Udang dan Rempah RI Ditolak AS, IAW: Indonesia Berisiko Dicap Eksportir Pangan Nuklir

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 1 Oktober 2025 21 jam yang lalu
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Ekspor pangan Indonesia kembali tercoreng. Setelah sebelumnya Amerika Serikat menolak udang Indonesia karena terdeteksi isotop radioaktif, kini giliran rempah (cengkeh) dari PT Natural Java Spice juga masuk daftar Import Alert FDA setelah terbukti mengandung Cs-137, isotop khas dari limbah radioaktif dan scrap metal tercemar.

“Dua komoditas unggulan kita tercoreng di pasar global. Pertanyaan memalukan pun lahir: apakah dunia kini melihat Indonesia sebagai eksportir pangan ‘berbumbu nuklir’?,” kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus, Senin (1/10/2025).

Alarm BPK yang Terabaikan Dua Dekade

Iskandar mengatakan, peringatan sebenarnya sudah sering disampaikan. Selama dua dekade, BPK berulang kali menyoroti persoalan scrap metal, limbah B3, serta lemahnya pengawasan dari regulator.

Beberapa temuan BPK yang diungkap antara lain:

  1. Banten, di Cikande dan Serang tahun 2005–2024, LHP BPK 2011, 2017, dan 2021 menyoroti lemahnya pengawasan KLHK dan BAPETEN di kawasan industri. Temuannya: potensi kontaminasi radiasi dalam rantai logistik scrap metal yang tidak pernah ditindak serius.
  2. Di Jawa Timur, Surabaya dan Gresik tahun 2004–2023, LHP BPK 2015 dan 2019 mencatat importir scrap dan pabrik peleburan logam kerap tanpa izin lengkap pengelolaan limbah B3.

Audit menegur “ketidakjelasan prosedur clearance scrap impor” di Pelabuhan Tanjung Perak.

Artinya, kata Iskandar, sejak lama negara sebenarnya sudah memiliki peta jalan atas potensi bahaya ini. Namun, rekomendasi hanya tersimpan di arsip. Kini persoalan itu terbongkar oleh AS pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dan tidak mungkin untuk diabaikan.

Ancaman Sistemik, Tak hanya Udang dan Rempah

Iskandar mengingatkan bahwa persoalan ini berpotensi sistemik. Jika udang dan rempah bisa tercemar, maka komoditas lainnya seperti kopi, teh, cokelat, sawit, hingga beras dikhawatirkan ikut dicurigai.

“AS sudah bertindak, import alert FDA berlaku otomatis. Negara lain seperti Uni Eropa dan Jepang bisa menyusul,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, nilai ekspor udang ke AS rata-rata >USD 2 miliar per tahun; rempah >USD 500 juta. Jika embargo meluas, kerugian triliunan rupiah mengancam.

Ada Dugaan Tindak Pidana

Menurut Iskandar, kasus ini tak bisa lagi dipandang sebagai sekadar kelalaian administrasi. Ia menilai ada potensi tindak pidana serius yang harus segera diusut oleh aparat penegak hukum.

“Polri wajib berhenti jadi penonton,” tegasnya.

Beberapa pihak yang disebut layak disidik antara lain:

  1. Importir dan eksportir scrap metal, mereka pintu masuk utama Cs-137.
  2. Pengelola kawasan industri (Cikande, Gresik, Surabaya) karena lalai mengawasi limbah B3 dan radiasi.
  3. Manajemen perusahaan pangan/eksportir udang dan rempah karena lalai menjaga rantai produksi sesuai HACCP dan ISO.
  4. Pejabat Bea Cukai dan Karantina, itu jika terbukti melepas scrap tercemar tanpa inspeksi.
  5. Oknum regulator (KLHK, BAPETEN, Pemda) yang mengabaikan laporan BPK berulang kali.
  6. Pialang scrap yang sering fasilitasi impor scrap dengan dokumen manipulatif.

Iskandar juga menegaskan, aparat penegak hukum memiliki dasar hukum yang jelas untuk menjerat para pelaku. Sejumlah regulasi disebut bisa menjadi “pasal kunci” agar pihak terkait tidak bisa berkelit.

Polri bisa menggunakan:

  1. UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup. Pasal 98 berbunyi sengaja mencemari maka dihukum 3–10 thn + denda Rp3–10 miliar. Lalu pasal 99 berisi lalai mencemari, kena hukum 1–3 thn + denda Rp1–3 miliar.
  2. UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran, di pasal 42–45 tentang pelanggaran pengelolaan limbah radioaktif, bisa dipidana 2–5 thn + denda ratusan juta.
  3. PP No. 61/2013 dan Perka BAPETEN terksit kewajiban pengelolaan limbah radioaktif.
  4. KUHP Pasal 359–360 berisi kelalaian yang mengakibatkan luka/kematian.
  5. UU Kepabeanan dan UU Tipikor, jika terbukti ada suap atau pemalsuan dokumen impor.

Bukti “mematikan” yang harus dikunci penyidik:

  1. Analisis laboratorium atas uji gamma spektrometri Cs-137 pada produk dan scrap.
  2. Dokumen rantai pasok: Bill of Lading, invoice, sertifikat asal scrap.
  3. Audit BPK sebsgai bukti peringatan diabaikan, itu jadi unsur pembiaran.
  4. Saksi dan ahli: pekerja pabrik, mantan pegawai, serta ahli nuklir BAPETEN.

Desakan Indonesian Audit Watch

Indonesian Audit Watch (IAW) menilai pemerintah tak bisa lagi menutup mata. Iskandar menyebut ada lima langkah mendesak yang harus segera diambil untuk menyelamatkan reputasi ekspor Indonesia.

  1. Presiden Prabowo Subianto idealnya sudah harus bicara sekarang. Jangan menunggu skandal ini jadi catatan hitam internasional.
  2. Audit integratif darurat atas BAPETEN, KLHK, Bea Cukai, BPK, dengan harus membentuk tim independen.
  3. Polri membentuk Satgas Nuklir bersama BAPETEN, PPATK, untuk telusuri aliran scrap dan rantai ekspor.
  4. Penegakan hukum tanpa kompromi, sehingga korporasi nakal dan pejabat lalai harus diseret ke meja hijau.
  5. Transparansi publik, dimana hasil investigasi diumumkan terbuka, rakyat berhak tahu apakah mereka makan pangan ber-nuklir.

“Dari Banten ke Surabaya, dari udang ke rempah, bukti sudah menumpuk, audit sudah berteriak, tapi negara gagal bertindak. Kini dunia yang menghukum kita,” ujar Iskandar.

IAW menegaskan, “Jika Presiden Prabowo tidak sesegera mengintervensi, jangan salahkan bila nama Indonesia tercatat sebagai eksportir pangan nuklir pertama di dunia.”

Topik:

ekspor-indonesia udang-ri rempah-ri fda-amerika-serikat isotop-radioaktif indonesian-audit-watch-iaw