Pengadilan Aljazair Menghukum Mati 49 Orang Akibat Terlibat Pembunuhan Seorang Senim

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 25 November 2022 16:24 WIB
Jakarta, MI - Pengadilan Aljazair menghukum mati 49 orang atas pembunuhan massal yang brutal terhadap seorang seniman yang dituduh memulai kebakaran hutan meskipun dia sebenarnya membantu memadamkkan api, menurut pengacara pembela dan kantor berita negara. Pembunuhan pada tahun 2021 di wilayah Kabyle di timur laut Aljazair itu mengejutkan negara tersebut setelah gambar grafisnya dibagikan di media sosial. Pembunuhan Itu terjadi segera setelah kebakaran hutan di wilayah pegunungan Berber yang menewaskan sekitar 90 orang, termasuk tentara yang berusaha menjinakkan api. Pengadilan besar-besaran dengan keamanan tinggi atas pembunuhan artis Djamel Ben Ismail melibatkan lebih dari 100 tersangka dan banyak di antaranya dinyatakan bersalah atas beberapa peran dalam kematiannya. Mereka yang dijatuhi hukuman mati kemarin kemungkinan besar akan menghadapi hukuman penjara seumur hidup, karena Aljazair telah memiliki moratorium eksekusi selama beberapa dekade. Tiga puluh delapan lainnya dijatuhi hukuman antara dua dan 12 tahun penjara, kata pengacara Hakim Saheb, anggota kolektif pengacara pembela sukarela di persidangan di Dra El Beida, pinggiran kota Aljazair. Saat kebakaran hutan terjadi pada Agustus 2021, Ben Ismail men-tweet bahwa dia akan pergi ke wilayah Kabyle, 320 km dari rumahnya untuk “membantu teman-teman kita” memadamkan api. Setibanya di Larbaa Nath Irathen, sebuah desa yang dilanda kebakaran hebat, beberapa warga setempat menuduhnya sebagai pelaku pembakaran karena dia bukan berasal dari daerah tersebut. Ben Ismail, 38, tewas di luar kantor polisi di lapangan utama kota. Polisi mengatakan bahwa dia diseret keluar dari stasiun, tempat dia dilindungi, dan diserang. Di antara mereka yang diadili adalah tiga wanita dan seorang pria yang menikam tubuh korban sebelum dibakar. Polisi mengatakan foto yang diposting online membantu mereka mengidentifikasi tersangka. Keluarganya yang putus asa mempertanyakan mengapa pembuatan film itu tidak menyelamatkannya. Persidangan itu juga bernada politis. Lima orang dihukum in absentia karena terlibat dalam pembunuhan itu dan karena menjadi anggota atau mendukung gerakan separatis Kabyle yang dilarang bernama MAK, kata Saheb. Pemimpin gerakan itu, Ferhat M'henni, yang berbasis di Prancis, ada di antara mereka. Otoritas Aljazair menuduh MAK yang memerintahkan pembakaran. Pengacara pembela mengatakan adanya spengakuan yang dipaksakan di bawah siksaan dan menyebut persidangan sebagai penyamaran politik yang bertujuan menstigmatisasi orang-orang Kabyle. Pada saat kebakaran, wilayah tersebut adalah benteng terakhir dari gerakan protes pro-demokrasi “hirak” yang membantu menjatuhkan presiden Abdelaziz Bouteflika yang telah lama menjabat pada tahun 2019.