

Peringkat ketujuh hingga kesepuluh secara berurutan diisi Pakistan dengan USD 4,13 miliar, Bangladesh USD 3,77 miliar, Vietnam USD 3,66 miliar, dan Malaysia USD 2,95 miliar.

“Pakistan kini menghasilkan surplus USD 4,13 miliar. Bangladesh ternyata mampu menghasilkan surplus USD 3,77 miliar. Dulu Barat begitu dominan, sekarang bergeser. Kita tidak bisa lagi sedikit-sedikit melihat ke Barat, ini kenyataan,” lanjutnya.

Ia menjelaskan, dari sisi pangsa pasar Indonesia dengan berbagai kawasan di dunia, perdagangan dengan kawasan Uni Eropa yang sudah berlangsung lama tercatat hanya menciptakan pangsa pasar sebesar 6,27 persen pada 2022. 

Pangsa pasar ini jauh di bawah pangsa pasar Indonesia ke ASEAN sebesar 21,04 persen dan kawasan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang sebesar 62,42 persen. Untuk itu, penting mencari peluang di pasar-pasar potensial yang baru.

“Pasar Barat masih merupakan mitra utama, tapi sekarang ada pasar-pasar emergingdi  Asia Selatan, Afrika, dan Asia Tengah yang sangat menjanjikan untuk Indonesia. Kita juga harus melihat potensi pasar yang baru".

"Kalau tidak, kita akan tertinggal. Misalnya kawasan Afrika dengan populasi 1,4 miliar sudah mampu membeli pakaian, itu pasar yang sangat besar potensinya. Juga Timur Tengah sebagai petro dolar,” bebernya.

Untuk meningkatkan kinerja perdagangan dengan negara-negara nontradisional, Zulhas mengungkapkan perlunya menyelesaikan perjanjian-perjanjian dagang.

Perjanjian-perjanjian tersebut akan memberi manfaat lebih bagi Indonesia dan negara mitra, khususnya pelaku usaha Indonesia dalam menjajaki pasar negara tujuan ekspor.

“Indonesia punya potensi ekspor yang besar sekali. Salah satu hal yang kita selesaikan adalah membuka tollway. Jalur-jalur hambatan   perdagangan harus kita tembus melalui perjanjian perdagangan bilateral maupun regional, itu prioritas kita".

"Kalau tidak ada perjanjian dagang, produk kita akan kena tarif begitu tinggi,” tandasnya. (Lian)