Gagal Ginjal Akut Meregang Ratusan Nyawa Anak, Sejauh Mana Keterlibatan BPOM?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Desember 2023 13:22 WIB
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI (Foto: MI/Net/Ist)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Dugaan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di kasus gagal ginjal akut pada anak naik ke tahap penyidikan. 

Sepanjang tahun 2022, Kemensos mencatat ada 326 orang penderita gagal ginjal akut akibat keracunan obat sirup. Dengan rincian, sebanyak 204 orang yang meninggal akibat kasus itu. Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023.

Sejumlah keluarga korban anak gagal ginjal akut pun mendesak Bareskrim Polri segera menyeret pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirup beracun ke pengadilan.

Sebab selain produsen atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) patut dianggap lalai mengawasi bahan baku obat sirop hingga diterbitkannya nomor izin edar.

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Polri, Nunung Saifuddin, berkata penanganan kasus ini telah masuk ke tahap penyidikan yang artinya kata dia, ditemukan unsur pidana yang diduga dilanggar.

Namun demikian, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, belum mau mengungkapkan pihak yang disebut melanggar tersebut.

Tapi yang pasti, terkait dengan penerbitan izin edar yang tidak sesuai standar.

"Betul akan ada tersangka dari proses penyidikan akan mengurucut pada pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Itu yang kita tentukan sebagai tersangka. Namun untuk keterlibatan atau siapa pihak yang bertanggung jawab untuk itu, sedang kami dalami," katanya, kemarin.

Sejauh ini, polisi telah memeriksa sejumlah saksi mulai dari industri farmasi, distributor bahan baku farmasi, petugas BPOM Serang, petugas BPO Surabaya, dan petugas BPOM pusat. Termasuk lima saksi ahli.

Selanjutnya, polisi akan memanggil tiga saksi ahli tambahan dan setelahnya melakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka.

Tersangka baru ini, kata dia, akan dijerat dengan pasal 56 KUHP yakni mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan. Kemudian pasal 196 UU Kesehatan dan pasal 62 UU Perlindungan Konsumen.

Dia juga menambahkan penanganan perkara ini merupakan tindaklanjut dari putusan empat petinggi perusahaan produsen obat batuk sirop di Pengadilan Negeri Kediri.

Monitorindonesia.com telah meminta tanggapan kepada eks Kepala BPOM, Penny K Lukito terkait hal ini, namun belum memberikan jawaban. Tercatat, kasus ini muncul saat Penny K Lukito menjabat.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, berkata menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada kepolisian. Ia juga tak mau mengomentari pelaksanaan pengawasan yang selama ini dilakukan BPOM.

"Kami sudah ada tugas pokok dan fungsi masing-masing," katanya.

Pengacara keluarga korban gagal ginjal akut, Awan Puryadi, mengatakan perkembangan tindak pidana gagal ginjal akut yang sedang ditangani Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri merupakan angin segar bagi keluarga korban. Pasalnya, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kediri, klaimnya, jelas ditemukan fakta pelanggaran pidana yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dia menduga, hal itu tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai "tidak cermatnya" BPOM mengawasi bahan baku obat. Selain itu, lanjutnya, BPOM dianggap lalai karena meloloskan uji ulang obat yang dilakukan beberapa produsen berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V.

Padahal pengujian metode analisa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada bahan baku tambahan propylene glicol harus merujuk pada Farmakope edisi VI.

Untuk diketahui Farmakope Indonesia merupakan acuan resmi pengawasan mutu obat. "Jadi produsen obat itu wajib melakukan pengujian metode analisa etilen glikol dan dietilen glikol pada bahan baku tambahan obat, tapi apa yang terjadi? PT Afi Farma tidak melakukan pengujian sama sekali."

"Atas dasar itulah PT Afi Farma bersalah melakukan kejahatan. Tapi anehnya, kok BPOM meloloskan begitu saja dan mengeluarkan nomor izin edar?" tanyanya.

Di sinilah, menurut kuasa hukum korban gagal ginjal akut lainnya, yakni Tegar Putu Hena, kesalahan BPOM yang patut dimintai pertanggung jawabannya. Seluruh pejabat BPOM kata dia, harus diperiksa. Termasuk mantan Kepala BPOM Penny Lukito.

"BPOM layak diduga menjadi aktor dalam proses tersebarnya obat beracun ini, karena tidak melakukan pengawasan sebagaimana mestinya," tegasnya.

Dalam perkara gagal ginjal ini, Bareskrim telah menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi, yakni PT Afi Pharma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang dan CV Samudra Chemical.

Polri juga telah menetapkan dua orang petinggi CV Samudra Chemical sebagai tersangka. Mereka berinisial E yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus Direktur Utama dan AR selaku Direktur.

Atas perbuatannya, seluruh tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Subsider, Pasal 60 Angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Selain itu, mereka juga dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Juncto Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 56 Ayat 2 KUHP.